Mayat dan Hantu Hidup

783 94 5
                                    


Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Ranting meihua dipenuhi kuncup-kuncup merah muda. Bermekaran menawan bahkan ketika hari masih membeku. Kelopaknya berterbangan ditiup angin awal musim semi. Berserakan di atas salju yang enggan mencair. Sejuk dan damai.

Senja telah turun bak tirai, rembulan setengah mengintip malu-malu.

Wen Ke Xing berdiri di bawahnya. Mendongak seraya menutup mata, menyerap semua energi positif selagi ia masih sempat. Aroma plum, serta salju yang masih enggan mencair. Kombinasi sempurna. Wen Ke Xing turun gunung dan berkunjung ke desa Empat Musim hanya untuk mencuri udara di sana. Terdengar konyol, tetapi itulah salah satu tujuannya; menikmati musim semi. Ia hanya ingin ketenangan seiring helai-helai rambutnya yang perlahan kian memutih. Menunggu dijemput dan melintasi Jembatan Ketidakberdayaan untuk mengantre teh Mengpo.

Namun, barangkali musim semi kali ini merupakan kesialan baginya, kedamaiannya terusik oleh teriakan dan jerit ketakutan tak jauh dari tempatnya berdiri. Penasaran, Wen Ke Xing segera menuju ke sumber keributan. Beberapa, bahkan hampir separuh warga desa tampak sudah berkerumun. Dengan sikap tenang seperti biasa seraya memainkan kipasnya dengan lembut, Wen Ke Xing membuka jalan untuk melihat apa yang sedang terjadi.

"Segera siapkan pemakaman."

Seseorang memerintah, suara yang tidak asing. Wen Ke Xing seketika membeku, angin berdesir membelai telinga. Ia tidak mungkin salah mengenali seseorang, suara itu sama dengan milik seseorang. Alasan mengapa ia datang. Seorang pria berbaju sutra yang membelakanginya, berjongkok di hadapan enam tubuh tak bernyawa yang masih basah di tanah, bahkan punggung itu pun Wen Ke Xing sangat mengenalinya.

"Putraku! Itu putraku!" Seorang wanita tua berteriak histeris, menorobos kerumunan sehingga membuat Wen Ke Xing terdorong ke depan dan tersadar dari keterkejutannya. Saat itu pula, seseorang dengan suara dan punggung yang ia kenali berbalik badan.

Tatapan mereka pun akhirnya bertemu.

"A-Xu." Kata itu keluar begitu saja. Samar. Membuat si pria bermata lembut tersebut mengernyit, tetapi tak lama kemudian mengalihkan pandangannya ke wanita tua yang meraung mengguncang jasad putranya.

Wen Ke Xing bergeming sesaat seraya tatapan yang tak lepas dari sosok di hadapannya. Orang-orang yang berbisik dan menangis pun kembali memenuhi gendang telinga. Segera ia memeriksa salah satu jasad yang tak kalah pucat dari rembulan di atas sana.

"Racun," serunya kemudian.

Suara ribut warga desa yang mulanya agak mereda kembali mengudara. Sementara pria di hadapan Wen Ke Xing menatapnya dengan kernyit dalam. Wajahnya menampakkan rasa penasaran, tetapi ia tetap bungkam.

Wen Ke Xing berdiri, lantas menyisir barisan para warga satu per satu. Tatapan mereka dipenuhi rasa ingin tahu yang mendalam. Hal tersebut membuatnya menarik garis miring pada bibir. "Kalian, segera kembali ke rumah masing-masing dan jangan ada yang keluar sampai matahari terbit," serunya dengan tenang.

"Jika ketahuan ada yang diam-diam keluar, maka sudah dipastikan dia adalah pelakunya."

Kerumunan mulai merenggang dengan gemerisik kata-kata gerutuan. Seorang pemuda dengan baju sutra berlapis menghampirinya kemudian menggerutu, "Hei, Tuan. Anda bukan warga desa. Tapi seenaknya memerintah dan menuduh warga kami. Bukankah yang patut dicurigai adalah Anda sendiri?"

Wen Ke Xing terkekeh dengan gelengan samar. Ternyata jaman sudah setua ini. Pikirnya.

"Hei, anak muda. Kau akan tahu setelah menginjak usia seperti diriku. Lihatlah, rambut putih ini. Menyenangkan bukan saat memilikinya?" Kemudian ia tertawa renyah. Berjalan beberapa langkah dan berbisik ke telinga si pemuda. Si pemuda tampak membelalakkan mata, bulu kuduknya meremang ketika beberapa helai rambut putih dan hawa dingin bersentuhan dengan kulit telinganya.

Segera si pemuda menjauh dari jangkauan Wen Ke Xing dan bersembunyi di belakang punggung orang lain yang masih membisu. Sepertinya Wen Ke Xing mendapat hiburan tambahan. Ia tertawa keras selepasnya.

"Ayah, dia Hantu Hidup dari Dunia Bawah." Si pemuda berteriak seolah baru saja melihat hantu tanpa kepala. Lagi pula, memangnya ada hantu dari Dunia Bawah yang setampan Wen Ke Xing itu?

Mendengar kata 'ayah' dari si pemuda seketika memudarkan tawa Wen Ke Xing. Obsidiannya tak lepas dari netra pria itu.

"Maaf, Tuan. Jika tidak keberatan, bisakah Anda memberitahu kami identitas Anda?"

"Wen. Wen Ke Xing," jawabnya tanpa melepas tatapan serta senyum yang kemudian tersungging. Kipas di tangan kanan berpindah ke kiri. Lantas mengulurkan tangan kanannya ke hadapan si pria.

"Zhou Zi Shu," sambutnya.

"Zhou. Zi. Shu." Wen Ke Xing memainkan kipasnya, berjalan beberapa langkah ke arah sumur tua yang baru saja beranak enam tubuh tak bernyawa. Zhou Zi Shu mengikutinya dengan berbalik badan, diikuti pula si pemuda yang masih gemetaran.

"A-Xu, aku akan memanggilmu begitu."

"Tidak sopan."

"A-Xu, dengar itu. Putramu menggerutu lagi padaku. Tidak sopan."

Tanpa sadar, Zhou Zi Shu menarik ujung bibirnya melihat tingkah sang putra dan pria itu. Kenapa pula ia merasa seperti akrab dengan orang asing tersebut? Ah, sebentar lagi gelap. Dan dia harus segera mengurus para mayat.

Zhou Zi Shu adalah ahli anggur, tetapi dia sama sekali tidak bisa memahami situasi dengan baik. Lambat. Namun, kali ini instingnya berkata lain. Ada sesuatu yang tidak beres dengan pria Wen yang tiba-tiba muncul tersebut.

"Dia putramu?" tanya Wen Ke Xing.

Lima gundukan tanah berjejer dengan nisan tanpa nama. Sementara mayat yang lain dikuburkan di makam keluarga. Zhou Zi Shu selesai memberikan doa penghormatan, setelahnya undur diri dengan Wen Ke Xing yang berjalan di sampingnya.

"Orangtuanya terbunuh ketika dia anak-anak. Zhen Yi adalah salah satu murid kesayangan yang sudah kuanggap putra sendiri."

Zho Zi Shu menjelaskan panjang lebar. Dia sendiri heran setelah mengatakannya, kepada orang asing yang bahkan sangat mencurigakan. Sementara Wen Ke Xing sendiri hanya berputar pada pikirannya. Meski demikian, rasa senang merambat dan membuatnya mengulas senyum tipis.

Malam semakin naik, pohon-pohon dan bunga-bunga seolah hidup. Desa Empat Musim tampak sunyi, api obor yang menari-nari di sepanjang pintu masuk seolah menyambut kedatangan tamu agung. Tamu yang seharusnya tidak pernah diharapkan kedatangannya. Tamu yang seolah-olah datang hanya saat matahari mulai terlelap.

"Eh, A-Xu. Masih terlalu pagi untuk pergi tidur. Kenapa sunyi sekali di sini?"

Wen Ke Xing tidak berpikir bahwa perintahnya untuk tidak keluar rumah digubris oleh warga desa.

"Menginaplah di vila kami. Jangan mengganggu mereka dengan rasa penasaranmu itu."

Wen Ke Xing terdiam dibuatnya. Bukan sebab kata mereka yang seolah-olah dimaksudkan untuk sesuatu yang bukan biasa. Melainkan tawaran menginap di vila Empat Musim. Rumah yang sangat ia rindukan, sekaligus ia hindari.

✔  a night at four seasons villa [TYK FANFICTION]Where stories live. Discover now