Damn Thing

18 1 0
                                    

Risa segera menyalakan laptop setelah salat subuh. Hari ini adalah pengumuman ujian masuk perguruan tinggi yang dia ikuti sebulan yang lalu. Jantungnya berdebar kencang, secercah harapan menari indah di dalam kepala. Jari lentiknya mulai mengetikkan alamat sebuah website setelah jendela browser muncul.

Mata Risa berusaha mencari namanya di dalam daftar peserta yang lolos. Alhamdulillah. Berulangkali dia menyebut kata itu sebagai bentuk syukurnya. Allah memang maha baik. Semua yang terjadi pasti atas seizinnya. Setelah menenangkan diri beberapa menit, dia segera membawa laptop untuk ditunjukkan kepada kedua orangtuanya.

Ibu dan ayah sudah menunggu di ruang keluarga. Tatapan mata penuh harap terpancar dari sorotan keduanya. Wajar memang, Risa anak semata wayang keluarga Pak Sholeh. Mereka memiliki keinginan supaya Risa bisa menempuh pendidikan setinggi-tingginya dan hidup sukses di kemudian hari.

Risa membuka laptop dan meletakkannya di atas meja. Layarnya masih terbuka pada halaman pengumuman.

"Ini. Maaf." Risa memasang wajah sedihnya. Gadis itu telah melatih ekspresinya semalam. Sinar mata sendu yang menyiratkan kesedihan, penyesalan, dan kekecewaan berhasil dia tunjukkan dengan baik. Sebenarnya dia merasa takut membuat orangtuanya bersedih. Namun, bukankah 17 tahun hidup dalam keinginan mereka sudah cukup? Kali ini Risa ingin kebebasan. Ada haknya yang tergadai jika dia selalu mengikuti kemauan orangtuanya.

"Bukan salahmu, Nak." Ibu berusaha memecah keheningan dengan suaranya yang bergetar. Sebenarnya mereka bukan tipe orangtua yang keras. Justru kesabaran tanpa batas itulah yang seringkali membuat Risa mengalah.

"Ayah akan mencari jalan lain." Lelaki paruh baya itu segera beranjak dan mengambil gawainya. Dia tidak ingin cita-cita Risa terhalang.

"Ibu, aku..." Rasa panik menyerang otak Risa. Dia bingung harus bagaimana. Tidak cukupkah 5 kali gagal dalam tes untuk membuktikan bahwa anaknya memang tidak ingin melanjutkan kuliah? Terbayang saat ayahnya berusaha memasukkan Risa di SMA favorit. Lelaki itu memang memiliki banyak kenalan yang bisa membantu mengabulkan keinginannya. Akankah terulang lagi?

"Ini semua demi masa depan kamu, Nak. Turuti saja keinginan Ayahmu. Toh, tidak ada ruginya juga." Ibu yang selalu bisa membaca pikiran anaknya berusaha menghalangi Risa untuk berargumen.

"Semua orangtua itu ingin anaknya sukses. Bisa kerja di kota-kota besar dengan bayaran yang banyak. Kami pasti akan melakukan apa saja buat kamu. Supaya Kamu bisa bahagia di kemudian hari." Ibu berusaha membujuk Risa. Biasanya, trik seperti ini selalu berhasil. Gadis yang dilahirkannya itu memang selalu menuruti apa kata orangtuanya.

"Tapi kan sekarang Risa sudah besar, Bu. Sudah waktunya Risa menentukan masa depan sendiri. Risa pun punya cita-cita untuk sukses, tapi dengan cara Risa sendiri." Sengaja Risa menyuarakan keinginannya dengan wajah tertunduk. Dia tidak ingin melihat sorot mata ibu yang selalu berhasil membuatnya terhipnotis. Degup jantungnya begitu kencang. Maklum, ini kali pertama dia membangkang.

Ayah kembali dengan wajah sumringah. Dia merasa menjadi pahlawan untuk anak gadisnya. Lelaki itu memang selalu menjadi penyelamat Risa. Namun kali ini tidak. Melihat senyuman sang ayah, membuat tubuh Risa seketika lemas tak berdaya. Ya Allah, apakah ini memang rencanamu?

"Teman Ayah, Pak Karno, bersedia membantu Risa masuk Perguruan Tinggi dengan jalur khusus. Lebih mahal memang. Tapi apalah arti semua itu jika demi masa depan anak kesayangan Ayah."

Risa masih menunduk. Dia merasa lelah dengan semua ini. Selalu sulit baginya untuk lari. Airmata mulai menggenang. Hidungnya basah. Dia benar-benar tidak ingin menambah 4 tahun lagi untuk keluar dari penjara ini. Itu kalau bisa tepat waktu kelulusannya. Dia ingin hidup barunya segera dimulai. Apakah aku harus membuat badai itu sendiri?

Perfect StormWhere stories live. Discover now