09

26 6 10
                                    

❦︎❦︎❦︎

"Teruslah berjuang hingga usahamu menjadi sejarah dan lelahmu menjadi lillah."

❦︎❦︎❦︎

Siang yang terik membuat pejalan kaki maupun para pengendara mengeluh akan cahaya matahari yang sangat menyengat. Karin melajukan motornya menuju kafe Mentari yang tidak terlalu jauh dari rumahnya. Rasanya sangat aneh, pertengkarannya dengan Nara tidak seperti biasanya.

Karin memakirkan motornya di tempat yang sedikit sepi agar dia tidak kesulitan untuk mengambilnya saat pulang. Kakinya melangkah ke arah pintu masuk kafe. Wajahnya kusut seperti baju yang belum disetrika. Meskipun Karin itu biang rusuh, tetapi dia juga masih memiliki perasaan.

"Aduh!" rintih seseorang daat Karin tidak sengaja menabraknya.

"Karin?"

Karin menatap heran kepada Qiran. Baru saja, dia tidak sengaja menabrak sahabatnya yang paling polos. Dia segera memeluk Qiran dengan erat lalu menangis di pelukan Qiran. Juju saja, Qiran terkejut melihat tingkah Karin. Biasanya, dia akan selalu ceria. Namun, kini dia melihat sisi lain dari Karin.

Agar tidak mengganggu pelanggan yang ingin masuk, Qiran membawa Karin untuk duduk di kursi dengan meja bertuliskan nomor dua belas yang terletak di pojok kafe. Dia bingung, baru satu hari Qiran tidak berangkat sekolah. Namun, sudah ada peristiwa yang tidak dia ketahui.

"Gue berantem sama Nara." Ucapan itu tidak membuat Qiran kaget. Bertengkar dengan Nara adalah makanan sehari-hari untuk Karin. Namun, kali ini beda. Sebesar apa masalah mereka hingga Karin menangis seperti tadi?

Karin menceritakan semuanya. Hal yang dimulai dari dia lupa membawa daun pisang untuk praktik membuat tape hingga dia bertengkar dan mengungkit masalahnya perihal Nara dan Keano. Lagi pula dia lelah jika harus menerima setiap omelan dari Nara. Apalagi di sekolah tidak ada Qiran sebagai penengah.

Pikiran Qiran sedang mencerna apa yang Karin katakan. Ini memang masalah yang kecil, tetapi mengapa bisa jadi sebesar ini? Perilah tidak membawa daun saja menjadi permusuhan. Apa kabar dengan dia yang belum menceritakan masalah keluarganya pada Karin?

"Ehm ... Karin, ini 'kan masalahnya nggak terlalu besar. Mending kalian baikan aja, nanti Qiran yang bantuin ngomong sama Nara. Lagi pula kita udah sahabatan dari lama, masa masalah gini harus berantem," tutur Qiran dengan wajah polos dan suara yang lembut.

Karin mengangguk atas tuturan Qiran. Dia juga  berpikir akan berbaikan dengan Nara sebelum masalah ini semakin membesar. Sahabat macam apa jika masalah kecil saja sudah saling menjauh? Harusnya setiap masalah dijalani bersama-sama, tidak malah memecahkan sebelah pihak.

Pandangan Karin terfokus pada Qiran yang melamun. Wajahnya tampak cemas, dia seperti sedang memikirkan hal yang belum Karin ketahui. Karin melambaikan tangannya di depan wajah Qiran. Namun, pandangan Qiran itu kosong, sehingga tidak bereaksi apa-apa.

"Qiran!" seru Karin sembari menggoyangkan bahunya.

Qiran terkejut mendapatkan perlakuan dari Karin. Semua mata memandang ke arah mereka akibat seruan dari Karin. Qiran segera tersenyum dan meminta maaf akibat perbuataan sahabatnya.

"Em ... ak-aku mau ngomong sesuatu sama Karin. Sebenernya ada satu hal yang belum kamu tau dari aku, ini tentang kehidupan aku. Kamu sahabat aku, jadi aku akan cerita sama kamu."

Karin sangat penasaran akan apa yang ingin diceritakan oleh Qiran. Raut wajah Qiran seperti tertekan. Sebenarnya apa yang terjadi dengan kehidupan Qiran hingga dia seperti itu.

Invisible WoundsWhere stories live. Discover now