Jilly segera menyadari bahwa Emil adalah objek yang dimaksudkan Helen tadi pagi. Dia menyambut uluran tangan Emil dengan senyum terkulum. Lelaki itu memiliki kemiripan dengan Louis Tomlinson, hanya saja dalam versi Melayu. Pantas saja banyak yang membahas tentang lelaki ini. Harus diakui, Emil memang penambat pandang yang pasti disukai kaum hawa. Jadi, Jilly tak akan heran jika Emil menjadi buah bibir para rekan sejawatnya.
"Aku belum pernah ngelihat kamu sampai pagi ini." Emil bersuara lagi. "Sebelumnya kamu bekerja di bagian mana?"
Jilly tersenyum. "Aku cuma keluar dari kubikel untuk makan siang. Kerjaanku menumpuk. Tadinya aku bekerja di lantai dua."
"Oh." Emil menyeringai. "Gimana hari pertamamu?"
"Lancar," aku Jilly, pendek. "Kamu di bagian apa, Emil?"
"Aku ngurusin masalah inventaris." Emil menunjuk ke arah piring Jilly. "Kok makannya nggak dihabiskan? Kehilangan selera karena digalakin Pak Kenzo?" guraunya. "Gosipnya memang banyak yang negatif. Tapi aslinya Pak Kenzo itu nggak galak. Disiplin, lebih tepatnya."
"Aku udah kenyang," respons Jilly. Dia meraih gelas berisi es teh manis, minuman yang ideal untuk dinikmati saat udara begini panas. Dia memandang ke seantero kantin yang berada di area belakang gedung. "Kamu nggak makan?"
"Udah kelar. Barusan aku mau balik ke kantor. Tapi karena ngelihat kamu sendirian, aku mampir sebentar. Sekalian pengin kenalan karena aku anak baru di sini," ucapnya. "Tiap hari aku nyoba menu baru di sini. Tapi belum semuanya kucicipi."
Jilly tertulari sikap santai Emil. Lelaki ini menjadi semacam oase setelah dia melalui pagi yang boleh disebut tak menyenangkan.
"Omong-omong, kamu sampai di kantor jam berapa?" tanya Jilly ingin tahu.
"Jam delapan. Penginnya lebih pagi, tapi rumahku lumayan jauh. Dan Pak Kenzo hampir selalu datang lebih pagi dibanding yang lain."
Jilly menghabiskan kurang dari sepuluh menit lagi untuk mengobrol dengan Emil, sebelum kembali ke ruangannya.
"Apa ponselmu selalu mati saat jam makan siang?"
Jilly baru saja menutup pintu saat dia mendengar suara Kenzo. Perempuan itu mengernyitkan alis dengan terang-terangan saat menatap bosnya.
"Ada masalah, ya, Pak?" Jilly mendadak panik. Dia berjalan ke arah meja atasannya. "Apa ada keluarga saya yang menelepon ke sini? Tadi pagi saya nggak ngecek ponsel, ternyata baterainya habis. Saya ...."
Kenzo mengangkat tangan kirinya, isyarat tegas agar Jilly berhenti membuka mulut. Wajah lelaki itu cemberut. "Nggak ada yang meneleponmu! Apa memang harus secemas itu kalau ada telepon dari keluargamu?"
"Tentu!" balas Jilly tanpa pikir panjang. "Saya punya anak perempuan berumur empat tahun yang bisa aja sedang bikin susah ...."
Perempuan itu mendadak terdiam. Dia segera ingat bahwa yang duduk di hadapannya adalah Kenzo, bukan Hans. Dengan Hans dia tidak canggung berdiskusi tentang Zia. "Maaf, Pak," pintanya dengan tulus. "Kalau boleh tau, kenapa Bapak menghubungi saya?"
Kenzo tidak langsung menjawab. Lelaki itu memandangi Jilly selama beberapa detik yang terasa begitu menegangkan. Jilly bersumpah, dia bisa merasakan tulang punggungnya bertransformasi menjadi es balok. Dia yakin, lelaki itu akan meledak, memarahinya.
Suara Kenzo kembali datar saat dia membuka mulut. "Tadinya saya mau minta tolong dibelikan sesuatu, mumpung kamu berada di kantin. Saya belum makan."
Lelaki itu kembali menekuri pekerjaannya, mengejutkan Jilly. Dia membaca isyarat itu sebagai perintah agar segera melanjutkan pekerjaannya. Jilly dengan ragu menuju ke mejanya, meletakkan tas. Pikirannya mendadak keruh.
Seharusnya dia segera kembali bekerja. Bukannya malah mencemaskan pria dewasa yang bersikap menyebalkan dan memilih untuk bekerja serta menunda makan siangnya. Jilly memaki hati nuraninya yang mendadak muncul tanpa diundang, memaksanya mendatangi Kenzo lagi. Padahal, jauh lebih baik jika dia mengabaikan bosnya. Toh, Kenzo bisa meminta office boy untuk membelikan makanan untuk dirinya, kan?
"Bapak pengin makan apa? Mi, nasi, roti, atau yang lain?"
Kenzo mendongak dan terlihat kaget. "Nggak usah! Nanti saya nyuruh office boy saja. Tadi nelepon kamu karena kamu sedang keluar."
"Saya tau tempat makanan enak di sekitar sini yang mungkin orang lain nggak tau. Bapak tinggal sebut aja mau apa," kata Jilly keras kepala dan setengah menyombong.
Kenzo mengerjap hingga tiga kali. "Baiklah, kalau kamu bersikeras. Saya pengin makan nasi tapi nggak pengin makanan tertentu secara khusus. Ada saran? Atau menu yang kira-kira memang luar biasa oke?"
Jilly memutar otak dan menggali memori. Dia mengambil risiko besar saat ini. Standar "enak" untuk lidahnya belum tentu sesuai dengan selera Kenzo. Namun, dia sudah telanjur bicara penuh percaya diri tadi. Jadi, perempuan itu tidak bisa mundur lagi.
"Ada beberapa menu. Nasi goreng kari, nasi bakar ayam kemangi, atau nasi dengan lauk dendeng spesial. Semuanya enak," sahutnya.
Kenzo mengeluarkan dompetnya. "Tolong pilihin yang menurutmu paling enak. Kalau ternyata rasanya biasa aja, hari ini saya akan menambah setumpuk map lagi di mejamu."
Bibir Jilly terbuka. Dia ingin mengajukan protes tapi Kenzo sudah kembali fokus pada berkas dan laptop di meja. Seolah-olah Jilly tidak ada di sana. Perempuan itu menahan diri agar tak mendengkus terang-terangan di depan atasan barunya itu.
Sambil berjalan meninggalkan ruang kerja yang dibaginya bersama Kenzo, Jilly mengembuskan napas panjang. Perempuan itu mengutuki dirinya yang sok menjadi pahlawan dengan menawarkan diri membelikan makanan. Siapa sangka jika niat baiknya malah kemungkinan besar akan diganjar dengan tambahan pekerjaan?
Perempuan itu akhirnya memilih nasi bakar ayam kemangi untuk Kenzo. Penjualnya hanya menggelar dagangan di teras rumahnya yang selalu dipenuhi pengunjung. Jilly dan Helen "menemukan" tempat itu nyaris dua tahun silam. Ada harapan jahat yang ikut menggeliat di hati Jilly, semoga Kenzo menderita diare parah setelah menyantap makanan itu.
Jilly memindahkan nasi bakar dengan aroma menggoda itu ke atas piring lebar yang ada di pantri. Dia juga menaruh emping ke dalam mangkuk kecil. Ketika kembali ke ruangan yang ditempatinya bersama Kenzo, Jilly juga membawakan segelas air putih untuk atasannya.
Dia belum pernah menunggu seseorang makan dengan dada seberisik itu. Jantungnya seakan melompat liar melihat Kenzo memasukkan suapan pertama ke dalam mulutnya. Jilly menahan napas menunggu komentarnya, tapi lelaki itu seakan sengaja mengulur waktu. Menanti Kenzo menuntaskan makan siangnya membuat Jilly benar-benar tersiksa.
"Lumayan." Cuma itu kata yang diucapkan Kenzo. Jilly tidak berhenti memaki dalam hati selama lima menit kemudian. Lelaki ini jauh lebih menjengkelkan dibanding bayangan Jilly. Lain kali, Jilly mungkin akan membelikan makanan yang sudah ditaburi bubuk beracun untuk Kenzo.
Lagu : Hold On (Wilson Phillips)
KAMU SEDANG MEMBACA
God Gave Me You [The Wattys 2022 Winner]
General FictionSetelah lamarannya ditolak sang kekasih, mobil Kenzo ditabrak oleh perempuan bernama Jilly. Tadinya Kenzo tak ingin memperpanjang perkara, tapi insiden itu malah membawa mereka berdua ke situasi yang tak terduga. *** Dalam satu hari, dua peristiwa t...
Wattpad Original
Ini bab cerita gratis terakhir