08. Tuduhan Untuk Lion

863 172 55
                                    

ㅡ•ㅡ

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

ㅡ•ㅡ


AROMA tajam dari cabai yang ditumis dengan wajan mulai merambat menelusuri apartemen. Sepasang tangannya sibuk mengaduk dan menambahkan topping masakan. Bersama apron berwarna biru dongker yang melekat pada tubuhnya, Rosa masih tampak memukau dengan rambut panjang yang digelung ke atas. Menampilkan leher jenjangnya dan keunikan pipi tembam. Hari ini jam masuk sekolah siang lantaran anak kelas 12 tengah melaksanakan simulasi UTBK.

Ah, waktu rupanya cepat berlalu dari yang mampu Rosa perkirakan sendiri.

Si gadis menyicipi saus pastanya menggunakan jari kelingking, mengangguk kecil dan segera menatanya di piring. Mungkin butuh sekiranya dua puluh menit bagi Rosa untuk menyiapkan sarapan, dan membiarkan Lion mengecup keningnya sekilas dengan wajah bantal.

Morning, Sis,” katanya dengan suara serak nan berat. Lion mengucek sejenak matanya sebelum mencuci muka di wastafel. Terlalu malas menyentuh dinginnya lantai kamar mandi.

Rosa mengusap pelan tengkuk adiknya dengan senyum kecil kemudian mengangguk. “Nggak mau mandi dulu?”

“Enggak, nanti aja sebelum berangkat latihan.”

“Latihan basketnya makin intensif ya? Kamu latihan terus minggu ini, minggu kemarin juga,” tukas Rosa sembari mengingat-ingat.

Lion meneguk segelas air sampai habis tak bersisa dan menyilangkan kaki di atas kursi. Dulu, bahkan ia tak dapat melakukannya dan kini pemuda itu merasa bebas dari jeratan manapun. “Mau ada turnamen kota, Kak. Do'ain lulus babak penyisihan, ya?”

“Aamiin!” Rosa mengusap wajahnya setelah menengadahkan tangan untuk berdoa. “Eh, btw. Kakak kamu yang satu lagi mana? Nggak keliatan batangㅡASTAGHFIRULLAH, JESSICA! MUKA LO KENAPA, BAZENG?!”

Si bungsu menepuk pelan tangan sang kakak dan menaruh telunjuknya di bibir. “Kak, tetangga nanti ke ganggu. Masih pagi.”

Menurut. Rosa menepuk mulutnya sekilas kemudian, agaknya masih terlampau syok menemukan wajah sang sahabat babak belur. Tulang pipinya lebam serta bengkak, matanya sayu sementara sudut bibirnya terdapat gumpalan darah kering. Rosa mendekat guna menyentuh luka-luka Jessica yang berujung si empunya meringis kesakitan.

“Lo kenapa, Jessica?! Anjirlah nih bocah! Pulang pagi malah babak belur gini. Ngapain sih?”

Jessica mengangkat tangannya agar Rosa berhenti mengomel sementara matanya mengantuk berat begini. “Gueㅡhoaaam! Ada urusan kemarin. Nyikat gundik-gundik sialan yang dikasih hati minta jantung. Dua anak buah gue masuk RS gara-gara berantem cuma gara-gara fasilitas yang gue kasih. Sok-sokㅡhoaam! Mereka sama barang gue.”

IRIDESCENTWhere stories live. Discover now