Speak Up

12 0 0
                                    


Hati Risa bagai tersayat sembilu. Seseorang yang selalu dia anggap superhero kini merajam kebebasannya. Rantai itu telah siap di depan mata. Rantai yang akan memusnahkan masa depannya. Tugas anak cuma patuh? Apakah ini yang dinamakan berbakti? Risa tak habis pikir dengan pendapat ayahnya. Sekejam itu ternyata. Seolah dia hidup di zaman kerajaan. Mungkin nanti dia akan memilih menikah dengan seorang pangeran seperti Prince Harry. Walaupun tidak mewarisi tahta kerajaan, tetapi dia selalu berpihak pada sang istri. Hingga memutuskan untuk keluar dari lingkup kerajaan demi membahagiakan belahan jiwanya. Lamunan itu disadarkan oleh tatapan si ikan monster. Dia menatap Risa penuh kebencian. Ah, kau bisa apa? Dasar ikan mengerikan!

Telinganya panas, terbakar oleh kata-kata sang ayah. Api yang berkobar itu semakin menjalar menuju otaknya, pusat syaraf dalam tubuh Risa berada. Secepat kilat, pesan maksiat memerintahkan tangan Risa untuk bertindak. Sedetik kemudian, pisau itu terhujam. Tepat pada bagian sambungan kepala si ikan monster. Telapak tangan Risa mengucurkan darah segar terkena goresan benda tajam yang dia bawa. Nafas gadis itu tersengal-sengal, seolah telah menghempaskan semua kekesalannya.

"Tenangkan hatimu, kenapa jadi seperti ini? Ayah cuma..." Ayah melayangkan kekecewaannya terhadap sikap anak semata wayangnya yang kini hanya duduk mematung. Masih terlihat jelas amarahnya yang menggebu-gebu. Lelaki itu lebih memilih meninggalkan Risa seorang diri dibanding melanjutkan kalimatnya.

Persetan dengan semua ini.

Risa segera membersihkan lukanya di bawah air kran yang mengalir. Beberapa saat kemudian, pikirannya sudah terbang jauh mengenang masa kecilnya. Ayah selalu ada untukku, segala yang terbaik diberikannya untukku. Tapi mengapa sekarang semuanya menjadi serumit ini? Mata Risa terasa sangat panas. Bagaikan gunung api yang hendak meletus, menumpahkan cairan lava panas bernama airmata. Saat ini, luka di hatinya jauh lebih dalam daripada sayatan pisau itu. Mengguratkan kesedihan yang entah kapan bisa sembuh kembali.

"Risa, itu tadi ada titipan dari Gavin... Maaf Ibu lupa menyampaikan." Ibu mengangsurkan sebuah buku berisi catatan pelajaran yang tadi diberikan Gavin.

"Kenapa tanganmu? Sudah sana Kamu pergi, biar Ibu yang membereskan sisanya." Ibu kembali mengambil kendali dapur. Untung saja wanita itu tidak sadar dengan tumpahan cairan bening di sudut-sudut mata Risa.

*****

"Thank's ya, Vin." Risa menulis pesan whatsapp singkat untuk sahabatnya. Tak lupa juga dia mengirimkan foto buku catatan yang diberikan oleh ibunya.

"Ada apa, Ris?" Lagi-lagi Gavin membaca kegundahan dalam diri Risa. Entahlah, apa mungkin dia memiliki bakat cenayang.

"Gya ngajak jalan besok. Katanya pengen ke pantai Bentar. Sekalian mau syukuran, bisnisnya berjalan lancar." Tiga kata terakhir yang diketik oleh Gavin itu membuat Risa semakin cemburu. Enak sekali jadi Gya. Tidak pernah dipaksa untuk melanjutkan kuliah. Gadis charming itu selalu berusaha untuk mendekati Gavin. Itulah mengapa dia ingin sekali menjadi teman akrab Risa. Namun setelah mendapat akses pribadi ke ponsel Gavin, dia sudah tidak pernah berkomunikasi dengan Risa. Mungkin karena lebih nyaman menyampaikan semua informasi lewat Gavin. Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Dia bisa lebih dekat dengan cowok gebetannya.

Lumayan nih, bisa sekalian refreshing. Sudah lama Risa tidak menikmati keindahan pantai Bentar. Walaupun memang di masa new normal ini kondisinya sangat sepi. Terakhir kali Risa pergi ke sana tahun lalu, saat pandemi corona baru masuk ke Indonesia. Tepat ketika ada kondangan sepupunya yang berlokasi di desa dekat pantai bentar.

*****

Risa sudah siap dengan gaya santainya. Gavin juga menunggu sambil sesekali membuka pesan whatsapp. Lelaki itu memang tergabung dalam banyak grup online. Dia lebih nyaman berkomunikasi dengan banyak orang melalui pesan online. Itulah sebabnya, Gavin tidak pernah aktif dalam kegiatan sekolah maupun ekstrakurikuler manapun. Apalagi saat semua dilakukan serba online seperti saat ini.

Perfect StormWhere stories live. Discover now