37 || Semakin Larut

35 13 2
                                    

Di sini, ego lah yang paling kalian pentingkan

Someone said

Ini sudah hari ke tiga setelah pertemuan dirinya dengan Ilham.

Aina tersenyum miris, mengingat tak ada perubahan sama sekali dalam hubungan mereka. Setiap hari Aina melakukan kegiatannya seperti sebelum hadirnya Ilham di hidupnya yang teramat simpel.

"Na, ayo ke lapangan!"

"Iya."

Semakin hari pula Aina semakin malas berbicara, semakin suka kesendirian, semakin ingin hidup sendirian.

Kalian suka kesunyian?

"Na, ayo balik kayak dulu," kata Dani.

Mereka sedang berada di taman setelah berolahraga. Waktu istirahat mereka gunakan untuk menikmati hijaunya taman ini akibat pepohonan yang rindang.

"Aina? Cerita yuk, itu bisa bikin kamu lebih tenang nanti." kali ini yang berbicara adalah Disya, perempuan itu juga berada di sana. Menemani sahabat dari pacarnya yang dia anggap sahabatnya juga.

"Berapa lama sih lo kenal gue, Na? Setiap ada masalah kita saling terbuka lho biar bisa cari solusi bareng-bareng. Gak kayak gini, gue juga bingung sendiri, Na!"

"Gue- cuma lagi gak mood aja."

"Gara-gara masalah lo sama Pak Ilham kan?!" geram Dani.

Sudah berhari-hari hidup sahabatnya kacau, karena gurunya itu.

"Dan, pelan-pelan. Cerita aja, Na, nanti kita cari solusinya sama-sama," ucap Disya.

"Lo inget waktu Pak Ilham tanya ke lo gue ada di mana kan, Dan?"

"Taman?" tanya Dani karena dia sedikit lupa.

Aina mengangguk sebagai jawaban. "Taman. Waktu itu gue dapet dua surat dihari yang berbeda, renggangnya lumayan jauh, dan selalu ada inisialnya D. Gue pikir cuma orang iseng, tapi di surat ke dua itu isinya minta gue ke taman ini kalo gue mau tau siapa dia."

"Siapa?" tanya Dani dan Disya bersamaan.

"Damian. Temen gue sewaktu TK, tapi cuma sebentar karena dia harus pindah rumah. Awalnya gue seneng banget, antusias banget ketemu dia. Tapi pernyataan dia buat gue bingung, dia bilang suka sama gue dari kecil. Aneh sih mikir gue, anak kecil tau apa sih soal cinta? Gak masuk akal banget."

Aina mengambil nafas, lalu menghembuskannya perlahan.

"Jelas gue tolak karena gue gak ada perasaan apa-apa sama dia, selain itu juga karena Pak Ilham. It's ok dia bisa terima, dengan syarat masih bisa temenan sama gue. Sebelum gue pergi, dia minta satu pelukan, sahabat katanya. Gue iyain toh juga buat lepas rindu." semakin lama suara Aina semakin pelan. Entahlah, rasanya dia ingin menumpahkan air matanya saat ini juga. Tapi dia tidak mau dianggap perempuan lemah jadi sebisa mungkin menahannya agar tidak keluar.

Dani dan Disya menyimak penjelasan Aina dengan tenang, ada guratan khawatir di wajah mereka ketika Aina menghentikan ceritanya.

"Gue rasa Pak Ilham lihat gue pelukan sama Damian, dia salah paham. Bukannya tanya ke gue, dia malah ngehindar. Gue udah berusaha buat jelasin, tapi dia selalu bilang sibuk lah, gak ada waktu lah. Akhirnya tiga hari yang lalu gue dateng ke tempat tinggalnya, seperti saran yang lo kasih." matanya mengarah ke Dani.

"Dia gak ngerespon apa-apa, gue ngomong pun dia gak jawab. Gue bingung sebenernya mau dia tuh apa?" suara Aina melirih.

Matanya berkaca-kaca mengingat kembali respon Ilham yang sangat menyayat hatinya.

"Dani mau kemana?" tanya Disya melihat Dani yang bangkit.

"Beli minum," sahutnya singkat.

Setelah membeli air minum, tak sengaja Dani berpapasan dengan Ilham. Mata laki-laki itu menyorot tajam ke gurunya.

Ada rasa kecewa kepada laki-laki itu, mengapa? Dirinya sudah mempercayakan Aina dengannya, berharap Aina akan bahagia, selalu tersenyum namun apa sekarang?

Sikap dewasanya seolah hilang.

Tak peduli bahwa Ilham lebih tua darinya, kekecewaannya sudah sangat besar.

"Bapak bakalan nyesel kalo Aina udah bener-bener gak peduli sama Bapak," bisik Dani tajam.

Setelah itu dia pergi, segera menemui Aina dan Disya.

🦂🦂🦂

"Dani, aku pulang sama sopir aja. Kamu sama Aina ya, pokoknya jangan tinggalin dia sendirian," pesan perempuan itu kepada Dani.

Tak masalah dia harus pulang dengan sopir, dia sama sekali tidak mempermasalahkan hal tersebut. Dia lebih khawatir dengan keadaan Aina saat ini.

"Sya, makasih banyak ya." perempuan itu mengangguk kemudian berpamitan pulang.

Dani menghampiri Aina, dia menghela nafas melihat Aina lagi-lagi tengah melamun.

Sejak dulu ia bersama perempuan itu, tak pernah sekalipun dia menyaksikan terpuruknya Aina. Memang benar, masalah hati dapat merusak segalanya.

"Yuk, Na. Gue anterin."

"Gak usah, Dan. Lo anterin Disya aja, gue bisa pulang sendiri kok," balasnya.

"Na? Mau sampai kapan? Lo gak mau kelihatan lemah kan? Tapi dengan lo kayak gini malah makin kelihatan. Ayo berubah, masih belum terlambat buat hapus dia dari hidup lo?" bujukan Dani menghasilkan senyuman tipis dibibir Aina.

Dani sedikit lega melihat senyuman itu, dia berharap sahabatnya kembali seperti dulu. Sebelum datangnya Ilham.

Di sisi lain.
Ilham tengah duduk sambil melamun, pikirannya kosong. Ucapan Dani seketika terngiang-ngiang di kepalanya.

"Bapak bakalan nyesel kalo Aina udah bener-bener gak peduli sama Bapak."

Dia tidak salah!
Dia berhak marah.

Ilham memijat pangkal hidungnya, kepalanya terasa berdenyut. Pekerjaannya tak kunjung selesai, belum lagi masalahnya dengan Aina.

Rasa bersalah terkadang muncul, wajah Aina yang selalu terlihat sedih membuat hatinya tersayat. Walaupun sudah seperti itu, entah mengapa ia masih enggan memulai percakapannya dengan perempuan itu.

Ilham pusing sendiri.

Rindu akan kebersamaan mereka seolah menghantuinya. Potongan memori kebersamaannya dengan Aina terus hadir tanpa bisa diusir.

To Be Continue!

AINA FAJ'RI ✓Where stories live. Discover now