04

55 11 32
                                    

❦︎❦︎❦︎

"Wajar jika orang menangis kala hatinya teriris. Namun, kamu bodoh jika harus menangisi orang yang jelas-jelas sudah membuatmu rapuh berjuta kali."

❦︎❦︎❦︎

Pagi buta di saat semua orang masih terlelap, tetapi Qiran tengah berkutat dengan alat kebersihan. Sejak jam tiga dini hari, Qiran sudah dibangunkan oleh Nadia untuk membersihkan seluruh isi rumah. Dia berkata bahwa nanti akan ada orang yang bertamu. Nadia kembali tertidur, sedangkan Qiran sedang mengepel.

Qiran menyetel musik pada ponselnya untuk mengurangi kesunyian. Sesekali dia ikut bernyanyi mengikuti iringan musik yang berputar. Nampak menyenang memang, tetapi siapa sangka jika sebenernya Qiran lelah. Bayangkan saja kamu membersihkan bagian rumah yang cukup besar sendiri, menyapu, mengepel, mengelap, dan lain sebagainya.

Qiran menyeka keringatnya. Kini perutnya merasakan lapar karena dari tadi malam dia belum makan. Qiran memasak nasi goreng untuk dirinya dan sang sang ibu. Dia tidak peduli makanan yang dibuatnya akan dimakan atau dibuang. Niatnya hanya ingin membuatkan makanan saja.

Pukul setengah enam Qiran sudah menyelesaikan pekerjaannya. Dia berniat untuk bersiap-siap menuju kafe tempatnya bekerja. Untuk hari ini, dia akan mengambil shift pagi. Lagi pula hari ini libur, jadi tidak akan mengganggu proses belajarnya.

"Qiran! Saya minta kamu pergi dan jangan pulang sampai siang. Kalau kamu tidak menuruti perintah saya, kamu akan mendapat hukuman!" ucap Nadia dari ujung tangga dengan pakaian yang rapi.

"Memang ada apa, Ma?" tanya Qiran penasaran. Tanpa disuruh pun Qiran akan pergi untuk bekerja. Dia selesai bekerja pukul sebelas siang.

"Tidak usah banyak tanya, pergi kamu!" usir Nadia sembari mendorong Qiran keluar dari pintu.

Qiran hanya bisa menghela napas pasrah. Kapan dia bisa dianggap oleh ibunya? Qiran membuang jauh-jauh pemikiran itu. Semakin dia berharap pada ibunya, semakin dalam pula dia jatuh pada lubang yang sama. Maka dari itu, dia memilih untuk memikirkan hal yang lain.

Tin!

Saat Qiran sedang berjalan di trotoar menuju tempat kerjanya. Seorang pengemudi mobil mengklakson dirinya. Lamunannya buyar dalam sekejap. Hampir saja kafe tempat kerja Qiran terlewatkan. Dia harus berterima kasih kepada orang itu karena membuat lamunannya pergi.

Kafe masih sepi karena masih sangat pagi, sehingga pengunjung belum ada yang datang. Qiran hanya duduk di dapur bersama teman-teman satu shift-nya menunggu pengunjung datang.

"Ran, kamu kok mau sekolah sambil kerja?" tanya salah satu pelayan yang lebih tua dari Qiran.

"Cuma buat nambah uang jajan, Mbak. Aku gak mau ngerepotin orang tua terus," dusta Qiran. Andai saja Nadia memberikan uang yang cukup, dia tidak akan bekerja seperti ini.

"Lagian kerja juga asik kok, Mbak. Karena aku kerja di sini, aku jadi ketemu sama Mbak Tia haha." Qiran tertawa untuk menyiratkan luka.

"Bisa aja kamu, Ran." Tiara terkekeh mendengar ungkapan Qiran.

Menurut Tia, Qiran adalah anak yang ramah, teyapi tertutup. Dia selalu terlihat ceria, Tia tidak pernah melihat Qiran bersedih. Pernah dia berpikir bahwa Qiran tidak memiliki beban apa pun. Obrolan mereka selesai ketika pengunjung yang mulai berdatangan.

Karena sekarang hari libur, pengunjung yang datang cukup ramai. Bahkan, Qiran dan Tia sampai keteteran dalam menyajikan makanan. Untung saja bos mereka dengan baik hati meminta kepada shift selanjutnya untuk cepat datang, sehingga pekerjaan tidak terlalu berat.

Invisible WoundsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang