13

12.6K 1.5K 58
                                    

Di KBM, sudah sampai Bab 55

Kepala Ammar pening, dia meletakkan siku di permukaan meja. Ujung jari-jarinya yang hangat oleh cangkir kopi memijat alisnya yang tiba-tiba kaku.

"Kenapa bukan kamu yang menolak?" Pembicaraan ini terasa lebih melelahkan daripada pekerjaannya. Ammar hanya memandang sekilas wanita di depannya yang menatapnya khawatir. Apakah Putri takut dengan reaksi Ammar? Dia sendiri tidak yakin.

"Ibu suka banget dengan Mas Ammar." Gelas teh digenggam erat. "Putri nggak ingin bikin Ibu kecewa kalau penolakan datang dari Putri. Putri belum ingin menikah, Putri masih mau tinggal bareng Ibu." Putri mulai terdengar serak. "Mas Ammar sendiri?"

"Aku lelah diminta Mama taaruf dengan kenalan-kenalan Mama." Alasan Ammar tidak lebih baik dari Putri. "Setahun ini, hampir tiap bulan Mama membicarakan orang baru yang mungkin bisa menikah denganku." Ammar tahu, maksud Mama baik. Sejak tiga tahun lalu, Mama selalu menguatkannya, berharap anak lelakinya segera kembali seperti semula.

"Putri bisa jadi pendamping yang lebih baik untuk kamu, Mar," ucap Mama sebelum pertemuan pertama Ammar dan Putri. Mama tidak secara langsung menyebut nama Gadis, tapi Ammar yakin, kalimat yang dituturkan ibunya mengandung perbandingan. "Kamu akan lebih fokus kalau bersama Putri."

"Aku setuju untuk melanjutkan proses perkenalan, tapi sepertinya Mama salah paham dan berpikir aku setuju untuk menikah." Ammar terlalu sibuk hari itu, hanya memberi jawaban kepada ibunya sebelum berangkat ke Malang untuk persiapan proyek.

Dia terkejut, ketika malam hari, setelah belasan missed call dari Mama, Beliau mengatakan jika Papa mengkhitbah Putri untuk Ammar. Dan pernikahan akan dilaksanakan satu bulan kemudian. Ammar tidak ingin mencoreng muka ayahnya yang telah mengucap janji. Tidak pula sempat berpikir terlalu banyak karena banyak pekerjaan bertubi-tubi.

"Aku sempat meminta pernikahan ini diundur satu-dua tahun lagi. Tapi, menurut Mama, kamu tidak setuju." Ammar mencoba menyesap kopi, kali ini ini hanya hambar saja di lidahnya.

"Putri....Putri nggak bisa bikin rencana lebih satu bulan. Putri takut," Putri mengusap cepat wajahnya, air matanya dengan ujung lengan baju. "Maaf," rengekan itu akhirnya keluar dari bibirnya yang berkerut. "Seharusnya Putri...."

"Seandainya ...." Ammar menghentikan kalimat yang belum selesai. "Kita berdua salah. Jadi, jangan minta maaf." Punggungnya bersandar, menyerah dan lelah. "Kita nggak ingin mengecewakan orang tua, tapi malah sama saja."

Mereka diam beberapa saat. Otak Ammar berputar mencari pemecahan. Berkali-kali dia ingin mengucap perpisahan saat ini juga. Lalu, terbayang kekecewaan orang tua mereka. Namun, menunda berita buruk rasanya tidak menyenangkan.

"Mungkin seharusnya prenup itu tetap ada." Putri menggosok muka, lalu menyesap tehnya tergesa. Tidak ada lagi isak. Wanita itu berhasil menguasai emosinya. "Tapi, waktu Putri ingin menambahkan pasal jangka pernikahan, Pak Hakam malah marahi Putri."

"Pak Hakam?"

"Teman Almarhum Bapak sekaligus pengacara yang biasa bantu keluarga untuk urusan hukum. Menurut Pak Hakam, Putri ikut-ikut film yang pernah tayang tentang perjanjian pernikahan." Putri tersenyum kecut. "Itu cuma film, nggak sesuai teori hukum dan nggak untuk dipraktekkan. Putri dikuliahi materi hukum perjanjian setengah jam sendiri malahan."

Entah sudah berapa kali Ammar menghela napas ketika mendengar penjelasan Putri. Keningnya makin pening.

"Mas Ammar sendiri, dapat ide dari mana?" Gelas Putri kembali diletakkan di meja. Jari-jari kecilnya melingkupi gelas. Ammar lega, ada hangat yang bisa wanita itu rasakan.

"Temanku, Rafi. Aku nggak tahu dia dapat ide dari mana, tapi dia movie goer." Rasanya Ammar ingin segera menelepon temannya yang kadang terlalu asal itu. "Kamu kenal Rafi, 'kan?"

"Rafi?" Alis wanita itu berkerut, bibirnya mulai mengerucut.

"Rafi Aldiansyah. Sekarang dia sedang kuliah S3 di Malaysia." Ada banyak hal lain yang seharusnya mereka bahas sekarang, tapi Ammar ingin menuntaskan rasa penasaran atas sesuatu yang sangat mengganggu. "Dulu pernah jadi asisten dosen lab akuntansi, di kampusmu." Ammar menanti.

Putri hanya diam memperhatikannya, tampak berpikir.

"Dulu dia yang olah nilaimu. Seharusnya, kamu dapat nilai D, harus ngulang di semester berikutnya. Tapi nilai kamu berubah, tiba-tiba naik."

Mulut Putri ber-o sejenak. "Bang Rafi, asdos yang cerewet banget itu?"

Ammar menahan tawa, ironis jika yang diingat dari seorang asisten dosen adalah kecerewetannya. Namun, memang yang paling menonjol dari sahabatnya memang kelebihannya dalam berbicara.

Ammar membersihkan tenggorokan, dan hanya menjawab, "Iya."

"Sepertinya Mas Ammar dan Bang Rafi bahas nilai Putri, kenapa?" suara Putri terdengar pelan kali ini, ragu menghinggapi, "Mas Ammar nggak suka, calon doktor dapat istri yang nilainya D sampai harus mengulang?" wanita itu melemparkan pertanyaan dengan menggerutu.

"Kamu pikir aku serendah itu, menilai orang hanya dari nilai saja?" Ammar menyesap kembali kopinya, menelan rasa tersinggung. "Yang aku ingin tahu, bagaimana nilaimu bisa naik begitu saja? Aku dosen Put, kalau nilai yang kuberikan terlalu rendah, ada kalanya beberapa mahasiswa atau orang tuanya tiba-tiba menghubungi. Menawarkan sesuatu. Itu yang nggak aku suka."

"Mas Ammar berprinsip sekali." Wanita itu tersenyum lebar membuat Ammar ragu, apakah yang baru saja dikatakan adalah pujian atau sindiran.

"Bukan soal nilai yang jelek atau kamu DO. Yang mengganggu, bagiku, apa yang kamu lakukan sampai nilaimu bisa naik?"

"Mas Ammar pikir Putri serendah itu?" Putri menyerang Ammar dengan kalimat sendiri, meneguk teh sambil melirik tajam. "Itu gara-gara Om Hendra."

"Om Hendra?" Ammar berusaha mengingat beberapa pria yang baru dia temui di hari pernikahan.

"Adik Almarhum Bapak, waktu resepsi kita kemarin yang bawa anak kembar tiga."

Ammar ingat seorang pria, mungkin di awal lima puluh tahun yang disertai tiga anak lelaki kembar, hampir identik, yang menginterograsi Ammar sebelum mengucapkan akad. Waktu itu dia tidak terlalu memperhatikan namanya, perhatiannya terfokus pada Pak Herman, kakak almarhum ayah Putri yang menjadi wali pernikahan dan mengucap ijab.

"Om Hendra kenal dosennya, dan minta supaya nilai Putri dinaikkan. Om Hendra berharap Putri nggak demotivasi dan mau kembali kuliah lagi." Wajah Putri kembali sendu. "Om Hendra mau Putri bisa lulus kuliah, biar bisa bantu perusahaan keluarga. Beliau yang urus jatah Bapak setelah Bapak pergi, tapi Om Hendra sendiri udah repot dengan si kembar."

"Tapi kamu nggak kuliah lagi? Atau kamu nggak mau bantu perusahaan keluarga?"

Putri tidak menjawab segera, hanya sebuah gelengan. Dia diam sejenak lalu mengusap kembali matanya.

"Boleh aku tahu kenapa?" Ammar tidak bertanya kepada Putri, tapi pada dirinya sendiri. Untuk apa menanyakan hal pribadi pada wanita yang pada akhirnya akan menjadi orang asing? Tapi dia penasaran pada seorang wanita muda yang menyerahkan urusan penting, tentang sisi perjanjian pernikahan, nilai kuliah, sampai pilihan pekerjaan kepada pria-pria lain karena pria terpenting, ayah, sudah meninggal. 

"Putri cuma mau bareng Ibu." Suara Putri sedikit serak. "Jadi, bagaimana kita?"

Ammar menarik napas sejenak, meskipun tidak yakin, dia mengucapkan jawabannya.

"Kita lanjutkan pernikahan."

Perjanjian Pernikahan: Meretakkan MerekatkanWhere stories live. Discover now