11

11.1K 1.5K 41
                                    

"Aku akan sangat sibuk, Put. Lebih sibuk dari yang pernah kamu lihat." Ammar terdengar sangat lelah, bahkan sebelum menjalaninya.

Seharusnya, dari awal Putri sadar, pernikahan ini bukan hanya tentang Putri, tapi juga tentang Ammar.

"Kamu tunggu di sini. Aku cari helm dulu," ujar Ammar tiba-tiba.

Ammar berjalan menjauh, meninggalkan Putri dan troli di antrean. Pundak yang sebelumnya terlihat berat, perlahan makin tegak bersamaan dengan langkah. Putri merasa bersalah, dia yang mengusulkan--memaksakan--agar mereka segera menikah ketika Ammar setuju dengan perjodohan ini. Semua pembicaraan yang terjadi setelah itu hanya antara keluarganya dan orang tua Ammar. Ammar terlalu sibuk. Seharusnya, itu sudah cukup menjadi pertanda bagi Putri. Namun, dia tetap memaksa. Kekhawatirannya sendiri mengaburkan pikiran logis.

"Nggak ada warna pink." Ammar sudah kembali, meletakkan helm yang diambil dari perlengkapan otomotif yang disediakan toserba yang mereka kunjungi. Sebuah helm hitam, dengan kaca yang ditutupi oleh sticker pelindung tergeletak di antara sayur dan perlengkapan kebersihan. "Kamu pulang naik motor atau aku panggilkan taksi?"

Putri segera tersenyum, mengabaikan kekhawatiran sesaat.

"Motor saja, udah lama banget Putri nggak naik motor."

Lima tahun lalu, Putri masih sering dibonceng oleh teman-teman satu kampus ketika ada kegiatan. Dia harus bekerja sama dengan sopir pribadinya agar tidak mengadukan kebiasaannya itu Khadijah. Pembicaraan Ammar soal thesis dan disertasi membuatnya rindu pada kehidupan kampusnya dulu.

***

"Pasang pengaitnya!" perintah Ammar setelah mengantung tas belanja di bagian depan motor dan mendapati Putri memakai helmnya dengan asal.

"Harus ya?" Putri cemberut, tapi melakukan yang diminta oleh lelaki di depannya.

Ammar menanti hingga terdengar bunyi 'ceklek' baru menaiki Vespa kuningnya. Putri bergerak kikuk, berusaha naik tanpa perlu berpegangan pada Ammar. Mereka suami-istri, Putri tahu itu. Namun, satu-satunya sentuhan antara mereka berdua adalah ketika Putri mencium tangan Ammar setelah akad. Menurut penuturan ibu mertuanya, mulai tiga tahun lalu Ammar mulai membatasi pergaulan dengan wanita, menghindari sentuhan. Sehingga, selain ketidaknyamanan Putri sendiri untuk menyentuh lelaki, dia juga tidak ingin seenaknya berpegangan dengan Ammar yang mungkin saja tidak suka.

Tangan Putri berpegangan erat pada rangka besi yang mengitari bagian belakang jok. Angin dingin mulai menerpa pipi begitu mereka melaju di jalan raya. Putri menggoyangkan kaki yang berbalut Converse pink, menikmati pemandangan jalanan dari dekat. Tidak tersekat oleh jendela Alphard yang selalu dia gunakan jika keluar rumah. Deru mesin terdengar dekat dengan aroma asap knalpot yang sesekali menyapa. Putri tidak pernah menyangka akan rindu pada aroma polusi.

Saat berhenti di lampu merah, dia hanya bisa menertawakan dirinya sendiri ketika merasa iri pada pengendara di sampingnya. Seorang pria yang sudah tampak berumur, dipeluk pembonceng di belakangnya, seorang wanita berhijab yang juga tampak sudah sepuh. Kepala berhelm bersandar ke pundak sang pria.

Tangan Putri memainkan ujung jilbab, melirik Ammar yang sedari tadi bungkam. Putri mencoba mengintip wajah pria itu melalui spion, tapi sia-sia, sudut cermin cembung itu tidak tepat.

Perjalanan berlanjut, Ammar mengendara dengan perlahan awalnya. Namun, ketika tetes pertama air hujan mengenai tangan Putri, laju kendaraan roda dua itu bertambah kencang. Entah apakah karena Putri yang secara refleks menunduk, tapi dapat dia rasakan Ammar menegakkan pundak, melebarkan dada, memberi perlindungan tambahan untuk wanita di belakangnya.

Mereka tidak lama berkendara dalam guyuran hujan. Tidak sampai lima menit dan Vespa itu telah berhenti di samping mobil Ammar di carport. Putri melompat turun, disusul Ammar yang memasang standar motornya.

"Kamu nggak basah kan?"

Putri menggeleng. Pertanyaan itu sebenarnya tidak perlu Ammar lontarkan.Tubuh Putri tidak basah, hanya beberapa titik air yang mengenai jilbab sisi kiri dan rok panjangnya.

Seharusnya, Putri yang mengkhawatirkan lelaki itu. Kaca depan helm Ammar basah, begitu juga bagian depan kemejanya terlihat kuyup. Mungkin celana juga sama, tapi Putri tidak bisa mendeteksi percikan air di atas celana bahan berwarna gelap.

Namun, pria itu tampak tak peduli dengan kondisinya sendiri. Ammar bersegera mengambil tas belanjaan, berjalan terlebih dulu ke pintu. Seperti saat di hotel, Ammar membukakan pintu untuk Putri. Menanti sang wanita lewat, baru dirinya masuk dan menutup pintu. Putri yang bergerak terlalu lambat dilewati Ammar. Saklar lampu ditekan seiring perjalanan Ammar dari ruang tamu hingga dapur, tidak memberi kesempatan bagi Putri untuk menebak-nebak arah dalam gelap.

Putri hanya berjalan pelan sambil mengamati lelaki itu. Lelaki baik yang katanya belum siap menikah. Lelaki baik yang tidak mengukur kebaikannya, karena menurutnya biasa saja. Lelaki baik yang akan mencurahkan segalanya ketika mengerjakan sesuatu. Lelaki baik yang seharusnya memperoleh seorang istri untuk meringankan bebannya.

Rasa bersalah Putri makin menjadi. Tenggorokan tersekat rasa berat. Pilinan jilbab di tangan makin erat.

"Mas Ammar nggak ingin tahu, kenapa Putri bisa tahu kalau pernikahan berjangka nggak memenuhi syarat sah perjanjian?" Tangan Putri mulai gemetar, tapi dia tahu, tetap harus diungkapkan.

"Kamu belajar hukum?" Ammar bertanya asal sembari membongkar isi tas belanja di konter dapur.

Putri menggeleng. Dia menelan ludah, berharap kalimat yang akan diucapkan terdengar jelas, karena tak sanggup mengatakannya dengan lantang.

"Karena Putri juga berniat membuat perjanjian yang sama."








---

A/n: Ada yg terkejut?

Part 51 sudah ada di KBM, banyak hal yang Putri sembunyikan.

Perjanjian Pernikahan: Meretakkan MerekatkanWhere stories live. Discover now