Untuk pembaca yang masih setia. Aku ucapkan banyak banyak terimakasih.
Sedikit sedikit, mungkin tulisan ini akan jadi banyak. Aku lama banget nggak nulis yang uwu uwu.
Tapi aku mau coba lagi.
Aku mau bisa nulis lagi.
Jadi, makasih buat kalian yang sudah baca.
Heeaven resmi jadi ayah. Walaupun tidak kembar, dia sangat senang. Lagian kalau kembar, motivasi membuat lagi takut tidak lagi ada.
..
"Namanya siapa?" Mutia tak henti hentinya menatap buat hatinya yang tengah tertidur dibox bayi. Matanya berkaca kaca menatap bayi mungil dengan mata yang berbinar.
"Sesuai yang udah gue tulis dulu, kalo cowok dia bakal gue kasih nama itu." Cowok berkemeja hitam itu pun merasa puas dengan hasilnya. Dia mengelus lembut rambut sang anak.
"Siapa? Kok dipanggil El," penasaran Mutia mulai menggengebu. Dia ingin sekali menggendong tetapi dilarang oleh Heaven. Bukan tidak boleh, melainkan Istrinya belum sepenuhnya pulih. Setengah pasrah Mutia pun hanya mengelus elus pipinya sang anak.
"Mau cium." Rengek istrinya gemas dengan pipi gembul babynya.
"Cium gue dulu, baru boleh cium baby." balas Heaven yang langsung mengangkat sang anak.
"Ih, kak Heaven!!!" Kesalnya sangat ingin mengendong namun tidak bisa.
"Anak gue cakep banget, yang. Udah jelas ini pasti mirip gue."
"Curang banget, siapa yang bawa bawa dia selama 9 bulan. Kok kamu yang ngaku ngaku," perempuan itu membenarkan selimutnya, berusaha duduk dengan nyaman seraya menatap Heaven yang tengah hati hati menimang sang anak.
"Ya gimana, gue yang bikin, Lo diem sambil desah doang, nggak pernah nyoba goyang."
"Kak ih! Ada anak kita ngomongnya kayak gitu," peringat sang istri sambil ingin mengeplak tetapi tidak kena.
"Lah emang iya," balas cowok itu seraya terkekeh.
"Ethereal El-fateeh Higher." Tiba tiba Heaven mengatakan nama lengkap anaknya.
Sang istrinya melunak, dia tersenyum haru sebelum akhirnya bersuara lagi "Bagus sekali nama kamu sayang,"
"Harus bagus, harus gagah, harus ganteng. Anak Heaven nggak boleh ada kurangnya." Cowok itu pun lihat menepuk nepuk pantat sang anak yang terbalut oleh celana.
"Iya nggak boleh ada kurangnya, apalagi kalo kelakuannya mirip kamu. Pokoknya jangan sampe," wanti wanti Mutia, bahaya kalau mirip. Betul betul bahaya. Kerutan diwajah belum tua nanti cepat muncul kalau punya anak kelakuannya kembar dengan Heaven. Bikin naik darah.
"Gue kenapa? Alim gini tuh." Heaven lagi lagi mengelak, pokoknya dia tidak mau dianggap bandel.
"Alim?" Mutia menggeleng pelan. "Amin, semoga alim beneran."
Heaven puas dengan jawaban sang istri. Cowok ganteng itu pun kini menimang nimang sang anak dengan penuh sayang. Akhirnya, tidak terasa dunia begitu cepat sekarang sudah jadi bapak saja.
"Panggil El, aja yang." Celetuk Heaven tiba tiba.
Mutia pun menurut, dia mengangguk seraya memperhatikan keduanya.
"Baby El kok tenang banget di gendong sama kamu? Kamu itu belajar gendong dari siapa. Bukanya nggak bisa gendong baby?"
Teringat beberapa waktu lalu saat berkunjung ditempat saudara, boro boro gendong baby, di dekati bayi saja sepertinya langsung menghindar.
"Nggak tau, naluri jadi bapak mungkin." Dia mengedikan bahunya pelan, kemudian dia melangkah menuju jendela kaca ruangan itu.
Matanya menyipit melihat mobil Porsche yang baru saja memarkir di halaman RS. Seperti kenal dengan mobilnya.
"Lah, itu mobilnya Alzelvin yang, lah kan kesini dia. Hadeh berabe, takut anak gue di kasih energi negative nih sama dia."
"Kamu nggak boleh kayak gitu, ih, dia kan mau datang berkunjung, nggak boleh kamu kayak gitu."
...dikit dikit banget...
Vote..
Komen..
YOU ARE READING
HEAVEN II
General FictionHEAVEN HIGHER FAVIAN Nama surga, kelakuan ahli neraka. Bagaimana dengan Heaven yang suka sama cewek semenjak masih TK. Lo dan rumah itu sama, gue beneran ga bisa bedain. Tau kenapa ngga bisa bedain? Ya. Lo itu dan rumah adalah definisi tempat pulang...