零 𝘾𝙤𝙣𝙩𝙧𝙖𝙘𝙩

1.5K 230 15
                                    

​​┏━━━━•❅•°•❈•°•❅•━━━━┓​​零 𝘾𝙤𝙣𝙩𝙧𝙖𝙘𝙩​​┗━━━━•❅•°•❈•°•❅•━━━━┛​​

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

​​┏━━━━•❅•°•❈•°•❅•━━━━┓
​​零 𝘾𝙤𝙣𝙩𝙧𝙖𝙘𝙩
​​┗━━━━•❅•°•❈•°•❅•━━━━┛
​​

​​Periode Edo 1603-1868.
​​
​​Petir menyambar. Tanah berguncang. Rerumputan bergemerisik riang. Langit hitam keabuan tertutup gumpalan awan. Mendung tidak menentu sesekali berkilat memberikan penglihatan sekilas. Jepang pukul delapan malam disambut guntur menyeramkan. Entah apa dosa para manusia di sana hingga negeri Sakura dihujani badai dahsyat.
​​
​​Entah dewa alam murka, atau menuntut keinginan, setidaknya itulah yang mereka yakini berdasarkan kepercayaan. Zaman dimana Shinto hadir alias paham dengan pemujaan terhadap gejala-gejala alam.
​​
​​Ekonomi sekiranya memburuk sementara, mengingat pertanian hancur terbongkar puting beliung. Perubahan iklim menurunkan kualitas tanaman yang sekaligus melibatkan produktivitas hewan ternak. Ketersediaan air bersih patut dipertanyakan pula.
​​
​​Aliran sungai berombak melaju deras. Alunan yang awalnya tenang membentuk gelombang, bergerak kanan kiri menabrak pembatas, lalu tumpah ke desa. Banjir bah menghanyutkan semuanya.
​​
​​Kebanyakan warga berlindung di kamar masing-masing. Sisanya sengaja menempati kuil Jinja, guna memanjatkan doa mengharapkan amukan Bumi berhenti. Situasinya sangatlah berbahaya.
​​
​​Terpaan kencang menggedor dinding kayu. Jendela terketuk hembusan udara. Beberapa bagian hancur, terbang ke arah putaran semilir bergerak. Tidak lupa gemuruh mengejutkan jantung. Petir menyambar ke sana kemari memorakporandakan segala sawah para petani, dan peternakan.
​​
​​Kehebohan menggemparkan mereka. Sebaliknya, di jalan ujung sana— terdapat bangunan mewah bertingkat satu. Arsitektur tradisional yang terkesan indah, berukir emas, bahkan terpasang lambang bangsawan terpandang. Dalamnya berisi interior mahal, atau pun peralatan bernominal tinggi.
​​
​​Penghuninya tengah berisik diricuhkan persalinan, yaitu pasutri [Fullname]. Suasananya rusuh. Keadaan bertambah genting. Obat, mineral minum, berbagai barang tersedia di rak lantaran kewaspadaan. Dibantu perawat handal, keduanya menyiapkan kelahiran anak bernama [Name] [Fullname].
​​
​​Lelaki berumur dua puluh tahun-an menunggu di ruangan seberang. Duduk bersimpuh menaruh tangan di atas paha, mengontrol gejolak cemas, guna menenangkan degup tatkala dipusingkan teriakan nyeri istri. Seumur hidup pertama kalinya pengajar beladiri [Father’s Name] segugup ini.
​​
​​Setelah belasan jam berjuang, akhirnya bayi yang ditunggu-tunggu hadir. Sedangkan puteri mereka perlahan merengek nyaring. Suaranya bagaikan tanda kehidupan. Tangisan yang kedua orangtuanya suka.
​​
​​Terlukislah senyum bahagia antara sisi wajah sang kepala keluarga. Walau terbatasi dinding tebal, dia samar-samar mendengarnya. Rasanya tidak sabar menggendong balita [Name]. Membayangkannya saja dia merinding senang.
​​
​​Wanita cantik ayu terbaring lesu di futon. Lelah, berkeringat, lemas, apalagi pinggang nyeri bukan main. Melahirkan bukanlah perkara mudah. Punggung seolah patah terbanting seusai mengerahkan tenaga penghabisan. Kepangan tata surai beliau hampir lepas pula.
​​
​​Darah membasahi ranjang lipat. Sakit menjalar merutuki. Tekadlah mendorong, menyisakan helaan lega begitu sukses memeluk anak sendiri. Sepatah kalimat terpatri di benak, “Semoga [Name] tumbuh sehat.” Usaha mengandung 9 bulan terbayar kepuasannya.
​​
​​Momen haru terpecahkan gumaman perawat yang tiba-tiba menyadari keanehan. “Nyonya—” Bibi setengah baya menunjuk mengenai [Name].
​​
​​Sesuatu fatal terjadi.
​​
​​Tidak membutuhkan semenit sampai pintu terdobrak. Lelaki yang resmi menjabat gelar ‘Ayah’ pun mendekat berlutut terharu, berterima kasih atas perjuangan [Mother’s Name]. “Sayangku…” Lirihannya terhentikan airmata di paras Hawa tercinta. “Ada apa?”
​​
​​Isakan menengahi perbincangan. “Maafkan aku…” Ditunjukkanlah [Name] di gendongan.
​​
​​Gemas lucu. Namun lemah sekali. Selain menggigil, tubuh mungil [Name] sesak sulit bernapas setengah mati. Bertahan mungkin kemustahilan, meniadakan kesempatan dirinya hidup lama. Malaikat maut pasti menjemputnya segera.
​​
​​Apa ada yang rela menyaksikan [Name] pergi ke pangkuan Pencipta lebih cepat? Setiap saksi, termasuk orangtuanya menyesal, dan mengira ini sebuah kesalahan. “Maafkan aku. [Name]... ia tidak…” sesal Ibu sedih. Padahal bukan, takdir yang terlalu kejam padanya.
​​
​​Tangan Ayah mengepal erat hingga telapaknya memerah. “Bukan…” potongnya mendekap [Name] setulus hati. Fisik kasar penuh bekas luka yang sering memegang katana entah mengapa kini terasa lembut nan halus. "Jangan cemas."
​​
​​"Tunggu— auch!" rintih [Mother's Name] meringkuk perih.
​​
​​Sang pasangan mendekat, memeringati, “Astaga! Kumohon jangan ceroboh... ingat, kau harus beristirahat!” seraya bangkit membawa [Name].
​​
​​Sekali lagi dihentikan suara berupa, "Mau ke mana kau?"
​​
​​Memandangi [Name] terlelap polos— sosok tidak berdosa di dunia— Ayah membalas, "Menyelamatkannya."
​​
​​Ketenangan Ibu pun pecah. “Apa kau lupa betapa buruknya cuaca di luar? Kau bisa tewas!" dilanjutkan kalimat, "Buah hati kita adalah tanggung jawab bersama! Biarkan aku ikut!” bentaknya marah.
​​
​​Bibir bergemetar susah payah menahan pilu. "Aku... aku mencintaimu. Namun jika kau ikut, kehilanganmu sebuah hal absolut." Setitik airmata turun menetes sebelum dia keluar dicegat. Bidan yang mengamati sedari tadi tidak lupa diperintahnya, “Tolong jaga [Mother's Name]."
​​
​​Dibungkus kain putih, [Name] dilarikan keluar. Menghilanglah mereka di balik terpaan. Berlari melewati rintangan, basah kuyup, Ayah mencari jalur pintas menuju klinik terdekat. Luapan air menahan walau mereka tetap selamat sentosa.
​​
​​Gedung kumuh yang biasa buka 24 jam tutup terpaku tumpukan papan. "Hei, buka! Sembuhkan [Name]!" seru Ayah menggedor gerbang, menuntut dokter membantu. "Oh, sial..." Seratus tahun menunggu juga percuma.
​​
​​Semua penduduk mengetahui perihal [Name]. Pertanyaannya, siapa berani mengambil risiko. Sejenak Ayah memedam amarah, heran mengapa tidak ada yang berbaik membantu.
​​
​​Batin mengumpat. Kata haram terlintas di pikiran. Memutar otak mencari cara alternatif, beruntung Ayah menyadari usaha gila yang mampu diterapkan, yaitu menemui terkutuk. "Apakah keputusan bagus...?” bimbangnya tertekan, “Harus kucoba!" Opsi seketika terpilih cepat.
​​
​​Tanah tercetak jejak alas sandal jerami. Arahnya menuju rerimbunan mengerikan. Kegelapan menelan mereka beriringan pantulan sinar purnama terselimuti bayangan dedaunan lebat begitu masuk. Tidak lupa aura misterius menusuk tulang persendian, menyerukan sensasi berbeda.
​​
​​Apa daya demi [Name], Ayah berusaha terus tegar. Ketakutannya bertumpuk melihat kulit sensitif [Name] membiru pucat. “Ck, aku harus bagaimana…”
​​
​​Ranting pohon di atas mereka bergerak naik layaknya diduduki. “Siapa?!” teriak Ayah terkejut mendengar derit kayu. Barulah suatu makhluk melompat padanya dari dahan kokoh.
​​
​​Nampaklah lelaki bertato sekujur otot muskular. Berbalut yukata putih dilengkapi syal hitam melingkari leher. Tapak langkah pelan entah mengapa bergema mendirikan bulu kuduk. Gaya yang selaras terhomat membuat Ayah ingin bersujud tanpa alasan jelas. Besar jangkung figur raja kutukan menyembul di celah kabut.
​​
​​"Apa yang makhluk rendahan lakukan di wilayahku?"
​​
​​Cemas bercampur ngeri, Ayah memohon ke ahli jujutsu depannya. "Berikanlah sedikit kekuatanmu menjaga [Name]!"
​​
​​Serak memecah kesunyian. "Dasar hina... kau duga kau memiliki kuasa... memerintahku seenaknya." Jeda sejenak. "Apa yang kau berikan sebagai imbalan?" Segala perlakuan memerlukan upah seimbang.
​​
​​"... aku... aku bayar..."
​​
​​Tawa histeris menggetarkan hutan. "Aku tidak membutuhkan uang, idiot." Jemari berpoles hitam mengelus pipi [Name]. Tajam kuku menggores kulit, menciptakan segaris lecet darah. "Pertaruhkan yang sama berharga."
​​
​​Ucapan barusan mengekang keberanian Ayah. "Apa maksudmu?! Kuberikan hartaku, maka hilangkan penyakit [Name]!"
​​
​​"Hah? Jangan salahkan aku. Kesalahanmu mampu membinasakan monyet." ejek Sukuna merujuk [Name].
​​
​​"Jangan sebut [Name]—" Belum sempat mengomel, tatapan mengintimidasi lawan bicaranya menakuti. "Ba, baiklah... kuturuti apa maumu. Apa yang kau inginkan?" sahut Ayah melirik.
​​
​​Tumbal yang pantas.
​​
​​Muncullah ide brilian. “Hadiahkan [Name] kelak... tujuh belas tahun nanti.” Seringai Sukuna melebar menampilkan deretan gigi taring. “HAHAHAHAHA! Kau... kau mengharapkanku? Pftt, naif..." ejek kutukan berjulukan Ryomen Sukuna.
​​
​​“Apa?! Kau menipuku… sialan!”
​​
​​Telunjuk Sukuna menyentuh dahi [Name]. "Dengan begini, kau 'barang'ku." Pola guratan kemudian mengukir di bawah selangka; clavicula kanan [Name]. Sebuah dot kurva pun tercetak, lalu menghilang bagaikan sihir.
​​
​​Netra [Eyes Colour] [Name] mengerjap, terpadu redupnya purnama. Sesuai janji, ia hidup kembali. Malahan lebih sehat.
​​
​​Sedangkan Sukuna melebur ke bayangan. Menghilang hitungan detik macam sulap menyisakan duo manusia di sana. "Tungg—" Menyadari Sukuna sudah meninggalkan mereka, Ayah menunduk pasrah. "Biarlah... yang penting [Name] membaik..."
​​
​​Sepulangnya mereka mendapati pemandangan alam yang luar biasa. Bintang bertaburan memancarkan keindahan. Bersihnya angkasa, desiran sejuk, topan selesai meributkan desa. Akhir bagus memberitahu kabar mengenai [Name].

​​Sahutan ceria Ayah mengisi rumah. "[Mother's Name]!" Sial beribu sial ramainya individu di sana berubah tragis tergantikan mayat hampa.
​​
​​Baik keberadaan istri, juga suster.
​​
​​Pelaku— monster yang membunuh keduanya tengah bersantai di waktu sama. Kaki bertumpang tindih, menopang dagu, duduk di takhta berbahan ratusan tulang berlagak keren. Rangkaian tengkorak terpajang di koridor menimbulkan citra mengerikan. Tubuh manusia bermutilasi berserakan di lantai. Kuil kecil tersembunyi di hutan sejauh belasan kilometer itu sebenarnya tempat tinggal Sukuna.
​​
​​Racauan memohon ampunan para korban sekarat tidak Sukuna pedulikan. Kurus, kelaparan, terluka, sengaja Sukuna kurung setiap 'buruan'nya, guna menikmati raut depresi mereka. Teriakan berisik yang menurutnya alunan melodi alias musik gratis. Sejak dahulu, Sukuna kejam.
​​
​​Klan Kamo, Zen'in, anggota terkuat mana pun mencoba menghentikannya. Kebanyakan utusan kuat yang diberi tugas memurnikan Sukuna menjadi cacat. Sisanya bertabur nisan. Bukan sembarang kehilangan raga, buta, atau tuli, semuanya hancur mental.
​​
​​Dasarnya ia sengaja. Memerhatikan jiwa seseorang jatuh ke kegelapan serunya bukan main. Salah satunya, membunuh [Mother's Name] beserta si biarawati. Bayangkan kegilaan Ayah [Name] menyadari keluarganya hancur saja Sukuna tertawa geli.
​​
​​Surai pink kecokelatan spike Sukuna berbuai. "Hadiahkan [Name] kelak... tujuh belas tahun nanti." Syarat kontrak berputar di pikiran Sukuna.
​​
​​Tujuh belas. Lamanya menunggu [Name] menjadi dewasa. Tidak, Sukuna justru menyengir licik ; tidak sabar.

Tasty Poison | Sukuna x ReaderWhere stories live. Discover now