25. Dengki dan Benci

16 4 8
                                    

Hidup itu selalu pasang surut. Tak melulu tentang rasa takut, ada saatnya kamu harus bisa menjadi pihak penuntut.
.
.
.
Tunjukkan pada dunia, bahwa kamu tak seperti apa kata mereka.








***

"Tha, mana formulir lo? Biar sekalian gue daftarin."

Atha tersenyum, lalu menyerahkan selembar kertas yang digenggamnya pada Rangga dan Sigit yang hendak menuju meja panitia pendaftaran. Kini tinggallah Atha dan Revan yang tinggal menunggu mereka berdua kembali.

"Tha," panggil Revan pada gadis yang duduk di sampingnya itu.

"Hm?" Atha pun menoleh dengan senyum manisnya.

"Gue ikut seneng lo bisa balik jadi Atha yang kayak biasanya lagi. Dan gue pun juga salut banget karena lo selain jadi vokalis di band kita, lo ikut bidang solois juga. Good luck lah pokoknya."

Senyuman gadis tersebut kian merekah. Revan ini memang tipikal pemuda yang humble, friendly dan receh juga. Dia bisa bergaul dan bahkan bisa akrab dengan siapa saja. Sifatnya yang suka bercanda itu membuat banyak orang nyaman berbincang dengannya, meskipun itu orang baru.

"Thank you so much Van! Gue nggak bakal bisa daftar solois kalau bukan karena kalian juga. Gue seneng bisa gabung di band kalian, beneran deh."

Revan tertawa, menurutnya Atha ini sosok seorang gadis yang baik untuk dijadikan kawan. Jika saat itu Atha tidak lolos menjadi vokalis, maka dia juga tak akan percaya diri tuk mendaftarkan diri pada bidang solois. Kini gadis itu tengah larut dalam ingatannya mengenai keputusan Ayahnya kemarin malam.

Flashback on

Atha mulai menceritakan segalanya apa yang dikatakan oleh Rena. Mengenani peringatan beserta ancamannya. Emosi Rey mulai menggebu-gebu, dia tidak terima putrinya diperlakukan seperti itu. Dia pun juga membenarkan bahwa sejak hari dimana dia pergi bersama putranya dan meninggalkan mereka berdua, wanita itu tak punya hak apa-apa atas hidup Atha.

"Atha nggak akan ikut audisi solois itu, Yah. Atha nggak mau Ayah kenapa-napa. Ayah segalanya buat Atha," ucap Atha sendu.

Rey tersenyum hangat, tatapan matanya pun juga ikut sendu. Tangannya terulur tuk membelai puncak kepala Atha. Dia tak akan biarkan wanita itu menghancurkan harapan Atha. Dia tak mau menjadi sosok Ayah yang egois dengan mengorbankan impian putrinya hanya demi keamanannya. Bahkan bila memang nyawa adalah teruhannya, dia tak apa yang penting Atha bisa menggapai cita-citanya.

"Hey, dengerin Ayah! Ayah bisa jaga diri, Sayang. Kamu jangan khawatir! Jangan mengorbankan impian kamu hanya karena Ayah! Ayah mau kamu bisa meraih segala apa yang kamu cita-citakan."

Tangis Atha makin menjadi. Ayahnya itu selalu saja seperti itu, tak pernah mau memedulikan keselamatannya sendiri. Atha sudah kehilangan sosok ibu, dan dia tak mau kehilangan sosok Ayah. Orang paling berpengaruh dalam dunianya.

"Yah, Atha nggak papa, kok. Yang penting dia nggak berbuat jahat sama Ayah. Atha nggak akan bisa maafin diri Atha sendiri kalau sampai Ayah kenapa-napa hanya karena Atha tetep bersikukuh buat daftar solois."

"Tha, sekarang Ayah tanya. Atha percaya sama Ayah?"

Atha jelas saja mengangguk mantap.

"Atha yakin dengan keputusan Ayah?"

Atha kembali mengangguk.

"Atha nggak mau kan turutin keinginan Ayah?"

The Best ScenarioWhere stories live. Discover now