28

10.3K 1.5K 56
                                    

Bab 74 sudah publish di KBMapp ya.

***

Ammar melipat kemeja basahnya dan meletakkan di kursi yang ditunjuk Putri sebelum istrinya masuk ke kamar mandi. Hoodie itu pas di tubuh Ammar, jika Putri yang memakai, tubuh wanita itu bisa jadi tenggelam.

Ammar menggelengkan kepala, menghapus bayangan Putri yang terlihat imut jika mengenakan hoodie-nya. Untuk terakhir kalinya, lelaki itu menatap pintu kamar mandi dalam di seberang ruangan. Ada renjana yang muncul perlahan dalam dada Ammar, dan dia mawas atas rasa itu. Rasa yang akan memperumit semua persoalan mereka.

Sehingga Ammar memutuskan untuk keluar kamar, menjauh dari sesak yang terus dia menghimpit dadanya hari ini. Rumah ini terasa lebih luas daripada tadi, dia sekarang sempat mengamati.

Foto keluarga menghiasi beberapa titik. Ada juga foto kanak-kanak Putri, rambut ikalnya menyembul di antara rimbun tanaman kopi. Ada juga Putri remaja yang bergelayut manja di pundak ayahnya, potret mengabadikan kedekatan ayah-anak itu dengan sempurna.

Lampu kristal bergoyang di ruang tengah ketika angin kencang menembus jendela dan pintu yang dibiarkan terbuka. Set home theatre berhadapan dengan sofa yang nyaman dengan banyak bantal, di sisi yang lain ada seperangkat alat pembuat kopi, mulai dari gilingan yang diputar secara manual dengan tangan, corong-corong V60 yang sering terlihat di kedai kopi modern, hingga mesin espresso. Putri tidak pernah bercerita apa pun soal kopi, sehingga Ammar tidak yakin, alat-alat itu kepunyaan siapa.

Suara beberapa wanita bersahutan di bagian belakang rumah, Ammar mengikutinya hingga sampai di area ruang makan yang bergabung dengan dapur kering. Khadijah tetap di kursi rodanya sambil menikmati teh jahe yang menguarkan aroma hangat.

"Sudah lama Ibu nggak lihat baju itu," ujar Khadijah ketika Ammar duduk di sampingnya.

Mbok Nah menghampiri, cangkir teh jahe yang berkelutuk ketika diletakkan di atas meja marmer. Ammar mengucapkan terima kasih singkat, sebelum wanita itu kembali ke dapur kering, menyiapkan beberapa camilan.

Ammar memandang bajunya lagi, kini dia baru menyadari ada tulisan 'fotografi' di sepanjang lengan kanannya.

"Dulu, kayaknya tiap minggu Putri bakal keluar hunting pakai baju itu, bareng teman-temannya. Kalau sudah selesai, mereka ke sini." Khadijah memandang ruang tengah. Mungkin membayangkan beberapa mahasiswa yang duduk santai sambil memeriksa foto di kamera, atau menonton film bersama. "Numpang cetak foto di studio Bapak."

"Kangen ya, Bu. Ramai-ramai kayak dulu?" Mbok Nah menyahut dari dapur.

Teh jahe menghangatkan mulut, kerongkongan, hingga perut Ammar. Lelaki itu hanya diam sambil mendengarkan.

"Banget, Mbok," ujar Khadijah sambil tersenyum. "Sejak Putri keluar dari kampus, dia nggak pernah kumpul-kumpul bareng temannya lagi. Sampai didatangi ke sini buat diajak hunting, malah milih di rumah saja."

"Wajar, sih Bu." Mbok Nah menghela napas, lalu kembali sibuk.

"Makanya, Ibu senang banget waktu Putri telepon, minta dikirim kamera ke Bogor." Khadijah memandang Ammar dengan lega, seperti satu persoalan berat telah lepas dari pundak sang ibu. "Dia mulai motret lagi, 'kan?"

"Iya, foto Putri bagus-bagus." Ammar memuji tulus.

"Tapi kalau mulai lupa waktu gara-gara motret, Mas Ammar langsung ingatkan, ya. Putri itu persis Bapak, kalau sudah pegang kamera bisa lupa segalanya."

"Hayo, ngomongin Putri di belakang, ya?" Putri muncul dari ruang tengah. Kaos lengan panjang berwarna ungu pucat motif bunga putih yang tersebar di bagian bawah dipadu celana panjang katun warna ungu gelap. Rambut ikalnya terkepang hingga tengah punggung.

"Kamu mau diomongin di depan?" tantang Khadijah sambil menyaksikan anak perempuannya duduk di kursi tengah, antara Khadijah dan Ammar. "Ibu cuma mau ingatkan Mas Ammar, kamu sering lupa waktu kalau pegang kamera."

"Putri nggak lupa waktu, kok Bu, walau sudah pegang kamera," ucap Ammar lembut, untuk sesaat Putri mengira suaminya akan membelanya. "Cuma lupa sekitar, saya telepon berkali-kali sama sekali nggak sadar." Lelaki itu tertawa usil, Khadijah ikut tertawa, sedangkan Putri hanya bisa cemberut.

"Kamu nggak boleh begitu...." nasihat Khadijah terhenti, langkah kaki datang mendekat.

"Mbok, di depan mobil siapa, ya?" suara lelaki terdengar.

Putri panik, bergerak cepat ke masuk ke kolong meja. Namun, ketika dia melakukannya, suara hantaman terdengar keras lalu Putri mengaduh.

Ammar linglung, hanya melihat Putri yang berjongkok di dekat lutut, tangannya menggosok sudut dahinya.

Lelaki pemilik suara muncul, pemuda berusia duapuluhan dengan seragam satpam.

"Tono, keluar-keluar! Ada Mbak Putri." Mbok Nah mengibaskan tangan, mengusir satpam yang memandang Ammar di meja makan.

"Maaf! Saya nggak tahu kalau Mbak Putri di rumah," Tono mundur beberapa langkah, bersembunyi di balik pintu penghubung rumah bagian depan dengan dapur. "Mobil suaminya Mbak Putri, ya." Lelaki itu kembali mundur.

"Iya, memangnya kamu ke mana sampai nggak tahu ada yang datang? Ngapel lagi ke warung depan, ya?" Mbok Nah mulai mengomel, menghampiri Tono lalu membawa menjauh.

"Sudah pergi?" Putri mengintip, menumpukan siku di atas kursi.

Ammar yang mulai paham situasi mau tak mau tersenyum. Istrinya, yang tidak mengenakan hijab, bersembunyi di bawah kursi untuk menjaga aurat. Bu Khadijah berdecak dengan kelakukan anaknya.

"Makanya, kalau pulang beri kabar dulu. Biar orang rumah juga siap."

Putri kembali ke kursi dengan cemberut, tangannya masih menggosok dahinya.

"Bengkak," ujar Ammar pelan, menyentuh lembut dahi Putri yang benjol kemerahan. Tatapannya lembut, khawatir, dan sedikit kesal. "Lain kali pakai jilbab saja daripada harus begini."

Putri memandang Ammar, cara pria itu menatapnya membuat Putri segera mengalihkan pandangan. Wajahnya memanas.

"Nggak apa-apa, kok." Putri ingin menyisihkan tangan Ammar, tapi usapan lembut suaminya berhasil mengurangi rasa sakit. "Kalau Tono dan Pak Wawan tahu Putri di rumah, mereka nggak akan ke belakang, kok." Putri menenangkan Ammar, merasa ada cemburu yang muncul dalam kekhawatiran sang suami.

Ammar hanya menghela napas, tatapan kesal tertahan beberapa saat, sebelum akhirnya tangan Ammar kembali ke tempatnya. Sebuah getar terdengar dari ponsel Ammar yang tergeletak di meja.

"Revisi skripsi," Putri sempat membaca tulisan yang muncul di bilah notifikasi. Wanita itu sudah bersiap, jika Ammar berdiri, menyepi di satu sudut untuk membaca dan membalas email yang baru saja masuk.

Namun, tidak. Pria itu hanya melihat sekilas, lalu meletakkan kembali ponselnya dalam keadaan terbalik.

Dan entah mengapa, ada rasa senang yang menyelinap di dada Putri ketika suaminya kembali melanjutkan obrolan dengan Ibu.

Perjanjian Pernikahan: Meretakkan MerekatkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang