21. Backstreet

34 8 8
                                    

Tangan Fiza yang bertemu dengan keyboard menghasilkan suara yang keras. Lelaki itu menyalurkan emosi sambil merevisi pekerjaannya. Adik lelaki itu masih belum pulang. Hal itu membuatnya khawatir setengah mati.

Karena terlalu kesal dengan adiknya, Fiza jadi melupakan Gia yang mungkin saja tahu keberadaan Zeta. Lelaki itu langsung meraih ponsel dan menghubungi Gia.

"Gue sudah pulang, Za. Adik lo tadi enggak langsung pulang. Masih ada kerjaan kalo enggak salah."

Suara pintu yang dibuka mengalihkan perhatian Fiza. Dia lalu menutup panggilannya dengan Gia saat melihat Zeta.

"Dari mana saja lo?" tanya Fiza sambil meletakkan laptop di meja.

Zeta mendelik. "Gue yang harusnya tanya, lo ke mana saja? Gue kira sudah pindah rumah."

Fiza mengepal kuat. Dia menunduk sambil mengatur napas lalu bangkit dengan ponsel di tangannya.

"Lo beli barang-barang mahal uang dari mana, Ta?" Fiza menghadang langkah adiknya yang hendak menuju kamar.

"Itu urusan lo, ya? Atau tiba-tiba ada notifikasi ke HP lo gara-gara gue pake kartu ATM lo?" Zeta terdiam sejenak. "Enggak kan?"

Suasana di rumah terasa panas. Entah kenapa, Fiza merasa gerah dan ingin keluar untuk mencari udara segar meski saat ini hampir tengah malam.

"Bukan kayak gitu, Ta!" geram Fiza. "Lo belanja ditemenin Raiga, kan?"

Zeta langsung menyilangkan kedua tangannya. Matanya menatap Fiza dengan tajam. "Iya, kenapa?"

"Lo ada hubungan apa sih sama Raiga?" Genggaman tangan Fiza semakin kuat pada ponsel.

"Dia cuma atasan gue!"

"Yakin?" Fiza menatap adiknya tak percaya. "Coba jelasin buat apa lo belanja barang-barang mahal ditemenin Raiga?"

"Raiga cuma beliin barang-barang branded karena dia suruh gue buat temenin dia ketemu sama koleganya, enggak lebih!" kata Zeta dengan mantap. Matanya menyorotkan kejujuran yang seketika membuat Fiza bernapas lega.

"Barang-barang?" Fiza mengulang perkataan Zeta. "Baik banget, ya, bos lo."

Zeta tak menanggapi perkataan Fiza. Dia langsung melangkah cepat menuju kamarnya. "Jangan urusin hidup gue, Za! Urus saja hidup lo sendiri!"

Sungguh, mendengarnya membuat Fiza ingin melempar ponselnya ke lantai. Adiknya sungguh kurang ajar, untung saja dia masih punya sedikit kesabaran.

Lelaki itu kemudian mengambil laptopnya lalu pergi ke kamar. Dia harus segera tidur karena matanya telah diserang kantuk.

Pagi harinya, Fiza langsung bersiap-siap untuk pergi ketika jarum jam menunjukkan pukul sepuluh. Bukannya olahraga di akhir pekan sesuai saran seniornya, dia malah hendak menemui Gia.

"Ta!" panggil Fiza sambil memasangkan jam tangan di lengan kirinya.

Suara Fiza menggema di ruang tamu, tetapi tak ada sahutan. Dia berjalan ke luar untuk mengecek adiknya, tetapi tak ada. Dia kembali berjalan ke ruang tamu dan memutar kenop pintu kamar Zeta. Kamarnya tidak di kunci, dan adiknya tidak ada.

Fiza merasa heran, karena biasanya pagi-pagi Zeta selalu ada di rumah jika akhir pekan. Dia rajin menyiram bunga dan kali ini adiknya seolah hilang. Lelaki itu berusaha keras menepis pikiran negatifnya. Berusaha beranggapan kalau Zeta tengah pergi hangout bersama teman-temannya.

Setelah mengunci pintu, Fiza langsung pergi. Dia juga perlu hangout meski hanya bersama Gia seorang. Dalam hidupnya, Fiza tak memiliki banyak teman. Dia beranggapan jika terlalu banyak teman akan sering hangout, tidak produktif, sampai-sampai lupa apa tujuan hidupnya. Apalagi jika teman-temannya tidak mendukung apa tujuannya. Fiza memilih memiliki seorang teman yang selalu mendukungnya seperti Gia.

Sesampainya di tempat tujuan Fiza langsung bergegas turun. Dia berderap cepat karena ternyata Gia telah menunggunya.

Tak butuh waktu lama untuk Fiza menemukan temannya itu. Dia langsung mendekat dan membahas beberapa hal dengan Gia.

***

Zeta menatap sekelilingnya karena mendadak firasatnya tidak enak. Dia tengah berada di Pasific Place dengan seorang lelaki yang sangat dibenci kakaknya.

Dugaan perempuan itu tak salah. Dia menatap takut-takut pada dua orang lelaki yang tengah berbincang dengan serius. Kakaknya dan Gia. Zeta tak memberi tahu kakaknya kalau dia akan bertemu dengan Raiga hari ini. Dia juga tak mengira sama sekali kalau Fiza akan berada di tempat yang sama.

Dia mengalihkan pandangan pada Raiga lalu tersenyum kecil. Yang Zeta lakukan adalah bersikap senormal mungkin dengan harapan besar agar Fiza tak menatap ke arahnya. Jika sampai Fiza mengetahui dirinya bersama Raiga, akan terjadi adu mulut yang sangat hebat. Karena Zeta yakin, Fiza selalu curiga akan hubungan dirinya dengan Raiga.

Zeta juga yakin jika Fiza mengetahui keberadaannya di sini dengan tangannya yang digenggam Raiga, maka kesabaran kakaknya itu akan habis. Fiza pasti tak akan percaya lagi ucapannya dan dia pasti harus berkata yang sejujurnya walau itu sangat terpaksa.

"Kamu kenapa, Ta?" Raiga mengamati sekeliling karena pacarnya itu menunduk.

"Hah?" Zeta terperanjat lalu menatap mata Raiga. Dia tak mengeluarkan suara untuk beberapa saat. 

"Kenapa, hm?" Raiga mengusap-usap pelan tangan Zeta yang tiba-tiba terasa dingin.

"Ada Fiza," katanya pelan.

"Apa?" Suara Raiga mendadak meninggi. Zeta tahu, Raiga dan kakaknya punya hubungan yang buruk. Namun, dia tak ingin dua orang itu bertemu di sini ketika dirinya tengah bersama Raiga.

"Jangan keras-keras, Ga! Nanti Fiza bisa dengar."

Raiga menurut lalu mengedarkan pandangan ingin mencari tahu keberadaan Fiza yang barusan disebutkan Zeta, tetapi perempuan itu langsung menghentikannya. Zeta menggeleng kuat-kuat dengan tatapan penuh harap.

"Kamu enggak apa-apa kan kalau kita kayak gini?" tanya Zeta dengan suara yang pelan.

Raiga mengangguk tanpa ragu. "Tapi, Ta, sampai kapan kita bakalan backstreet terus?"

Zeta menelan saliva lalu menggeleng pelan. "Aku enggak tahu. Tapi kita pasti bakalan kasih tahu Fiza yang sebenarnya. Bagiamana pun juga, dia adalah kakak aku." 

Altamura ✔Where stories live. Discover now