22. Sambaran Petir

36 8 11
                                    

Suara seniornya yang telah tiba di kantor membuat Fiza mendongak dari ponselnya. Dia melihat Mas Gavin dan Mbak Mila yang tengah berbincang. Mereka tengah membicarakan perempuan bernama Selena. Samar-samar, Fiza mengingat perempuan itu, sepupu istrinya Mas Gavin.

"Za," panggil Mas Gavin saat menyadari kehadiran lelaki itu.

Fiza dengan cepat memasukkan ponselnya ke saku lalu menatap Mas Gavin. "Apaan?"

"Za, lo mau ketemu Selena, enggak?" Mas Gavin menampakkan deretan giginya pada Fiza.

"Buat apa?" Sungguh, Fiza tak tahu maksud Mas Gavin. Dia enggak membahas cewek untuk saat ini. Lebih tepatnya, dia tak ingin terikat dengan sebuah hubungan jika tujuannya belum terlaksanakan, karena sebuah hubungan seringkali menjadi pengacau aksi balas dendam.

"Buat pedekate lah! Dia mumpung lagi di Jakarta sebelum pergi ke Amrik," jelas Mas Gavin dengan senyumannya.

"Aduh Mas, sori deh. Gue lagi enggak ada niatan pedekate." Fiza masih bersikukuh dengan keinginannya.

Mas Gavin mendesah pelan. "Ah, lo enggak asyik!"

Fiza beralih tak menanggapi perkataan Mas Gavin. Dia memilih menyalakan komputer dan mengecek kembali pekerjaannya.

Samar-samar, suara dua seniornya yang tengah mengobrol terdengar.

"Dia lulusan UNPAD, jurusan Hukum," jelas Mas Gavin pada Mbak Mila yang super kepo.

"Seumuran Fiza enggak?"

Fiza tak menatap ke arah Mbak Mila yang tiba-tiba menyeret namanya. Dia justru menatap lulur ke arah dua seniornya yang baru datang.

"Morning," sapa Mas Faris yang menyodorkan sebuah Starbucks.

"Pagi, Mas. Thanks," jawab Fiza sambil meraih Starbucks. Dia melihat seniornya itu membagikan Starbucks pada rekannya yang lain.

Mas Faris membagikan Starbucks pagi-pagi seperti ini bukan hal aneh, tetapi tetap saja Mbak Mila bertanya ada apa sampai membuat Mas Faris mendadak manis di tengah pagi yang dingin.

"Enggak ada apa-apa," balasnya singkat. "Kalian lagi ngomongin apa? Kok kayaknya seru."

"Itu, ngomongin sepupu istrinya si Gavin. Si Selena, yang dijodohin sama Fiza."

Fiza mengernyit mendengar itu. "Eh, suka ngada-ngada saja! Enggak, ya!"

Mas Faris tertawa kecil mendengar respons Fiza yang mengelak tanpa ragu. Entah mengapa empat seniornya itu malah membahas Selena. Karena tak tertarik dengan obrolan, Fiza memilih menarik Starbucks dan menyesapnya pelan. Lalu kembali bekerja.

"Cewek kalau sudah cinta banget sama cowok, bisa kabur dari rumah kalau enggak direstuin."

Topik obrolan para seniornya masih membahas cewek. Kali ini mereka membahas hubungan yang tidak direstui. Fiza hanya ikut menyimak tanpa sedikit pun mengeluarkan komentar.

"Saudara gue ada yang kayak gitu!" Mbak Tika memekik tertahan.

Fiza melirik seniornya yang satu itu sekilas. Mbak Tika terlihat bersemangat saat membahas hubungan yang tak direstui. Sampai-sampai membuat Fiza curiga kalau dulu Mbak Tika juga pernah mengalami kisah seperti itu.

"Lo pernah ngalamin, ya, Mbak?" Fiza bersuara dengan mata yang fokus pada layar di depannya. Entah kenapa, tiba-tiba dia menceletuk dan masuk obrolan.

Mungkin pikirannya yang tiba-tiba memikirkan Zeta membuatnya berkata spontan. Dia sangat takut, jika adiknya dengan Raiga benar-benar memiliki hubungan yang lebih dari sekedar karyawan dan atasan.

"Emang, Za. Gue pernah ngalamin," katanya.

Fiza mengangguk-angguk. Dugaannya ternyata benar. "Terus gimana Mbak?"

"Pokoknya harus ada perjuangan sebelum mereka kasih izin sih." Mbak Tika berkata sepertinya sambil membayangkan kejadian masa lalu.

"Perjuangan, ya?" Fiza mengangguk-angguk. Lalu dia tak kembali merespons. Dia terlalu sibuk dengan isi pikirannya sendiri.

Hari ini, di hari Senin, Fiza pulang dengan cepat. Dia tak perlu lembur karena proyek yang dikerjakan hampir selesai.

Dia merebahkan sebentar badannya di sofa lalu bangkit. Ia mengambil laptopnya dan berjalan ke ruang tamu saat tersadar adiknya belum pulang. Tak lupa beberapa camilan berada di meja dengan secangkir teh.

Entah kenapa, hari ini dia ingin menunggu Zeta pulang. Rasanya dia ingin sekali melihat adiknya yang jarang dia temui saat hari-hari kerja.

Laptop yang tadi tengah mengecek kembali pekerjaan kini beralih. Dia tengah mencari tahu tentang Raiga. Siapa tahu, dia bisa bersekutu dengan musuh Raiga agar membuat musuhnya itu jera.

Suara mobil berhenti terdengar, di saat itu pula terdengar ponselnya yang menerima panggilan dari Gia.

"Gawat, Za." Suara Gia langsung menyapa indra pendengarannya.

Fiza mengernyit karena tak paham maksud perkataannya barusan. Ketika dia hendak menjawab, pintu diputar dari luar. Zeta langsung masuk sambil menarik tangan seseorang.

Lelaki itu mengabaikan Gia yang terus berkata kalau ada situasi darurat. Dia lebih memilih menikmati keterkejutannya saat Zeta menarik tangan Raiga masuk.

"Za, ada yang perlu gue omongin." Suara Zeta berhasil menghalau keterkejutan lelaki itu.

Dia menatap adiknya tajam sambil sesekali melirik tangan kedua orang di hadapannya yang bertaut. Lelaki itu butuh penjelasan segera atas apa yang dilakukan Zeta.

"Lo mau ngomong apa?" Fiza bersandar pada kursi sambil bersedekap. Tatapan Fiza menjadi lebih tajam saat dirinya menatap Raiga yang menunduk. Entah ada apa, tetapi kedatangan musuhnya kali ini tak seperti orang yang hendak mengajak berperang.

Zeta bergumam, dia menyikut Raiga pelan sampai cowok di sampingnya Zeta itu  menatapnya dengan tatapan tak terdefinisi. Fiza hanya bisa menangkap sedikit ketakutan di wajah Raiga.

Suara Zeta kemudian terdengar membuat pengakuan. Perkataannya itu membuat Fiza membeku karena terkejut sekaligus tak percaya. Dia seakan tersambar petir. Untuk merespons saja rasanya sulit. Kata-katanya seakan tercekat di tenggorokan.

"Za, gue mau nikah sama Raiga!"

 

Altamura ✔Onde histórias criam vida. Descubra agora