Ketiga Puluh, Apakah Akhir seperti ini?

71 10 5
                                    



Jika berbicara tentang sakit hati, sebenarnya manusia merasakan sakit hati itu dengan kadar mereka masing-masing. Tak bisa dipaksa sama rata dengan alasan yang berbeda. Walaupun kadang rasa itu mungkin hanya seperti tertusuk jarum, namun pisau menghunus bisa benar-benar dirasa. Seperti sekarang ini, kedua lelaki yang masih enggan beranjak dari kursi di atap cafe menatap cantiknya langit melukiskan senjanya. Secangkir kopi yang sudah dingin itu tinggal ampas, bahkan sebungkus nikotin itu juga sudah berkurang dua batang. Asap mengebul dari bibir manis yang telah menyesap rokok yang entah sejak kapan membuatnya candu. Lelaki itu selalu memilih alasan jika nikotin yang ia sesap itulah yang bisa membuang gundahnya melalui asap yang sengaja disembulkan kearah langit lepas.

Sedang lelaki disampingnya dengan kemeja yang digulung hingga siku masih asyik bermain rubik yang masih penuh dengan warna yang berantakan. Ia sebenarnya tidak terlalu suka jika sahabatnya itu kecanduan benda tak bermanfaat itu, lebih baik kecanduan bekerja atau kecandua belajar bukan? Bukan, tentu hanya dalam khayalannya saja jika ia berubah menjadi lelaki ambisius dengan mengahapal segala rumus fisika dan matematika dalam pikirannya. 

"Sampai kapan kamu mau begini?" tanya lelaki yang sekarang ini sudah meletakkan rubik yang berhasil ia samakan warnanya.

"Begini gimana? ngerokok?" 

Jaemin mencondongkan tubuhnya mendekati sahabatnya, "Merusak hidupmu!" ujarnya.

Merasa di ejek lelaki di sebelah Jaemin itu akhirnya mematikan satu putung rokok yang memang sudah habis, menyandarkan punggungnya lalu menghela nafas.

"Sebenarnya alasanmu merokok itu apa? Melepas stress? Gak mungkinkan?"

Senyum kecut muncul di bibir penuh dengan kadar manis walaupun sudah bau rokok sekarang.

"Sampai aku dibenci," tanggapnya.

"Gila! Kau memang sudah gila Jen!" Jaemin tidak habis fikir dengan sahabatnya itu, setelah kejadian 6 tahun lalu dan ia memilih kejalan rokok. Apalagi jika bukan karena perempuan yang pernah mereka perebutkan, dan perlahan sahabatnya itu merasa kuat dan menyakiti dirinya sendiri. Ayara Lintang.

"Jujur! Kau belum melupakan Ayara?"

Jeno tersenyum lalu ia memejamkan matanya.

"Sebab itu, aku ingin ia membenciku agar aku mempunyai alasan untuk melupakannya."

"Jeno gila!" Bukan Jaemin namun lelaki kurus yang sudah berpenampilan paling rapi dengan jas kantoran yang baru saja keluar dari pintu yang terdapa tangga menuju lantai dasar.

"Bos kita datang-datang langsung ngatain aku begini?" keluh Jeno lalu menarik satu kursi agar sahabatnya yang baru datang itu ikut duduk di sampingnya.

"Ya kamu gila Jen! Kamu itu sudah berhasil dapatkan hati dia, eh malah pamit alasannya klasik lagi." tambah lelaki dengan rambut klimis itu.

"Klasik gimana bos? Aku juga lepasin dia biar kamu yang dapat." 

"Tapi dia anggap aku teman sekarang, susah emang kalau Jeno udah milih kucing."

"Kucing?" Jaemin akhirnya ikut menimbrung, walaupun sebenarnya sejak kedatangan teman yang sudah menjadi bos ini membuatnya sedikit takut karena pasti akan ada adu mulut.

"Ya, Jeno kalau udah milih kucing mau diapain tetap aja milih kucing."

Jaemin tertawa renyah, menurutnya itu sedikit lucu namun Jeno hanya memalingkan wajahnya.

"Gimana kabarnya?" Jeno bertanya dengan nada pelan.

"Baik, dia di kantor juga pekerja keras sekarang. Teman-temannya juga suka dengannya bahkan sampai pekerjaan yang harus mereka kerjakan malah dititipkan."

Cerita Mereka (SELESAI).Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang