(xiii) duren ; together

2.2K 448 75
                                    

Jennie menatap dirinya yang sudah berdandan rapi serta memakai gaun putih, rambutnya yang di sanggul indah, auranya benar-benar memancar. Hanya seorang diri, ini hari pernikahannya, namun tidak seorang-pun dari keluarganya menampakkan batang hidungnya. Ia mengerti jika orangtuanya sudah berpisah, namun bisakah menurunkan sedikit egonya demi hari bahagia putrinya?

Tak lama, pintu ruang rias di buka. Jennie menatap cermin, guna melihat siapa yang datang. Air matanya menggenang di pelupuk matanya, "Ayah.."

Yang ia panggil ayah itu tersenyum lalu mencium puncak kepala Jennie. "Cantiknya putri ayah.." pujinya.

Ayahnya tersenyum, "Jangan nangis, Jennie. Kamu udah di dandani, masa nangis? Jangan bikin MUA nya kerja dua kali," kata ayahnya.

Jennie tertawa kecil lalu mencium punggung tangan ayahnya. Sejak perceraian 3 tahun lalu dengan ibunya, ayahnya ini belum pernah lagi menampakan wajahnya, ini pertama kalinya sejak 3 tahun itu.

"Bunda!" Teriak Arin membuka pintu, Arin terdiam melihat pria paruh baya di dekat calon bundanya tersebut.

"Bunda, itu siapa?" Tanya Arin. Jennie tersenyum lalu menoleh, meminta Arin untuk mendekat. "Sini,"

Arin menghampiri, namun tatapannya masih pada pria paruh baya tersebut. "Bu—"

"Arin, ini ayahnya bunda." Jelas Jennie.

Wajah Arin nampak bingung. Jennie tertawa kecil lalu mencubit hidung Arin, "Ini ayahnya bunda, artinya kakeknya Arin."

Arin mengangguk-angguk, lalu tersenyum. "Halo kakek!"

Juliano, ayah Jennie tersenyum.

"Arin keluar dulu ya, biar bunda di antar sama kakek,"

Arin mengangguk, dia berlari keluar dari ruang rias. "Jennie, itu anak siapa?"

"Itu anaknya calon suami aku, yah.."

Juliano membelak, "Kamu nikah sama duda?"

Jennie mengangguk. Juliano menggeleng, "Emangnya stok cowok lajang gak ada? Atau siapa itu? Kevin ya? Iya dia, gak mau nikah sama kamu?"

"Ayah, cowok lajang itu banyak. Tapi yang baik itu sedikit. Calon suami aku itu terbaik, dia baik banget pokoknya. Mapan, lemah lembut, ya walaupun kadang kalo ngomong nyelekit, tapi dia itu setia. He can fight, dia mantan bad boy kayaknya yah."

Ayahnya menganga. "Serius? Mantap! Ayah dukung kalo gitu!"

Jennie tertawa. Dia sudah hapal, jika ayahnya ini sangat menginginkan menantu bad boy. Menurutnya, keren.

Jennie berdiri, "Ayo!"

Ayahnya merapikan setelannya lalu membiarkan lengan putrinya melingkar di lengannya. Mereka berjalan keluar dari ruang tata rias itu, berjalan pelan menatap altar yang di hias cantik. Jennie melihat sekeliling, ini adalah konsep pernikahan yang ia dambakan.

Saat Jennie berfokus pada ujung altar, matanya melakukan kontak mata dengan Mattheo. Cukup lama.

Sampai akhirnya Jennie berdiri di ujung altar bersamaan dengan Mattheo, keduanya menggenggam tangan masing-masing guna menghilangkan gugup. Ini memang bukan pernikahan pertama Mattheo, tapi tetap saja, mengucap janji nikah itu pasti gugup.

"Mempelai pria siap?"

"Siap."

"Mempelai wanita siap?"

"Siap."

"Adinda Jennie Kanya, aku mengambil engkau menjadi istriku, untuk saling memiliki dan menjaga dari sekarang sampai selama-lamanya, pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita, sesuai dengan hukum Allah yang kudus, dan inilah janji setiaku yang tulus." Ucap Mattheo lantang. Jennie menangis, dia berdiam beberapa saat.

"Anggara Mattheo Dharma, aku mengambil engkau menjadi suamiku, untuk saling memiliki dan menjaga dari sekarang sampai selama-lamanya, pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita, sesuai dengan hukum Allah yang kudus, dan inilah janji setiaku yang tulus." Ucap Jennie dengan air matanya yang bercucuran.

Semua tamu merasakan haru. Tidak ada yang menyangka, awal dari sebuah ketidaksengajaan kedua pihak saat bertemu, bisa membawa keduanya sampai ke jenjang ini. Jenjang pernikahan.

———

"Om—"

"Udah berapa kali saya bilang? Saya udah jadi suami kamu, gak pantas banget kamu manggil saya om." Sela Mattheo.

"Terus aku harus panggil apa?"

"Terserah kamu," sahutnya.

Jennie mendudukan dirinya yang masih memakai gaun di ranjang. "Terserah itu apa? Bapak? Sayang? Atau.. daddy?"

Tubuh Mattheo menegang seketika. Ia yang semula tengah membuka tuxedonya membalik badan, "Kamu jangan nakal dulu. Saya mau mandi dulu, nanti habis mandi baru boleh nakal."

Jennie memasang wajah jijik. "Ih, apa sih! Aku harus manggil apa?"

Mattheo melepaskan lapisan-lapisan tuxedonya, lalu berjalan santai mendorong Jennie sampai menindih Jennie, Jennie yang mendapatkan serangan tiba-tiba itu hanya diam tak berkutik. "Panggil aku mas aja,"

Setelah itu Mattheo kembali bangun dan masuk ke kamar mandi. Jennie masih diam, belum mencerna. Sampai akhirnya, ada kata-kata asing yang sebelumnya belum pernah di ucapkan Mattheo saat bersamanya.

"Panggil aku mas aja,"

"Aku.."

"Aku.."

Jennie membelak, lalu tersenyum. Saat Jennie berdiri, gaunnya langsung jatuh. Jennie membelak, kayaknya dia belum membukanya deh. Atau, Mattheo yang membukanya?

———

tbc..

note ;

udah ya, mereka mau malam pertama dulu.

duren - lty [au] ✔Where stories live. Discover now