六 𝘿𝙚𝙫𝙖𝙨𝙩𝙖𝙩𝙞𝙤𝙣

903 121 30
                                    

┏━━━━•❅•°•❈•°•❅•━━━━┓

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

┏━━━━•❅•°•❈•°•❅•━━━━┓

六 𝘿𝙚𝙫𝙖𝙨𝙩𝙖𝙩𝙞𝙤𝙣

┗━━━━•❅•°•❈•°•❅•━━━━┛

Risih terganggu degum taiko, Sukuna mendengus kesal. Kegiatan santainya terpotong berisik pukulan stik. "Siapa yang berani bermusik di sini?!" geram Sukuna mengertakkan gigi.

Membatin, "Memangnya ada festival?" heran [Name] mumet.

Taring Sukuna cukup meyakinkan bahwa akan terjadi hal buruk. Terdengar pula decakan lidah bercampur mengerutkan dahi. "Bisa-bisa pesta daging." Nyatanya, kata terakhir mengejutkan [Name].

"Hah, kau ingin memakan mereka?!" Pertanyaannya terbalas lirikan tajam oleh Sukuna. "Oh, begitu..." cicitnya ciut nyali.

Percuma ia menentang. Perintahnya bagaikan ocehan bocah yang sepele. Salah sedikit, persentase mulutnya dirobek Sukuna hampir mencapai 100%.

Tiada gunanya [Name] berkata, "Saya mohon bebaskan mereka!" Sekalinya ia berucap, Uraume siap menghentikannya. Sekadar berkontribusi pun ia tidak boleh. Ayolah, ia memiliki pola pikir tersendiri.

Berbeda ketimbang pengguna kutukan, atau jujutsu, [Name] seutuhnya biasa. Normal, membosankan, lemah, ia benar-benar tidak berdaya. Ia pasti diterkam beruang seandainya hidup di alam liar.

Tubuh Sukuna berdiri tegap menghadapi pintu luar kuil. Membelakangi [Name] seraya menyeringai kejam, Uraume langsung mengangguk mengerti. Waktunya pembantaian.

[Name] dibuat merinding membayangkan kepalan Sukuna menghajar banyak kenalannya. Tanpa dipukul terlebih dahulu pun ia tahu rasanya perih menyakitkan. Sulit bertahan baginya menahan serangan, apalagi orang lain.

Bergemetaran ia menarik Sukuna. "Tunggu! Bisakah kau ampuni mereka?" Tenggorokan [Name] terasa panas setelah mengerahkan keberanian berpendapat.

"Mereka membunuh Ayahmu, mengusirmu, dan kau mendoakan keselamatan semua orang? Naif," balas Sukuna diakhiri kekehan remeh. Meninggalkannya bersama Uraume, Sukuna pergi dibalik jarak seiring pergi.

Ratusan warga ribut memperdebatkan taktik mengalahkan monster pengantin [Name]. Ricuh mereka terhenti kala salah satunya tiba-tiba terbelah mengenaskan. Tumpahan organ berceceran meleleh menyirami tanah.

Amuklah amarah. Sumpah serapah bersahutan. Bilah pedang teracung tinggi hendak menghunus jantung. Dituntun aba, mereka bergerak sesuai perintah, "Maju!"

Belum sempat senjata menyayat. Namun dengan jentikan jemari, mereka tumbang layaknya domino. Hancur, meledak, tewas menyerupai mainan yang mudah rusak.

Perempuan, juga anak sengaja disembunyikan di gubuk. Alasannya karena mereka tidak membiarkan pihak itu ikut bertarung. Tentu Sukuna mengerti.

Makanya, Sukuna berniat mengirim mayat mereka ke setiap istri di sana.

Di sisi lain, terdapat [Name] merenungkan ucapan Sukuna. Patutkah ia memaafkan? Tepatnya, apa yang ia peroleh dari menerima dosa para warga bekas tetangganya. Keluarganya tidak kembali, jadi ia keberatan serba tertekan. Benar nasehat Sukuna; [Name] tidak sanggup melakukannya.

Pipi menghangat tersentuh. "Mari saya antar ke kamar," ujar Uraume memecah kecemasan [Name]. Ditangkuplah tangan sang asisten, ia tersenyum lembut. "Jangan kau pikirkan terlalu keras. Dendam adalah wajar."

Terharu, ia menurunkan setitik tangisan. "Benarkah...? Aku tidak egois? Apakah... aku pantas marah?" Tidak percaya dirinya boleh murka.

Selalu ia ingat ajaran Ayahnya. "Jangan menaruh kutuk!" Berarti kesal, emosi manusiawi lainnya harus ia lupakan demi mengikuti kemauan Ayahnya. Sayangnya, kali ini ia tidak tahan.

Terheran maksud [Name], Uraume lunglai menuntunnya ke ruangan futon. "Bukankah normal? Manusia memiliki hati, kan?" Singkat, padat, jelas, cukup dua kalimat merubah seantero pikirannya.

Isakan sesenggukan mengalir. "Te, terima kasih..." Bahkan ia tergagap akibatnya. "Walau bagaimana pun... aku melarang Sukuna mencincang mereka!" peringat [Name] mengalihkan topik.

Belum sempat ia berbalik, Uraume menekan bahunya. "Jangan mendekati Tuan Sukuna sekarang." Demi kebaikan [Name] pula.

Tawa melengking menggema. Sepenggal kepala digenggam erat menyisakan bola mata menggelinding jatuh. Pelaku pembunuhan berantai sadis-- Ryomen Sukuna.

Kuku tercat merah. Amis mengundang nafsu. Bahagianya, Sukuna bernonstalgia, "Ha, Sudah lama aku tidak bersenang-senang." Benar, sejak [Name] hadir.

Membanting mayat ke dalam tong drum, memadatkannya, lalu diangkut semudah mengangkat kapas. Bersenandung ria menyanyikan nada-- Sukuna mendelik. "Sebaiknya kusimpan beberapa sebagai bahan makanan nanti."

Menuju tempat persembunyian wanita. Bergosip mengenai [Name] sangat menarik perhatian. Berbagai cerocos tidak kunjung henti. Sisanya melebih-lebihkan.

Remaja berponi belah mengangkat lengan. Gayanya seolah meminta izin berbicara. "Apa kalian takut mengancam [Name]? Hei, kalian 'kan tahu tabiatnya! Ayahnya menjual dia ke Sukuna."

"Ckckckc! Dia berpura-pura polos supaya kita luluh membiarkannya hidup."

Kebetulan Sukuna menguping. Bruk! Dentuman keras sukses meniadakan jantung sedetik. Bergegas dua perempuan keluar mengecek apa yang terjadi. "Siapa?!" Kosong, malahan mereka menemukan tumpukan besar di ujung jalan.

Karam di darat.

Celaka di tempat aman.

Bodoh merutuki mereka. "Eh, [Random Name]! Kalian menang? Apakah kalian sukses melawan Sukuna?" Berteriak sekuatnya hingga sesaat menoleh, wajahnya hanya sejauh 5 centi pada Sukuna. Terlalu dekat sekaligus bahaya.

Iris merah Sukuna bercahaya. "Apa menurutmu aku dikalahkan makhluk rendahan?" Telapak mendorong menjadikan malangnya korban terpelanting sekarat. Patah tulang beserta sendi miring, pingsan menyertainya.

Racauan mengerikan mengantarnya ke tidur nyenyak. Meratapi sebelum beristirahat dua jam, retinanya menonton Sukuna melaju membantai. Terbangun antara mandi darah, ia terbelalak. Ketakutan menjadikan airmata kesedihan.

Korban memastikan lukanya. "Kenapa... kenapa aku saja yang hidup...?" Pisau belati diarahkan, memotong separuh panjang surai menyamarkan paras manisnya mirip lelaki. "DASAR SUKUNA! KAU MEMBAYAR PERBUATANMU SUATU HARI! AWAS!"

Sepulangnya Sukuna menghampiri Uraume. "Besok kau masak banyak." Sedari tadi Sukuna berusaha menghapus marah melalui lapar.

Awalnya Sukuna tenang. Melepas pakaian di titik poin marah melebur, Sukuna akhirnya menendang meja. "Ckckckc! Dia berpura-pura polos supaya kita luluh membiarkannya hidup." Terngiang-ngiang entah mengapa.

Memutar ulang gosip, Sukuna menggerutu, "Buktinya kalian mati duluan ketimbang [Name], sialan."

Tasty Poison | Sukuna x ReaderWhere stories live. Discover now