Between Us and The Wind Blows

262 34 16
                                    

Udara dingin

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Udara dingin. Semua manusia seperti beku, tak beda benda mati. Embusan angin menitipkan gelenyar dingin yang maha. Barangkali hanya aku saja yang membuka jendela, membiarkan perasaan menusuk tulang itu memenuhi tubuh. Tidak apa-apa. Sebentar lagi selimutku datang. Aku akan dihangatkan.

Benar. Lima menit berselang dia datang.

Dia datang dengan pakaian tebal menutupi tubuh. Menyeret langkah sedang bibir yang seharusnya merah itu berubah pucat dan menggigil. Sepasang matanya memberitahu: aku lelah, ingin segera tidur bersamamu. Aku tersenyum. Dia takjub dan ikut tersenyum. Aku tidak tahu apakah itu senyum palsu yang biasa ia gunakan atau bukan, tapi siapa peduli.

Dia semakin dekat. Aku mengulurkan tangan, dia menyambutnya. Agaknya dia kepayahan memanjat jendela, mungkin karena terlalu lelah. Aku membantu mengangkatnya dan kami terjatuh bersama dengan dia yang menindihku. Punggungku terasa sakit karena beradu langsung dengan lantai.

"Lucas, maaf."

Aku mengibas-ngibaskan tangan. "Ini bukan apa-apa."

Dia mendudukkan diri dan menundukkan wajah. Aku bangkit lalu mengangkat dagunya. Dia menatapku nanar, selalu begitu. Aku berdecih pelan.

"Sekarang apa? Jangan katakan hal yang sama seperti bulan lalu."

"Tidak, Kak Johnny tidak memukulku. Akhir-akhir ini dia berubah menjadi Kak Johnny yang dulu. Dia tetap periang dan hangat."

Aku mengangkat sebelah alis. "Lalu apa yang membawamu kemari, Dery?"

Hendery menggigit bibir. Aku benci kebiasaannya yang satu itu. Sepasang matanya yang hitam kelam pelan-pelan bergeser ke arah mataku. Dia sedang memberanikan diri, entah untuk hal apa.

"Katakan."

Penekananku membuatnya semakin gugup. Aku suka ekspresinya yang seperti itu. Tampak sangat menggemaskan dan aku benar-benar ingin memakannya. Haa, ingin kurobek kulit pucatnya hingga ia meneriakkan namaku. Hanya namaku.

Bibirnya bergerak gelisah. "Aku ... kali ini ... aku hanya ingin bertemu denganmu."

Wajahnya memerah. Aku tertawa kecil.

"Kau menjadikanku kegiatan rutinmu."

"Tidak! Bukan begitu! Maksudku-"

Aku menekan bibirnya dengan telunjuk, isyarat agar dia diam. "Aku tahu, aku tahu. Tapi itulah yang kurasakan mengenai kedatanganmu setiap pertengahan bulan. Kau terus datang padaku dengan alasan yang bervariasi. Kali pertama kau putus asa karena kekasihmu mati, lalu di bulan berikutnya tentang Johnny yang berkekasihkan Ten, lalu masih tentang Johnny, kali ini dia ingin kau jadi miliknya, kemudian-"

Hendery menyingkirkan jari telunjukku dari bibirnya. Kali ini dialah yang ingin aku diam. Hendery menekan bibirku dengan bibirnya. Aku tidak terkejut sama sekali. Dia mencoba mendominasi tapi aku sudah lebih dulu mendorong bahunya kasar hingga punggungnya menabrak lantai. Dia mengerang. Dahi kami bersentuhan. Aku menatap matanya dalam-dalam.

NiskalaWhere stories live. Discover now