The Brown Envelope

1.1K 227 13
                                    

-HERJUNA-

Jarum jam tangannya menunjukkan pukul sembilan malam. Dia masih berada di dalam ruangan kantor. Menatap ke luar jendela pada lampu-lampu kota. Kepalanya terasa pusing. Mungkin matanya lelah karena terlalu lama menatap layar laptop. Ya, lagi-lagi dia menghindar dan tenggelam. Dalam kubangan pekerjaan. Salah, dalam ketakutannya sendiri. Oh, dia pengecut sekali.

Kepalanya menoleh ke meja bundar berukuran sedang di tengah ruangan. Karena jabatan yang baru, luas ruangannya memang lebih dari sebelumnya. Jadi dia memiliki area meeting sendiri di dalam ruangan.

Biasanya, dia melihat Nadin di sana. Duduk menekuri laptop sambil menyeruput kopi. Lalu menoleh padanya untuk tersenyum, atau menggeleng kesal karena dia mengabaikan apa yang Nadin sampaikan. Atau wanita itu akan mengenakan headset sambil sesekali bergumam, mendengarkan musik kesukaannya.

"Jun, lo tahu lagu ini nggak?"

"Gue pikir lo ngerjain laporan, Nad. Besok kan validasi, lo harus confirm angka sama gue. Kalau nggak kapasitas pengiriman gue kasih divisi lain nih," ujarnya menggoda Nadin.

"Iiih, kerja mulu sik. Tapi ini lagu bagus, Jun. Lo harus dengerin." Tubuh Nadin sudah berdiri lalu menghampirinya yang masih duduk.

Seperti biasa, Nadin selalu harus menariknya berdiri atau dia tidak akan beranjak dari segala angka di depan mata.

"Nad, seriusan presentasi buat John besok belum selesai ini."

"Emang gue pikirin."

Dia terpaksa duduk di kursi dekat dengan Nadin. Lalu wanita ajaib itu juga kembali duduk. "Kalau gue lepas headset nya, lagunya bisa kedengeran sama anak-anak di luar. Nanti malah banyak gossip macem-macem lagi. Jadi dengerin pake headset gue ya."

Nadin memasangkan satu wireless headset pada telinga kirinya sementara satu headset lagi pada telinga Nadin sendiri. Mereka masih duduk berjarak.

"Gue ulang ya lagunya. Gue suka banget lagu ini. Sedih sih, tapi ada harapan di bagian chorus-nya."

Senyum kecilnya terkembang geli. Sejak kapan Nadin yang usil dan konyol jadi romantis begini. Kemudian tidak berapa lama, lagu itu mulai mengalun syahdu.

I've been seeing lonely people in crowded rooms
Covering their old heartbreaks with new tattoos
It's all about smokescreens and cigarettes
Looking through low lights at silhouettes
But all I see is lonely people in crowded rooms

This city's gonna break my heart
This city's gonna love me then leave me alone
This city's got me chasing stars
It's been a couple months since I felt like I'm home
Am I getting closer to knowing where I belong?
This city's gonna break my heart
She's always gonna break your heart, oh

Kemudian kepalanya menggeleng kecil. "Harapan apaan? Ini mah lagu sedih, Nad?"

"Hey hey, tergantung perspektifnya dari mana. Lo nggak sadar kalau di chorusnya dia bilang he felt like his home. Sekalipun kota itu udah bikin dia sakit hati, tapi entah kenapa dia merasa sudah di rumah."

Dia tambah tertawa. "Kenapa lo jadi romantis?"

"Hati gue kan sebenernya lembut, selembut salju."

Nadin mengucapkan kalimat itu dengan ekspresi wajah sangat konyol. Kemudian mereka terkikik geli.

Pintu yang diketuk mengembalikan pikirannya pada saat ini. Seorang petugas security sudah berdiri di ambang pintu.

"Pak, Bapak masih lama? Semua karyawan lembur sudah pada pulang."

This CityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang