Wattpad Original
There are 7 more free parts

Memories [1]

21K 2.7K 65
                                    

Meski sudah mati-matian berusaha menyemangati dirinya sendiri, Jilly sama seperti semua orang lain di luar sana. Ketika mendapat kesempatan untuk keluar dari zona nyaman, rasa cemas pasti menyerbu. Membayangkan bahwa dirinya akan berkantor di ruangan lain dengan teman dan atasan yang berbeda, sudah cukup membuat perutnya melilit. Apalagi jika membayangkan semua gosip yang pernah didengarnya seputar Kenzo.

Akan tetapi, Jilly menyadari bahwa dia tidak punya pilihan. Alasannya? Karena perempuan itu tak berani mengambil risiko. Bagaimana jika Kenzo benar-benar mewujudkan ancamannya? Jadi, selama dua bulanan ke depan, dia hanya perlu bekerja keras untuk membantu bos barunya. Syukur-syukur setiap harinya bisa berlalu dengan cepat.

"Kamu beneran akan balik lagi ke sini, kan? Nggak bakalan jadi asistennya Kenzo secara permanen sampai maut memisahkan kalian?" tanya Helen lagi.

Yang ditanya pun tergelak. "Astaga! Udah dibilangin berjuta kali. Aku cuma bantuin Kenzo sampai dia dapat asisten baru."

Jilly berpegang pada janji Kenzo dan Hans. Bahkan hal itu menjadi salah satu poin perjanjiannya dengan Kenzo. Bahwa penugasannya hanya sementara dan dia bisa kembali ke departemennya yang sekarang. Karena dia memang tidak pernah berniat pindah ke mana pun. Sejak awal bekerja, Jilly sudah berada di bawah komando Hans, pria pertengahan empat puluhan yang dicintai bawahannya.

Kenzo sendiri bukan nama asing bagi Jilly meski mereka tidak saling kenal secara pribadi. Berita yang terdengar seputar Kenzo didominasi tentang sikap galak dan tuntutan tingginya yang menakutkan. Entah dilebih-lebihkan atau tidak.

Dulu, Jilly lebih banyak menjadi pendengar tiap kali ada yang berkomentar tentang Kenzo. Dia tak pernah tergerak untuk memberikan opini karena nyaris tidak mengenal lelaki itu. Tidak juga ingin mencari tahu. Siapa sangka, kini lelaki itu akan menjadi atasan Jilly untuk sementara? Hidup benar-benar tak bisa diprediksi, kan?

"Kamu bakalan pindah bagian mulai besok? Kenapa tiba-tiba?" respons Indy keheranan saat diberi tahu. Mereka sedang duduk berdua di teras, di Minggu sore yang mendung itu. "Naik jabatan, Jill? Kok baru bilang?"

"Nggak naik jabatan, Ma." Jilly tergelak. "Pindahnya memang mendadak dan cuma untuk dua bulanan."

Dia sengaja tidak menceritakan tentang insiden yang terjadi di halaman supermarket. Pasalnya, Jilly tak mau menambah beban pikiran ibunya. Kemarin pun dia cuma beralasan bahwa mobil menabrak tembok saat hendak parkir di supermarket. Ibunya tak banyak bertanya dan langsung membawa mobil ke bengkel keesokan harinya.

"Tapi, nggak ada masalah, kan?" Indy malah tampak cemas.

"Nggak ada, Ma. Tenang aja," balas Jilly. Lalu dia mengimbuhi dalam hati, bahwa semua masalah besar itu sudah datang berbondong-bondong setelah Arlo meninggal.

Jilly menyesap cokelat hangatnya. Dia sedang membuat bayangan fiktif di kepala, tentang apa yang akan dihadapi besok. Sore baru saja menjelang dan hujan yang sudah berhenti pun menyisakan aroma khasnya, petrikor. Itulah sebabnya Jilly duduk di teras. Dia sangat menyukai kondisi seperti ini, hujan yang sudah berhenti di sore hari.

Sebuah mobil sedan berhenti di depan rumahnya. Jilly serta-merta memanjangkan leher dengan penasaran. Pandangannya terhalang oleh mobil milik Indy yang diparkir di halaman. Apakah mereka kedatangan tamu? Dia mendengar suara bantingan pintu mobil.

"Teman Mama ada yang mau datang, ya?" tanya Jilly pada ibunya. Sesekali, memang Indy biasa kedatangan tamu. Jilly yang hampir tak pernah mendapat kunjungan karena satu-satunya sahabat perempuan itu tidak tinggal di Indonesia.

"Nggak ada," sahut Indy, pendek.

Mata Jilly terpaku pada sosok perempuan muda yang sedang mendorong pintu pagar seraya melambai padanya. Prita. Jilly meletakkan gelasnya dan nyaris menghambur ke halaman. Dia memeluk adik iparnya itu. Sebelum beralih kepada Irsan dan Lula Rachman, mertuanya, yang berjalan di belakang Prita.

"Kamu kurusan, Jill." Lula meletakkan kedua tangannya di pipi menantunya. Jilly hanya tersenyum. Itu kalimat pembuka yang familier selama dua tahun ini. Perhatian Lula seharusnya pantas mendapat pujian. Akan tetapi, hal itu justru membuat Jilly serbasalah.

"Ayo masuk, Bu, Pak," kata Indy setelah mereka saling bertukar kabar. Jilly pun menggandeng tangan iparnya, berjalan menuju ke arah rumah.

Ini adalah kunjungan mendadak yang mengejutkan. Bukannya ingin mengeluh, tapi Jilly merasa seharusnya dia berhak diberi tahu jika ada yang ingin datang bertamu, kan? Andai tadi dia tidak berada di rumah, bukankah itu akan menjadi "masalah" baru? Tentunya jika menilik sikap ibu mertuanya yang menginginkan segala hal yang serba sempurna.

Indy buru-buru pamit ke dapur. Ibunya sudah pasti berniat membuatkan minuman untuk keluarga Arlo. Sekaligus meminimalisir kesempatan berada di ruangan yang sama dengan Lula. Meski tak pernah mengatakan apa pun, Jilly tahu bahwa ibunya kurang menyukai Lula. Demikian juga sebaliknya. Namun, pernikahan yang sudah mengikat Jilly dan Arlo sudah memaksa keduanya menjadi besan.

"Zia mana, Jill?" tanya ibu mertua Jilly begitu sudah duduk di sofa.

Lula memandang sekeliling dengan kening berkerut. Mendadak, Jilly merasa bahwa warna dinding ruang tamu rumah ibunya, berubah lebih tua dua tingkat. Lula selalu memberi efek itu padanya, mengubah warna menjadi lebih gelap sekaligus muram. Jilly tak bisa menjelaskan alasannya hingga memiliki perasaan semacam itu.

"Zia lagi keluar bareng Abel, Bu," ujar Jilly. "Sebentar, biar saya telepon dulu."

Perempuan itu masuk ke kamar untuk mengambil ponselnya. Dia sempat bicara selama beberapa detik di telepon dengan Abel. Setelah itu, Jilly kembali menuju ruang tamu.

"Mereka udah ada di dekat sini, Bu. Sebentar lagi sampai," beri tahu Jilly. Setelah itu, Jilly pamit ke dapur untuk membantu ibunya menyiapkan minum.

"Jill, Bapak minta air putih aja. Kamu jangan repot-repot bikin ini-itu," pesan Irsan.

"Iya, Pak. Nggak repot, kok."

"Aku juga, Jill. Minta air putih juga," imbuh Prita.

Jilly ke dapur dengan perasaan aneh yang membuat kepalanya agak pusing. Seakan dia sedang merasakan efek mabuk kendaraan yang sama sekali tak nyaman. Satu lagi impak yang tidak pernah disukainya jika sudah menyangkut keluarga Arlo.

"Mama bikin apa?" tanya Jilly pada ibunya. "Bapak dan Prita cuma mau air putih doang. Nggak usah bikin minuman lain, Ma."

"Mama cuma bikin teh lemon madu, favorit ibu mertuamu," sahut Indy.

Tanpa bicara, Jilly mengambil dua gelas bersih lagi. Prita mengekorinya ke dapur. Sementara Indy pun pamit untuk menemani tamu putrinya.

"Kamu kok nggak meneleponku kalau mau ke sini, Ta? Aku nggak nyiapin apa-apa." Jilly setengah mengomel saat Prita mengambil alih nampan. "Aku nggak punya makanan untuk disuguhkan. Lain kali, kalau mau ke sini, kasih tau dulu, ya. Biar kita makan siang atau makan malam bareng."

"Sengaja, karena niatnya mau ngasih kejutan, Jill," balas Prita, santai. "Ibu yang tiba-tiba mengajak ke sini, mungkin rindu sama kamu dan Zia. Lagi pula, kurasa kami akan memilih restoran kalau tujuannya ke sini mau nyari makanan," kata Prita, tergelak pelan. Perempuan itu meninggalkan dapur setelahnya sambil membawa nampan. Jilly mengekori iparnya.

Zia menjadi penyelamat bagi kecanggungan Jilly saat tiba di rumah tak lama kemudian. Seperti biasa, Zia tampak gembira melihat ketiga tamunya. Dalam sekedip mata, anak itu sudah bergelayut manja di lengan kakeknya. Sementara Abel sempat bergabung sebentar untuk menyapa tamu mereka. Lalu, gadis itu pamit untuk mandi.

Lula bersuara di sela-sela keributan karena suara Zia yang menggumamkan aneka kata. "Bram tadi menelepon Mama, Jill. Kemungkinan besar dia bakalan pulang bulan depan. Mama pengin kamu meluangkan waktu kalau Bram datang. Maksudnya, main ke rumah. Bisa, kan?"

Entah mengapa, bulu kuduk Jilly meremang karena kata-kata mertuanya itu. Membayangkan dirinya akan bertemu saudara kembar Arlo yang nyaris tak dikenalnya. Namun dia tetap menjawab dengan sopan, "Bisa, Bu."


Lagu : When We Were Young (Adele) 

God Gave Me You [The Wattys 2022 Winner]Where stories live. Discover now