14

21 5 0
                                    

❦︎❦︎❦︎

"Aku bahagia karena masih ada yang peduli dengan diriku yang tak pernah dianggap oleh ibuku."

❦︎❦︎❦︎

Malam yang terang membuat bulan dan bintang terlihat sangat menawan. Nadia baru saja pulang setelah makan malam dengan kekasihnya. Pintu rumahnya terbuka lebar, saat dia masuk ke dalam barulah dia menyadari bahwa pintu toilet juga terbuka.

Nadia mengeluarkan senyum miringnya. Berani-beraninya Qiran kabur dari hukuman. Langkahnya kini menuju toilet tempat Nadia menghukum anaknya. Di sana masih terdapat tas dan ponsel yang tergeletak. Tidak mungkin jika Qiran kabur tanpa membawa ponsel. Pasalnya, ponsel itu sangat berarti bagi semua orang.

"Sialan! Berani-beraninya dia kabur. Lihat saja Qiran, saya akan berbuat lebih kepadamu. Anak kurang ajar dan pembawa sial sepertimu tidak pantas hidup bahagia." Nadia tersenyum sinis. Dia akan membuat rencana yang lebih kejam dari pada tadi.

"Ibu tidak beretika!" seru seseorang dari arah luar membuat atensi Nadia tertuju padanya.

"Ada apa kau kemari? Ingin meminta rujuk denganku haha. Aku tau kamu masih mencintaiku, Tio."

Nadia tertawa sinis membuat Tio bergidik ngeri. Nadia seperti orang stres akibat tertawa pada hal yang tidak lucu sama sekali. Mungkin dia memang sudah gila sehingga tidak mempunyai hati pada Qiran.

"Jangan harap! Saya hanya memperingatkan kepadamu. Jangan pernah melukai Qiran, dia tidak punya masalah dengan masa lalu kita. Hal itu juga terjadi bukan karena dia. Dan jika saja pengadilan memberikan hak asuh kepada saya, pasti dia tidak akan menderita seperti ini. Hidup dengan seorang ibu yang gila dan tidak punya hati!" ucap Tio menusuk hati.

"Buat apa aku bersikap baik pada anak pembawa sial itu?" Tawa kembali keluar dari mulut Nadia.

"Kamu benar-benar gila, Nad!"

Tio berlalu meninggalkan Nadia yang sudah seperti orang gila sungguhan.

❦︎❦︎❦︎

Cahaya terang membuat Qiran yang baru saja sadar dari pingsannya. Hal yang pertama kali dia rasakan adalah silaunya sorotan lampu dan sakit perut dibagian ulu hati. Atensinya mengarah pada seluruh ruangan. Dari baunya saja dia sudah bisa menebak di mana keberadaannya. Ditambah lagi selang infus yang kini menempel pada punggung tangan kanannya.

Di sofa terdapat Jojo dan Keano yang masih tertidur. Di kursi samping brankar Qiran ada Kenzie yang tidur dengan tangan kirinya sebagai tumpuan. Dia sangat bersyukur karena ketiga orang yang sudah dia anggap sebagai kakak laki-lakinya sendiri sangat peduli akan keadaannya.

Qiran ingin beranjak dari tidurnya. Namun, baru bergerak sedikit, dia sudah merasakan sakit di perutnya. Sekuat tenaga dia menahan erangannya agar tidak keluar. Dia tidak mau menggangu ketiga lelaki yang tengah tidur. Apalagi Kenzie yang tertidur tepat di sampingnya.

Tidur Kenzie terusik karena dia merasakan gerakan di sampingnya. Sesekali dia mengerjapkan matanya untuk menetralkan cahaya yang masuk ke dalam matanya. Pandangannya tertuju pada Qiran yang mencengkeram erat perutnya dengan wajah menahan sakit.

"Butuh apa? Biar Kakak ambilin," tawar Kenzie dengan suara serak khas orang bangun tidur.

"Gak usah, Kak. Kakak lanjut tidur aja. Aku baik-baik aja kok," tolak Qiran halus. Dia sudah berkali-kali merepotkan Kenzie, dia tidak ingin merepotkan lagi.

"Kamu itu adek Kakak. Jangan sungkan kalau butuh apa-apa."

Qiran tersenyum lembut ke arah Kenzie. Jika Kenzie benar-benar kakak kandungnya, dia pasti sangat senang. Perhatian Kenzie membuat dirinya merasa istimewa. Qiran yang biasanya ditampar, kini menjadi seperti tuan putri.

Invisible WoundsWhere stories live. Discover now