Extra Chapter

27.7K 3.5K 1.1K
                                    

Perkataanku selalu benar, rumah ini kembali ramai. Namun bukan karena tawanya yang riang, tangisannya yang rewel karena menonton drama korea, dan rengekannya karena lapar.

Tapi karena orang-orang menghadiri pemakamannya.

Disini, di tempat kami tumbuh.

Aku ingin seperti Atsumu yang selalu tersenyum walau kesakitan. Jadi aku tersenyum pada setiap orang yang datang kepadaku berbela sungkawa.

They said they're sorry. For what? It's not like they're responsible for his death nor anything could've changed.

Aku perhatikan satu persatu orang yang datang, mereka bersedih.

Untuk apa? Mereka menangisi apa?

Mereka tidak tau Atsumu orang seperti apa. Teman-teman dari masa sekolah menengah atasku datang, beberapa dari mereka tak bisa berhenti menangis.

Termasuk Kita Shinsuke, mantan kakak kembarku.

Mungkin ia juga seseorang yang mengetahui Atsumu seperti aku dan Rin. Lelaki itu terlihat sangat terpukul, dan seingatku dia belum berbicara sepatah katapun padaku.

Suna Rintarou, menolak berinteraksi dengan siapapun. Hanya diam duduk di dalam kamar Atsumu, menyesap rokok elektriknya.

"Osamu, kakakmu orang terbaik yang pernah saya kenal. Saya turut berduka cita, ini pasti menjadi sebuah hari yang menyakitkan buat kamu." Aku menoleh, Kita-san dengan muka sembabnya tersenyum padaku.

Oh, Atsumu juga mengajarkannya tersenyum walau menyakitkan. Senyumannya menyayat hatiku, seolah mengatakan padaku untuk mengikhlaskan Atsumu.

Aku hanya mengucapkan terima kasih, tersenyum, dan mengangguk.

Saat hari sudah lebih sore, semuanya pulang. Rumah kecil ini sepi lagi, atmosfirnya menusukku.

Ku tatap bingkai foto Atsumu yang berukuran cukup besar, senyumku perlahan pudar, digantikan oleh sesak.

Rintarou keluar, aroma kopi dari asap rokok elektriknya menghiasi tubuhnya. Ia menatapku sebentar, kulihat wajahnya yang sedih dan sembab.

Seorang Suna Rintarou menangisi Atsumu seharian. Menyedihkan sekali. Sesaat kemudian ia membuka tangannya, aku berjalan dan memeluknya.

Aku dapat merasakan kesedihan Rintarou, kami menangis dalam peluk.

"Rin.. i miss him." Aku menyandarkan kepalaku di pundaknya. Ia mengeratkan pelukannya. Hari ini kami berdua kehilangan sahabat, keluarga, dan orang paling berarti dalam hidup kami.

Rintarou tengah berjalan menuju ruangan Atsumu ketika ia mendapatiku duduk sendirian di kursi panjang lorong rumah sakit. Ia menanyakan mengapa aku tidak menemani Atsumu. Ku jawab pertanyaannya dengan tatapan nanar dan membuka kancing kemejaku.

Rintarou menjatuhkan barang bawannya kala ia melihat nyala family bar di tubuhku tersisa satu. Wajah ketidakpercayaan menghiasi paginya. Ia berlari menuju ruangan Atsumu dan mendapati dokter dan perawat sedang mengurusnya. Anak itu sempat mendobrak masuk dan memegang tubuh Atsumu yang sudah kaku dan dingin. Tangisan dan teriakan Rin memanggil nama Atsumu menggema di penjuru lorong lantai lima rumah sakit.

Aku yakin bahkan sampai detik ini sahabatku belum bisa menerima semuanya. Isakan Rin semakin kencang, tubuhnya bergetar dan ia meremas bajuku.

Aku bersyukur ternyata masih ada Rin disini, setidaknya aku tidak sendirian.

"Atsumu.. selalu nangis kalo sama gue." Rin melepas pelukannya dan beralih memandang figura wajah Atsumu.

"Dia nitipin ini pas sama gue. Dia tau kapan dia bakal pergi, Sam." mendengar itu, aku makin sesak. Aku menerima kotak dari Rintarou dan membukanya dengan rasa takut.

Sebuah baju dengan logo onigiri yang sama dengan topi yang pernah ia belikan untukku, selembar polaroid dan seperti hal klise lainnya, sebuah surat. Aku tak peduli siap atau tidak hatiku membacanya, aku tetap membukanya.

Maaf tulisannya jelek.

Osamu, itu baju kaos punya gue. Waktu itu gue beli barengan sama topi lo biar kita bisa make samaan haha. Gue nungguin lo make topinya, tapi gak pernah lo pake. Baju ini belum pernah gue pake, jadi lo bisa ambil, semoga suka.

Sam, gue gak bisa bertahan. Gue udah terlalu banyak nyusahin lo dan Rin. Beberapa hari ini kayaknya obat-obatan gue gak kerja di tubuh gue karena kepala gue makin sakit, punggung makin nyeri, tapi gue bersikap seolah semua baik-baik aja hehe.

Terima kasih, Osamu. Padahal gue pernah bilang gak usah lo ngabisin waktu buat ngurusin gue. Makasih udah jadi kuat buat gue, makasih untuk semua makanan yang lo bawa ke rumah sakit.

Osamu, maaf ya karena gue ipk lo turun mulu. Maaf gue gak bisa nemenin lo kemana-mana lagi, maaf gue gak bisa makan masakan lo lagi pas lo lagi bahagia, maaf gue gak bisa nemenin lo di mobil lagi. Saran gue sih nyalain radio aja biar gak sepi.

Beberapa hari ini, gue mimpi dimarahin papa karena gak bisa jagain lo dan malah lo yang jagain gue.

Gue depresi banget asli. Gue tau gue gak bisa jaga dan bahagiain lo sebagai kakak. Gue cuma bisa terbaring dan ngeliat orang-orang mengkasihani gue.

Rin sering nangis jelek tiap liat gue nangis ngeluhin semuanya ke dia haha.

Sam, gue capek. Gue pengen sembuh Sam, gue pengen pulang. Gue pengen tiduran di kamar lagi Sam.

Mau pulang ke rumah.

Gak suka tiap bangun harus ngerasain infusan, obat, dan bau rumah sakit. Sam, gue rasanya mau minta tolong karena semua badan gue sakit dan gue gak bisa berpikir jernih.

Capek banget, Sam.

Tolong janji sama gue, fokus kuliah lagi, kembangin bakat masak lo, jaga kesehatan!! Kalo lo mau, gue udah minta Rin buat nemenin lo di rumah hehe. Lo jangan macem-macem ya bergaul sama orang.

I will always love you, Sam. You're my half, jangan sedih terlalu lama, Okay?

Mungkin pada saat lo baca ini, lo meredup dan gue gak hidup

Take care of yourself ya, Sam.

Miya Atsumu.

Aku tersenyum, mengambil spidol dan menuliskan sesuatu di polaroid darinya.

Terima kasih, Atsumu.

Terima kasih, Atsumu

Hoppla! Dieses Bild entspricht nicht unseren inhaltlichen Richtlinien. Um mit dem Veröffentlichen fortfahren zu können, entferne es bitte oder lade ein anderes Bild hoch.
ClinomaniaWo Geschichten leben. Entdecke jetzt