13. Pertemuan

25 8 4
                                    

Fiza menghela napas lalu menatap seniornya yang tengah bercerita melihat Zeta saat makan siang.

"Lo seriusan, Mbak?" tanyanya untuk meyakinkan.

Mbak Mila menganggu cepat. "Masa gue bohong, Za?"

Fiza mengangguk-angguk, lalu mengambil ponselnya. "Makasih banyak infonya, Mbak."

"Yoi," katanya. Mbak Mila hendak pergi ke kubikelnya, tetapi dia dengan cepat menoleh kembali pada Fiza. "Tapi itu beneran adik lo, Za? Kayaknya high class banget, ya?"

Fiza yang hendak menelepon menatap Mbak Mila sambil mengerutkan kening. "Iya, itu kembaran gue. Tapi, high class gimana, Mbak?" Setahunya, Zeta bukan orang yang masuk golongan atas.

"Lo ternyata kembar, Za?" Suara Mbak Mila yang keras membuat senior lainnya menatap mereka.

Mbak Mila tersenyum malu ketika suaranya membuat fokus teman-teman sejawatnya pecah. Dia lalu menatap teman-temannya sambil minta maaf.

Akan tetapi, rekan-rekannya itu tak menggubrisnya. Mereka malah tertarik pada Fiza yang ternyata punya kembaran. Mbak Mila yang sempat malu kini tak lagi merasa seperti itu. Karena dia juga langsung ikut-ikutan memfokuskan diri pada Fiza.

"Beneran lo kembar, Za?" tanya Mas Faris.

Lelaki yang ditanya itu mengangkat kedua alisnya lalu mengangguk. "Hooh, gue kembar. Kembar tiga malah," jelasnya yang malah ditatap tak percaya.

"Kok lo enggak pernah bilang, sih, Za?"

"Ya kan, enggak pernah ada yang tanya," balasnya pada Mas Gavin yang barusan bertanya. "Lagian kan, gue di sini juga buat kerja, bukan buat pamerin keluarga."

Orang-orang yang mendengar itu mengangguk. Yang Fiza katakan benar, tetapi kadang para seniornya suka membahas keluarga mereka, dan hanya Fiza yang tak pernah bercerita tentang keluarganya sebelum ditanya.

"Kalau yang tadi kita lihat itu kembaran lo, berarti ada satu lagi dong kembaran lo kalau kembar tiga?" tanya Mbak Tika yang tampak tengah berpikir.

Fiza mengangguk cepat. "Iya, ada."

"Cewek apa cowok, Za?" tanya Mbak Mila.

"Cowok," jawab lelaki itu sambil menerawang. Dia teringat mendiang adiknya, dan itu kembali membangkitkan rasa bersalah dalam dirinya.

"Dia kerja di mana, Za? Enggak di sini kan?" tanya Mas Faris.

"Dia enggak kerja. Dia udah enggak ada soalnya." Suasana menjadi hening. Terdengar perkataan maaf dari Mas Faris yang membuat Fiza terdiam.

"Enggak apa-apa kok, Mas." Di balik suaranya yang terdengar tegar, jiwa lelaki itu sebenarnya tengah rapuh.

"Dia meninggalnya udah lama, Za?" Suara kepo khas emak-emak terdengar dari Mbak Mila.

Fiza berusaha tersenyum. "Udah lumayan lama. Waktu itu dia meninggal pas gue lagi kuliah di LN."

"Kembaran lo yang meninggal itu, kakak lo atau adik lo, Za?" Mbak Mila kembali bertanya.

"Adik gue. Dia adik pertama gue. Kalo kembaran gue yang lo lihat tadi itu adik bungsu gue," terang Fiza sambil berharap Mbak Mila berhenti bertanya.

"Adik lo itu meninggalnya karena apa, Za?"

"Astaga, Mil, kerjaan lo numpuk tuh." Mas Faris mencoba menghentikan rasa ingin tahu temannya itu.

"Ya, karena udah waktunya saja Mbak," jawab Fiza sekenanya. Dia tak mungkin berkata bahwa adiknya dibunuh oleh orang yang pernah mereka bicarakan.

"Tuh denger, Mil, si Fiza saja udah males jawab pertanyaan lo. Cepat kerjain tuh kerjaan. Nanti lo didamprat si bos kalau ketahuan ngegosip," ujar Mas Gavin yang ikut-ikutan menyuruh Mbak Mila berhenti bergosip.

"Gue itu mau peduli ke si Fiza tahu," elak Mbak Mila pada kedua rekannya.

"Si Mila mau sok care tuh, Za. Tapi gue curiga deh, kayaknya dia kayak gitu buat makan temen." Mas Gavin terbahak setelah mengucapkan itu.

"Suuzan saja lo. Gue itu murni mau care tahu!" Mbak Mila kukuh dengan ucapannya.

"Iya, iya. Mau care atau apapun itu, mending lo balik kerja."

Dengan enggan, setelah mendengar perkataan Mas Faris, Mbak Mila berbalik badan. Sebelum itu ia sempat mengucapkan maaf karena terlalu ingin tahu tentang kehidupan Fiza dan ia berjanji akan lebih peduli pada rekan paling bontotnya itu.

"Thanks udah mau care, Mbak." Fiza tersenyum ke arah Mbak Mila sebelum seniornya berbalik.

Berada di lingkungan rekan kerjanya yang tidak toxic, membuat Fiza bersyukur. Karena mereka sudah ia anggap sebagai saudara sendiri. Perhatian-perhatian kecil mereka membekas di hati Fiza yang selama ini hanya tinggal berdua dengan Zeta.

Fiza baru tersadar kalau dirinya belum bertanya perihal Zeta lebih lanjut. Ia mengurungkan niat bertanya itu pada seniornya. Fiza memilih mengirim pesan pada Gia untuk bertanya, sekaligus meminta pertolongan.

Saat jam kantor usai, yaitu pukul 17.00, Fiza langsung membereskan peralatan kantornya. Dia melirik ponsel karena dirinya dari tadi berbalas pesan dengan Gia.

"Lo mau ke mana, Za" Mbak Mila bertanya keheranan.

"Gue mau pulang," balasnya.

"Lo sakit? Tumben pulang cepet, Za," sahut Mbak Tika.

Fiza menggeleng cepat. "Enggak. Gue ada urusan, makanya pulang cepat."

"Janjian sama cewek ya, Za?" Mas Gavin tersenyum jahil.

"Enggak, Mas!" kekeuh Fiza gemas.

Mas Gavin tergelak untuk menanggapi. Kemudian dia langsung pamit pulang.

***

Fiza menghentikan mobilnya di sebuah restoran. Dia langsung masuk ke restoran itu sambil mengedarkan pandangan.

Sesuai info dari Gia, Raiga pergi ke restoran ini hampir setiap sore. Untungnya, Raiga selalu pergi ke sini seorang diri.

Fiza melangkah semakin dekat ke arah Raiga yang fokus pada ponsel. Dia menarik kursi sampai menghasilkan suara. Hal itu membuat Raiga langsung mendongak.

Fiza menyeringai saat Raiga kentara terkejut. "Hai. Gue Arfiza, kakaknya orang yang lo bunuh enam tahun yang lalu."

Altamura ✔Onde histórias criam vida. Descubra agora