Bab 1

1.2K 210 24
                                    

Panorama alam berupa gurun-gurun kecokelatan, terselimuti hamparan pasir di sepanjang jalan, membentang tinggi tanpa perkiraan. Hawa panas tidak gersang, memayungi sebuah kota di pesisir utara dan selatan. Lembah sempit yang dihempit oleh kedua gunung tinggi nan luas, menempati kota besar. Disebagiannya tumbuh kota kecil berpenduduk.

Papan nama bertuliskan nama kota yang tertancap kuat di perbatasan, terukir gambaran benda berasap menandakan garis besar kota tersebut.

Tumbuhan tandus mengelilingi, cahaya alam menyorot tepat memperlihatkan betapa terang sinarnya. Rerumputan tipis memunculkan pesonanya, terombang-ambing oleh angin yang kebetulan singgah. Rentetan pohon akasia raksasa berdiri sempurna, serta pohon-pohon beranting tanpa penghijau ikut ambil bagian dalam nampak.

Melaju sebuah mobil di tengah-tengah jalan beraspal, melewati papan nama bagai gambaran kecil yang hanya terlihat sekelibat. Begitu halnya dengan gunung-gunung yang memunculkan tubuhnya, bermaksud untuk dilihat, mengeluarkan sejuta pesona bagi pasang mata yang tertuju.

Lelaki tua berkumis yang menautkan kedua tangan pada setir mobil tersenyum tipis. Berpindah pandang yang semula ke depan kaca mobil, melihat ke belakang pada penumpang yang dibawanya. "Selamat datang di [1]Patagonia."

Kemudian kembali memfokuskan perhatian pada jendela persegi. Dibawanya kendaraan roda empat itu yang semakin memasuki kota, perlahan nampak rumah-rumah penduduk berpenghuni. Beberapa pasang mata memusatkan perhatian, wajah-wajah asing bermunculan, bentuk rumah bergaya minimalis kuno terbangun kokoh di atas tanah kota ini. Sang pendatang baru memancarkan ketertarikan dimenit pertama saat memasuki kota.

Tidak hanya sampai situ, tampaknya roda mobil menolak berhenti sampai sang pengarah benar-benar membawa ke tempat tujuan. Sedikit menukik dan berbelok serta dorongan mesin untuk mencapai puncak. Selanjutnya biarlah garis akhir yang membuatnya kembali normal. Hingga, tancapan bising mesin tak lagi terdengar.

"Kita sudah sampai," ujar sang supir pada penumpang.

"Yey! Kita sampai!"

"Tunggu."

"Ada apa, Ayah?" Gadis berusia tujuh tahun memiringkan kepala untuk melihat laki-laki berambut ikal yang ia kenali sebagai ayahnya. Keningnya mengerut, lalu mengikuti pandang sang ayah.

"Apa yang mereka lakukan?"

"Tampaknya menyambut."

"Menyambut kedatangan kami?" Seorang wanita yang memangku gadis kecil itu melempar tanya.

"Orang-orang di kota ini memang terkesan ramah. Jadi jangan heran jika mereka begitu berlebihan." Sopir itu mengangkat bokong untuk turun dari mobil. Kemudian, disusul oleh si penumpang yang merupakan satu keluarga;ayah, ibu dan anak.

Gerombolan para warga yang sudah lebih dulu menginjakkan kaki di tanah kawasan rumah yang kini telah menjadi hak keluarga McCullen.

Objek yang terlihat begitu menyorot retina ialah dua kubu besar yang menjunjung tinggi melengkapi bagian struktur sebuah rumah. Penyangga yang berdiri hampir di sekeliling rumah menunjukkan bahwa benda itulah sang penjaga rumah. Dihempit oleh pondasi tinggi di kedua sisi menambah kesan nyata rancangan pendahulu.

Gadis kecil yang mengikat pergelangan tangannya pada genggaman sang ibu, bertanya. "Mereka siapa, Mah?"

"Penduduk sekitar. Ayo, tunjukkan senyum manis mu." Mendapat perintah, segera ia melakukan. Lengkungan bibir benar-benar terbentuk hingga menimbulkan kerutan di kening diciptakan oleh satu keluarga itu.

Begitu juga dengan orang-orang yang berkumpul. "Oh, akhirnya kalian sampai," tutur salah satunya.

"Maafkan kami. Hanya saja kami ingin bertemu langsung dengan kalian, dan tidak ingin melewatkan kesempatan ini," timpal lainnya.

SuciWhere stories live. Discover now