24. Ujung dari Semangat

2.3K 450 56
                                    

Evan datang dengan langkah cepat dan panjangnya. Tak dihiraukan napasnya yang terengah-engah serta seragamnya yang agak basah akibat berlari di tengah gerimis dari tempat parkir rumah sakit menuju kamar Jasmine dirawat. Beberapa orang yang ia lalui hanya melihatnya berlari, tanpa mempedulikan mengapa ia berlari. Hanya membiarkannya berlalu.

Begitu ia tiba di rumah Jasmine selepas pulang sekolah tadi, ia diberitahu oleh Bi Samih bahwa Jasmine dilarikan ke rumah sakit setelah tak sadarkan diri. Tanpa pikir panjang, Evan pun segera mengemudikan mobilnya secepat mungkin ke rumah sakit. Ia hanya ingin bertemu Jasmine segera, memastikan bahwa gadis itu telah baik-baik saja.

Namun kenyataannya berbeda. Gadis itu terbaring lemah. Tubuhnya tampak semakin kurus dengan kulit yang putih pucat. Matanya terpejam. Tak ada kekuatan, bahkan hanya untuk membuka matanya. Jasmine seolah tidur dengan damai.

"Evan," sapa Andita yang duduk di sisi ranjang. Matanya sembab dan raut muka kesedihan itu tak mampu lagi ia sembunyikan. Andita bangkit dan berjalan mendekati Evan. "Jasmine masih belum sadar. Lebih baik kamu istirahat dulu hingga Jasmine sadar nanti."

Evan menggeleng cepat. Ia tak mau istirahat. Ia hanya ingin menunggu Jasmine sadar.

Andita menghela napasnya. "Kondisi Jasmine sudah stabil, tinggal menunggu dia sadar saja."

Evan hanya diam. Matanya tak lepas sedetikpun dari Jasmine yang terbaring lemah di kasur.

"Evan, kamu juga perlu istirahat dan menenangkan diri," ucap Andita. "Jasmine nggak akan senang melihat kamu yang sedang berantakan seperti ini."

Evan menarik napas panjang. Apa yang dikatakan Andita benar. Jasmine pasti tidak akan suka dengan keadaannya saat ini, seperti zombie. "Saya... pamit dulu, tante," ucapnya parau.

Andita mengangguk. "Tenangkan dirimu, Van. Nanti akan tante kabari jika Jasmine sudah sadar."

Evan pun berjalan meninggalkan kamar Jasmine. Tidak, ia tidak pulang. Mana sanggup ia kembali pulang? Ia hanya ingin berada sedekat mungkin dengan Jasmine, melihat Jasmine begitu gadis itu telah sadarkan diri.

Evan berjalan gontai menyusuri lorong demi lorong rumah sakit. Ia pun memutuskan untuk duduk di salah satu bangku yang kosong. Rumah sakit hari ini tidak begitu ramai, mampu memberikan ruang sendiri baginya yang merasa hancur.

"Evan?" Seseorang memanggilnya.

Evan menoleh. Itu adalah ibunya.

"Kamu kenapa, sayang?" tanya Irina khawatir.

Evan tak menjawab, ia hanya menunduk dalam-dalam.

Seolah tahu seberapa berat beban yang ditanggung anaknya, wanita itu pun menarik Evan ke dalam pelukannya. Pelukan yang sama yang pernah ia berikan dulu ketika Evan menangis setelah kepergian Nana. Evan mungkin tidak sedang menangis saat ini, tetapi ia tahu bahwa Evan sedang menangis di dalam hatinya.

Evan hanya pasrah ketika ibunya menarik dirinya. Tak ada perlawanan, seolah-olah memang pelukan itulah yang dibutuhkannya saat ini. Dan secara pasti, pertahanan yang dibangun Evan pun sempurna luruh. Tak ada lagi sosok Evan yang mencoba untuk menjadi kuat.

Evan membiarkan dirinya menangis.

***

Evan melahap rakus nasi rendang di hadapannya.

"Sudah berapa lama kamu nggak makan?" Sebuah pertanyaan yang tampaknya seperti gurauan, namun dengan serius Irina tanyakan.

"Terakhir makan kemarin pagi," jawab Evan sambil terus melahap makanannya. Tak lama, ia batuk-batuk kecil akibat tersedak.

Melodi untuk Jasmine [END]Where stories live. Discover now