Busway

93 19 0
                                    

Hidup di kota metropolitan tidak begitu menyenangkan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Hidup di kota metropolitan tidak begitu menyenangkan.

Itulah pendapat Hendri setelah berkali-kali terjebak macet di kota seeksotis Jakarta. Ia tidak suka kemacetan—barangkali juga semua orang. Menunggu dengan cemas, mengetuk-ngetuk kemudi, menghitung jumlah kendaraan. Ia mencoba segala cara untuk menepis kekesalan. Apa pun sudah dilakukannya. Menyetel musik tidak banyak membantu, justru semakin membuatnya kalut karena rupanya waktu sudah banyak terbuang sementara ia masih terjebak macet.

Pulang nyaris tengah malam. Kemudian, dengan kejam, alarm membangunkannya di jam empat pagi dari tidur yang kurang berkualitas. Kembali pergi bekerja dan segala kegiatan yang dilakukannya seperti lingkaran setan. Hendri lelah, tentu. Ia rindu libur panjang. Berleha-leha di rumah, menonton televisi, atau melukis. Ia rindu.

Tapi apa daya. Hendri tidak bisa meninggalkan pekerjaannya begitu saja. Ia membutuhkan uang untuk menunjang kehidupannya di masa depan nanti. Walau bagaimanapun, ia harus bekerja. Tidak mengapa meski harus menelan sekian pil tidur atau apa pun yang mampu menjaga staminanya.

Kau mungkin tidak akan menyukai saranku, tapi, cobalah naik busway.

Maka, mengikuti saran sahabat karibnya, Hendri memutuskan untuk mencoba naik Transjakarta. Ia barangkali tidak menyukai keramaian, tapi setidaknya hal itu tidak lebih buruk daripada terjebak macet dalam keadaan lelah pasca bekerja.

Hendri membeli kartu flazz agar lebih memudahkannya. Ia menunggu bus dengan gelisah. Bulir-bulir keringat mulai muncul di pelipis serta hidungnya, terlebih ketika orang-orang mulai berdatangan dan ikut menunggu. Ini pengalaman pertama. Ia tidak tahu harus bagaimana.

Bus datang. Pintu terbuka secara otomatis. Orang-orang berbondong-bondong keluar, lantas mereka yang menunggu baru kemudian dipersilakan masuk. Hendri nyaris kehilangan keseimbangan. Ia merasa sesak. Dadanya sesak. Kakinya terinjak. Dengan gemetar, ia menahan beban tubuhnya pada seorang pria kekar sebelum tangannya mencapai pegangan.

Seorang pria—ia tidak tahu bagaimana menyebutkannya—mungkin seorang petugas Transjakarta (sebab pria itu menggunakan seragam dan topi yang terlihat aneh), berdiri di dekat pintu, memandang ke arahnya. Barangkali khawatir. Hendery mengatur napas.

Ini terlalu ramai. Terlalu sesak.

Matanya berkunang-kunang. Hendri mencoba fokus. Ia melihat ke gerbong depan, khusus untuk perempuan. Tampaknya di sana lebih nyaman. Ia menggeleng-gelengkan kepala.

"Garuda, Taman Mini." Petugas Transjakarta berbicara. Lantas melanjutkan, "yang hendak berhenti di Garuda, Taman Mini, silakan mempersiapkan diri. Jangan lupa barang bawaannya."

Seorang pria tidak sengaja menabrak bahu Hendri. Ia mengaduh namun tampaknya pria tersebut tidak acuh. Bus berhenti di halte depan, orang-orang mulai keluar. Keadaan jadi tidak begitu sesak, tapi hal itu tak bertahan lama. Sebab, orang-orang yang lain mulai masuk. Lebih banyak dari mereka yang tadi keluar.

NiskalaWhere stories live. Discover now