Mahkota Wanita: Rumah sakit jiwa {seorang veteran

193 24 12
                                    

Sudirman-thamrin, seorang pria parubaya berusia delapan puluh satu tahun. Seorang veteran peperangan yang memiliki trauma dengan suara keras, ptsd. {Post-traumatic  stress disorder}.

Penyakit psikolog yang menyebabkan gangguan kecemasan yang berakibat fatal. Sudirman, pria yang sudah berada dirumah sakit jiwa lebih dari sepuluh tahun, dan telah berpindah sebanyak tiga kali.

"Saya bukan manusia baik. Saya membela negara dan mengabdi, tapi di satu sisi saya membunuh anak-anak yang tidak bersalah. Saya tidak bisa diampuni."

Perkataan tersebut, membuat para suster rumah sakit menjadi iba. Sudirman hidup sendiri, sanak keluarganya telah meninggal meninggalkan Sudirman yang memiliki trauma mendalam. Dan Sudirman hidup berdampingan dengan pasien lain dirumah sakit, hidup dengan berdampingan dan menggenggam erat.

-
-

"Alana cuaca diluar sedang sejuk, kamu yakin tidak mau keluar?" Tanya seorang suster yang membuka kain gorden dikamar Alana.

Alana, gadis tersebut meringkuk di kasurnya. Menatap malas kearah jendela, seperti biasa para pasien bercanda ria bersama pasien lainnya. Alana menghembuskan napasnya pelan.

"Kenapa semua orang bisa ketawa? Bukannya mereka memiliki masalah hidup? Bahkan para pasien rumah sakit juga bisa bercanda ria, padahal mereka di buang oleh keluarga." Tanya Alana yang masih menatap keluar jendela.

"Alana, semua orang pasti memiliki masalah hidup. Pasti, dunia kejam Alana. Jika kamu lemah, maka kamu tidak akan bisa menggapai keinginan kamu. Kamu akan terus terjatuh di jurang, sedangkan orang yang kamu benci, pasti akan terus naik keatas, melihat kamu sambil tertawa, melihat penderitaan kamu." Davina Zaila. Nama suster cantik tersebut. Davina menatap binar dengan senyuman khasnya.

"Apa suster menganggap saya sama dengan para pasien? Seorang penyakit psikologi yang dibuang oleh keluarga sendiri." Lirih Alana yang masih menatap luar jendela, mengamati para pasien lain yang sedang melakukan aktivitas masing-masing.

"Tidak. Bagaimana mungkin kamu disamakan dengan pasien lain? Mereka lebih baik, mereka mau berdiri dan berusaha. Sedangkan kamu hanya terus terjatuh." Suster tersebut mendekati Alana yang kini menatap sang suster.

"Jadi Alana, mari bangkit. Saya akan terus membantu kamu, sampai kamu bisa merasakan kebahagiaan dunia. "

Seperti sebuah uluran tangan yang mengajak Alana untuk pergi dari ruangan hitam, Alana tersenyum. Kini dia bergandengan dengan suster dan para pasien lain. Tertawa dan merasakan kebahagiaan yang tidak bisa ia dapatkan. Alana tersenyum bangga, dan sedikit demi sedikit rasa takut Alana berkurang.

Alana kini sering tersenyum, menampakan wajah bahagianya terhadap dunia. Rasa bahagia yang telah berangsur selama tiga tahun harus lenyap, lantaran keluarga Alana menjemput dirinya. Keluarga yang telah membuang dirinya, kini mengambil dirinya lagi untuk dijodohkan oleh partner perusahaan.

Selama tiga tahun lebih Alana berada dirumah sakit bersama orang-orang yang menerima dirinya apa adanya. Tapi sekarang, Alana harus kembali pada realita dunia yang kejam. Alana harus menguatkan mentalnya.

Alana Sriwijaya. Gadis tersebut menaiki mobil hitam bersama ayahnya, Bisma Sriwijaya. Alana duduk di kursi belakang, sedangkan Bisma duduk di kursi depan bersama supir. Alana melihat keluar jendela, menatap seisi kota yang dipenuhi gedung-gedung besar.

"Jaga sikap dengan Gunadarma, dia salah satu investasi terbesar di perusahaan kita." Bisma menatap Alana dari kaca depan mobil, memperhatikan gerak gerik Alana.

"Baik." Alana mengedarkan pandangan keluar jendela, Alana tahu. Bisma melihat setiap gerak gerik dirinya, dan mengamati Alana selama dirumah sakit jiwa.

Alana menghembuskan napasnya secara perlahan, menatap ayahnya yang masih melihat dirinya di kaca depan mobil.

"Terima kasih, ayah sudah menjemput Alana. Alana sangat bahagia." Alana tersenyum manis kearah ayahnya, sedangkan Bisma mengernyitkan dahinya menatap tajam kearah Alana. Bipolar, mungkin Alana bisa menggunakan penyakit ini untuk memakai topeng. Alana akan terus tersenyum seperti topeng, dan akan terus membuat keluarganya hancur.

Alana akan bangkit, Alana akan terus naik sampai orang yang membenci Alana menjadi iri kepadanya. Alana harus berjuang, dan akan terus berjuang.

Tapi, kenapa semua tidak berjalan sesuai keinginan Alana. Gunadarma Barata. Pria yang memiliki kulit kecoklatan dan seorang kopral. Seorang Abdi negara yang memiliki wajah tegas dan badan tegak. Seorang pria yang sedang menatap Alana dengan tajam tanpa berkedip.

Alana meminum minumannya, menatap canggung kepada pria besar di hadapannya.

"Makan berapa kali dalam sehari?" Tanya pria tersebut secara tiba-tiba membuat Alana tersedak minumannya.

Alana menatap gugup pria yang ada di hadapannya, "kenapa?" Tanya Alana kemudian.

Pria tersebut mendekat kearah Alana, menatap setiap inci tubuh Alana. "Saya akan terima perjodohan ini, karena ini sangat penting bagi saya." Gunadarma menggenggam erat tangan Alana, pergi menjauh dari kerumunan orang-orang.

Dan seperti sebuah dongeng. Alana Sriwijaya jatuh cinta terhadap Gunadarma Barata. Pria dingin, yang akan membuat kecewa Alana. Pria yang sering pergi untuk mengabdi dan menjalankan tugas negara. Alana tersenyum kepada Gunadarma dan mengirimkan sepucuk surat.

Hai Gunadarma Barata.

Selamat atas kenaikan pangkat. Atau sekarang aku bisa panggil kamu dengan kapten.

Hai kapten.

Aku tidak tahu apakah aku merindukan kamu atau tidak. Yang pasti saat siang hari aku selalu berjalan-jalan mengitari kota Jakarta. Tapi, saat malam hari aku selalu terpikirkan kamu, kapten.

Kapten, aku akan menunggu dan terus menunggu. Semoga kamu sehat dan kembali dengan membawa kabar bahagia.

Selamat, kapten.

Gunadarma Barata.

Mahkota WanitaWhere stories live. Discover now