Alunan tilawah sayup terdengar ketika Putri melipat mukena, meskipun dia tidak yakin apa surat yang dibaca. Putri kembali mendekat ke pintu pemisah ruang tamu dan kamar yang dari semalam tidak berubah lebar celahnya. Ammar tidak pernah masuk ke kamar. Ammar duduk di sofa, kali ini dia menghadapi ponsel. Alunan tilawah meluncur pelan dari bibirnya.
Ada rasa hangat yang menjalar di dalam hati Putri. Sampai sekarang dia memang belum tahu alasan pria itu tiba-tiba menunjukkan surat kontrak pernikahan. Namun sepertinya, selain hal itu, penilaian ibunya terhadap Ammar benar: dia lelaki baik.
Pagi ini, Putri sedang tidak ingin pusing memikirkan tentang pernikahannya yang baru berlangsung beberapa jam. Saat ini, dia hanya ingin duduk dengan telinga di celah pintu untuk mendengarkan alunan tilawah yang selalu menenangkan hatinya.
Biasanya, dia akan berbaring di samping kaki Ibu untuk mendengarkan tilawah dari wanita sepuh itu tiap lepas subuh. Putri sempat khawatir kehilangan kebiasaan itu jika pindah dari rumah ibunya. Kini, meskipun tidak ada belaian lembut di kepala bersama ayat-ayat yang dibaca, rasa rindu terbayar separuhnya, dengan alunan pelan yang terdengar sayup dari ruang depan.
***
Putri beberapa kali menarik napas ketika memegang knop pintu. Sudah jam delapan pagi dan perutnya meminta diisi. Andaikan bisa, dia ingin mendekam lebih lama di dalam kamar, melakukan apa pun selain berhadapan dengan Ammar. Namun, dia tahu, sebentar lagi tangannya akan gemetaran karena kelaparan. Jadi, sebelum hal itu terjadi sebaiknya dia turun dan makan di restoran.
"Mas Ammar mau ke mana?"
Putri berdiri terpaku di depan pintu. Ammar tampak sedikit berbeda pagi ini. Tiga kali bertemu Ammar, ketika perkenalan pertama, penetapan tanggal pernikahan, dan fitting baju resepsi, Ammar selalu tampil formal dengan celana bahan gelap dan kemeja. Saat akad dan resepsi kemarin, penampilan Ammar makin resmi lagi dengan jas segala kelengkapannya.
Namun, pagi ini pertama kalinya Putri melihat Ammar tampil santai. Kaos abu-abu dilengkapi dengan jaket tipis, celana panjang berbahan linen, dan rambut pendek, yang biasanya teratur dengan pomade, kini lebih bebas, sebagian jatuh menutupi dahi.
"Sarapan," jawab Ammar singkat. Dia menatap Putri kikuk, kedua tangannya masuk ke saku jaket.
"Putri juga, nggak apa-apa kalau bareng? Putri nggak suka makan sendiri." Putri meremas ujung jilbabnya. Ammar menatapnya lama sebelum menghela napas.
"Oke," ucap lelaki itu pada akhirnya sambil berjalan. Putri yang merasa lega langsung berlari kecil menuju pintu, mengekor Ammar.
Saat Ammar terlebih dulu meraih gagang pintu dan menahan pintu agar tetap terbuka sementara tubuhnya belum keluar dari kamar, ada panik yang muncul dalam diri Putri.
"Mas Ammar nggak nyuruh Putri keluar lalu kunci pintu dari dalam kan?"
Gerakan Ammar terhenti, menatap Putri terkejut, yang menurut wanita itu lucu. Putri terkekeh sambil melewati pintu.
"Mas Ammar tidur jam berapa semalam?" tanya Putri setelah mereka berdua berjalan menuju lift yang terletak di ujung koridor. Dia tidak ingin orang lain melihat mereka sebagai pasangan yang kikuk. Segala ketidaksepakatan mereka, biarlah tersimpan di balik pintu kamar. Di hadapan dunia, dia ingin tampak bahagia.
"Entah, aku nggak lihat jam. Bukan jam yang jadi patokanku untuk tidur, tapi target pekerjaan yang diselesaikan." Ammar mengatakannya dengan datar, pandangannya terpaku ke depan, sama sekali tak menoleh ke istrinya.
"Apa setiap hari selalu ada target pekerjaan yang harus selesai?"
"Aku punya daftar pekerjaan sampai setahun ke depan."
"Wow...." Putri bertepuk tangan lirih, memandang takjub ke suaminya saat mereka berhenti di depan lift. "Putri aja nggak tahu loh, besok harus 'gimana, melakukan apa. Kalau bikin rencana, nggak pernah lebih dari sebulan. Kalau terlalu lama, takut lupa, takut nggak terlaksana." Putri meracau, berusaha mengisi sunyi antara dirinya dan lelaki yang baru dikenalnya empat minggu lalu. Setelah semua orang mengungkapkan persetujuan, Putrilah yang meminta agar pernikahan tidak ditunda terlalu lama. Selalu ada rasa cemas, jika rencana tidak akan sempat terlaksana.
"Semua target dimasukkan ke daftar?"
"Semua yang butuh fokus." Ammar menekan tombol tanda turun. "Di daftar itu, nggak ada pernikahan." Kuduk Putri berdiri ketika suaminya menatap dengan tatapan yang begitu dingin.
Denting memenuhi koridor, Ammar melangkah lebih dulu. Namun, dia tidak langsung masuk. Tangannya menahan pintu besi, menanti Putri yang terpaku.
***
"Mas Ammar mau makan apa?" Pertanyaan itu terlontar ketika mereka berdua masuk ke restoran. Matanya berbinar memandang aktivitas para tamu yang berdiri di dekat meja prasmanan, denting alat makan, celoteh bocah, dan tawa orang dewasa. Deretan makanan warna-warni menggoda matanya. Putri mirip seperti anak kecil yang selalu bersemangat atas segala sesuatu.
"Aku ambil sendiri." Ammar mengalihkan pandangan dari istrinya, mulai sibuk mencari meja kosong.
"Oke, Putri langsung ke sana ya. Mas Ammar mau cari meja?" Jari Putri menunjuk deret jajanan pasar yang berada di tengah. "No Smoking Area ya." Wanita itu menjauh dengan langkah memantul, sama seperti anak perempuan yang masih memakai piyama unicorn, mungkin berumur sekitar delapan tahun, yang baru saja diizinkan ayahnya untuk mengambil makanan sendiri.
Putri mengantre bersama anak perempuan itu, dan apa pun yang mereka bicarakan, mereka berdua tertawa kecil bersama. Dengan tubuh kecil yang hanya setinggi 160 sentimeter ditambah sikap tubuh Putri yang terasa kekanakan, mereka berdua tampak seperti teman sepermainan.
Ammar berusaha mengabaikan cemas, mencari meja untuk mereka berdua dan meminta penyaji untuk menuangkan kopi untuknya. Notifikasi surel terdengar dari ponselnya, mungkin tanggapan mahasiswanya atas koreksi yang dia kirimkan semalam. Dia ingin fokus sejenak pada pekerjaan di hadapannya, berusaha meyakinkan pada diri sendiri bahwa dia tidak perlu terus mengawasi wanita mungil yang mulai kemarin jadi tanggungjawabnya.
Namun, baru dua menit, suara ketukan piring dan mangkuk bersamaan dengan kaki kursi yang bergesekan lantai menariknya dari barisan penjelasan yang disampaikan mahasiswanya. Mangkuk bergoyang di tangan Putri, mata wanita itu membelalak menyadari apa yang akan terjadi beberapa detik berikutnya.
Ponsel terlempar dari tangan Ammar ketika dia berusaha menangkap mangkuk. Suara gemelentang meningkahi kesibukan restoran. Beberapa tetes kuah gula lolos dari telapak tangan, sebagian lain membasahi ujung lengan jaketnya, sebelum jatuh ke meja.
Ada sesuatu yang mulai memanas di dada Ammar, jauh lebih panas daripada mangkuk yang ada di tangannya.
"Bisa. Lebih. Hati. Hati?" Rahang Ammar rapat ketika mengucapkan itu, berusaha tidak meledak, mengambil mangkuk dari tangan istrinya lalu meletakkan di meja. Wajah panik Putri sudah berganti takut.
"Bapak-Ibu tidak apa-apa?" Seorang pelayan mendekat, memungut ponsel Ammar dan meletakkannya di meja.
"Tidak apa-apa," Ammar menghela napas, berbicara lebih santai, sembari membersihkan tangan dengan serbet makan.
"Ada yang bisa saya bantu ambilkan?" Kali ini pertanyaan ditujukan ke Putri.
Wanita itu membersihkan tenggorokan, lalu duduk. Melirik Ammar yang memandangnya tajam.
"Nanti saya ambil sendiri, terima kasih."
Pelayan pamit, setelah mempersilakan mereka berdua menikmat sarapan.
"Maaf," bisik Putri tapi tak berani mengangkat kepala. Ammar hanya berdeham, tak tahu harus menjawab apa. Putri mengambil sendok, mulai makan bubur sumsum dengan kuah gula yang tersisa sedikit. Tangannya gemetar.
Perasaan familiar muncul di dalam dada Ammar. Perasaan yang memulai rangkaian frustrasi yang tidak ingin dia ulang.

YOU ARE READING
Perjanjian Pernikahan: Meretakkan Merekatkan
SpiritualBagi Ammar, pernikahan adalah serangkaian tanggung jawab dan beban, yang sedang tidak ingin dia emban saat ini. Dua hal itu, ditambah seorang wanita yang belum lepas dari pikirannya, membuat Ammar ingin mengakhiri pernikahannya dengan Putri, seorang...