五 𝙐𝙣𝙚𝙭𝙥𝙚𝙘𝙩𝙚𝙙

366 53 12
                                    

┏━━━━•❅•°•❈•°•❅•━━━━┓五 𝙐𝙣𝙚𝙭𝙥𝙚𝙘𝙩𝙚𝙙┗━━━━•❅•°•❈•°•❅•━━━━┛

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

┏━━━━•❅•°•❈•°•❅•━━━━┓
五 𝙐𝙣𝙚𝙭𝙥𝙚𝙘𝙩𝙚𝙙
┗━━━━•❅•°•❈•°•❅•━━━━┛

Sama sekali [Name] tidak melakukan kegiatan bermanfaat seminggu sejak diculik. Tepatnya, Uraume memperlakukannya baik jadi ia tiada kepastian niat tersembunyi mereka. Bukannya mengharapkan, [Name] keheranan saja setelah kejadian terakhir.

Menggosok, menjemur, Uraume mengurus kebutuhannya secara privasi. Kulit [Name] tidak menyentuh sabun cuci lagi selama ia diurus. Seharusnya perlakuan akrab mereka si duo siluman tidak dibutuhkan dalam interaksi jika seandainya ia dibunuh suatu hari.

Pagi pukul 08:15.

Mengelus perut mengisyaratkan lapar, [Name] memasuki bagian dapur. "Selamat pagi," ujarnya termangut menanyakan, "sarapan apa?" Bisa-bisanya ia terbiasa berkeliaran di sarang iblis tanpa takut, setidaknya setitik waspada.

Senampan sup Uraume taruh di meja. "Silahkan menikmati miso." Khusus menyambut [Name], Uraume rela berburu hewan sebab mustahil dia berangkat ke pasar. "Mengingat urusan saya sudah selesai, saya undur diri."

Bergegas [Name] cegat. "Hei, mau ke mana? Kukira kau menemaniku?" sedihnya tidak suka.

"Maafkan saya."

Menjulurkan lidah, [Name] mengejek, "Ah, tetapi sepi!"

Saking kesal dimanja, Uraume refleks mendecak. "Yang saya lakukan adalah perintah Tuan Sukuna. Matahari padam pun saya tidak berniat berteman. Apakah anda paham?" elak pemilik surai seputih salju, "Sekian." Seformalnya Uraume beranjak keluar meninggalkan [Name] beribu syok.

Bergemetar, [Name] menahan gejolak tangis. "Kukira... kita dekat." Namun dugaannya salah, atau ia tahu karena menuntut seseorang yang mampu diajak bicara keluh kesah. Sebuah pelarian dimana omongannya didengarkan.

Manik [Eyes Colour] melirik kanan kiri. Kakinya melangkah cepat mencari haluan. "Bodoh, kenapa aku tidak terpikirkan..." kekehnya cemooh.

Kabur.

Siang pukul 14:00.

Anyir amis menusuk indra. Baunya bukan main hingga Sukuna mendengus. "Ada apa?" Darah memandikannya bak pembunuh berantai.

Bersujud hormat, Uraume merangkai teka-teki kian merantai pikirannya sedari dahulu. "Tuan, bolehkah saya menghabisi [Name]? Saya rasa tiada masalah."

"Aku belum menemukan ide, tetapi jika kau tidak tahan... aku membiarkanmu memangsanya."

Tersentak, Uraume mendongak panik. "Simpanlah dia untukmu, Tuan! Tidak bagus hamba merebut sasaran."

Sukuna mengukir senyum licik. "Yah, kuyakin kau tidak sanggup menusuknya. Kau terlanjur menyayangi [Name]."

Terkejut Uraume mendengarnya. "Apa? Saya..."

"Ayo, mengakulah," jahil Sukuna beralih ke tumpukan mayat yang berjejer terinjak. Seharian dia asyik mengejar sasaran seolah petak umpet. "Tidak kuperintah juga kau mencuci futon [Name], melipat pakaiannya, menghidangkan camilan [Favorite Food], jangan menipuku."

Tenggorokan Uraume tertahan. Atas dasar apa asal fitnah? Berusaha mengubah topik, Uraume menggeleng. "Mohon maaf, saya tidak terima opini anda." seraya berbalik ragu. "Saya akan membawa makanan anda, permisi."

Sekembalinya, Uraume terheran melihat miso yang belum tersentuh dibiarkan mendingin basi. Sontak terlintas pemikiran, "Apa [Name] tidak berselera makan?" menghampiri kamar untuk mengecek apakah [Name] tidak mengapa. Awalnya semua biasa kecuali salah satu pintu terbuka misterius. "Apa dia toilet?" Pun Uraume mematung termenung.

Nihil.

Suara parau memecah kesadaran. "Kau lama." Datanglah Sukuna tengah berkacak pinggang. "Ah, dia rupanya menghilang."

"Tuan... [Name]..." cecar Uraume tidak menyangka.

Sok angkuh, Sukuna memutar mata. "Katamu, kau tidak peduli. Berarti bukankah bagus dia tidak di sini?" diikuti seringai, "Kau benar terlanjur menyayanginya."

Berdasarkan sudut pandang [Name]— pergelangan lecet nyeri menerjang hehutanan. Langsung [Name] bergerak ke desa seberang. Semestinya ia tiba jika terus maju. Melompati batang pepohonan tumbang, ia sialnya tersandung, bergulung menurun mencapai ujung, lalu berakhir terjerat rerumputan.

"Hei!" Seseorang memanggilnya. "Kau terluka? Astaga, pakaianmu kotor! Pakailah haori-ku."

[Name] mengerjap memergoki lelaki tampan membopongnya. "Berhenti menyentuh. Kau nanti terkena sial, lho."

"Apa maksudmu, nona?"

Menghela napas, [Name] berbisik, "Aku tumbal Ryomen Sukuna."

Terdengar tawa kekanakan. "Ahahahaha! Aku tidak takut, cantik. Kutukan bukanlah lawan sepadanku. Tenang, aku siap membasminya jika kau ingin." Lelaki itu mengusap pelipis [Name] lembut. "Namaku Kamo."

Kediaman utama klan Kamo; empat jam kemudian. 

Perban membalut luka. Salep teroles sepanjang memar. Wangi harum racikan bumbu obat menyerbak kala [Name] menjalani sesi rehabilitasi. Dokter yang menyembuhkannya menyodorkan secangkir teh berbahan herbal, guna mempercepat kepulihannya. 

Selesai menetralisasi [Name], dokter yang dimaksud keluar menyisakan Kamo menemani [Name]. Keduanya saling ramah apalagi pucuk kepalanya selalu diusap sebatas menenangkan. "Menginaplah di sini sampai kau diperbolehkan pulang," tawar Kamo berganti mengelus punggungnya yang penuh jejak garis.

Gumaman [Name] memelan. "Terima kasih..."

Matahari semakin redup tergantikan senja sore. Pertemuan mereka memang berdasarkan ketidaksengajaan. Namun [Name] cukup nyaman walau baru kenal satu sama lain.

"Omong-omong... kau [Name] [Fullname]? Rumornya, kau diincar?"

"Ah, ya," balasnya singkat, "ceritanya tersebar kah? Heh, tidak heran."

Kamo berangkat berkonsultasi ke medikus sebelumnya, mengukir senyum supaya [Name] lebih merasa aman. "Yasudah, jangan ke mana-mana, ya." Sungguh [Name] menurut. Berbaring ia mengistirahatkan jiwa yang lelah sedangkan atap diratapnya sendu.

"Hah, kau senang diperhatikan, hm?"

[Eyes Colour] [Name] membulat sempurna. Mencoba ia merangkak mundur per mendengar aksen Sukuna, memaki, "Sialan! Mengapa kau di sini...? Apa kau terus mengusik rencanaku?!" Pinggang rampingnya ditarik kuat mengarah sisi bahu Sukuna di waktu ia hendak meneriakkan nama Kamo mencoba meminta pertolongan. "Hoi!" umpatnya marah.

"Diam." Seperti masa lampau, Sukuna menunjuk clavicula [Name] yang mewujudkan sinar bersimbol. "Turuti apa kata majikan. Ini bukti kau milikku selamanya, bukan."

Telapak [Name] menampar kencang. "Minggir! Aku membencimu!" Pontang-panting ia mendekati koridor, melayangkan pandangan mencari keberadaan siapapun yang mampu menolongnya.

Dengan kecepatan gila, Sukuna mendekap [Name] dari belakang, lalu merapalkan mantra teleportasi. Berpindah mereka ke suatu gua sempit nan gelap mengerikan di kawasan teritorial kuil gunung diakhiri pelukan erat. "Kau milikku."

Terulang ucapan Sukuna di otaknya. "Apa?" ulang [Name] setengah cengo.

"Aku tidak menyukai keberadaan Kamo. Tolong ingatlah demi aku," sesal Sukuna menyilangkan lengan, "[Name], kuperintahkan kau menikahiku.

Tasty Poison | Sukuna x ReaderWhere stories live. Discover now