The Long Suspicion

607 138 16
                                    

-Raya-

Sikap Adit lebih dingin lagi satu minggu berikutnya. Jangan harap Adit pulang pukul delapan. Jika sebelumnya ketika tidak ada masalah Adit pulang pukul Sembilan atau sepuluh malam. Sekarang saat mereka bertengkar Adit pulang jam sebelas malam. Ketika Raya sudah tidur atau menurut Adit begitu.

Dia sendiri berusaha untuk kuat dan tenang. Diam, tidak banyak bicara, meminta, atau bahkan mengobrol dengan Adit. Seperti perang dingin. Sampai hari keenam Adit tiba-tiba sudah ada di rumah saat dia pulang jam delapan. Duduk menunggunya di kursi meja makan.

"Aku mau bicara," ujar Adit.

Tubuhnya diam kaku menatap Adit. Rumah yang seharusnya menjadi tempat yang nyaman dan aman sudah tidak lagi memberikan sensasi itu. Dia selalu merasa terancam, ketakutan, seolah kapanpun Adit bisa menyerangnya. Seperti saat ini.

"Raya, duduk dulu."

Perlahan dia melangkah berhati-hati sambil menenangkan debaran jantungnya sendiri. Tas sudah dia letakkan di meja. Mereka sudah duduk berhadapan.

"Ya, silahkan bicara." Jangan gentar, Raya. Atau kamu akan dimangsa.

"Apa kamu nggak mau minta maaf?"

Dahinya mengernyit dalam, mencoba mencerna. "Maksudnya?"

"Kalau seseorang berbuat salah, harusnya dia minta maaf."

What? Rasa terkejut dia tahan dalam hati. Berikan saja, Raya. Kamu belum siap untuk trauma yang lain.

"Aku...minta maaf," saliva dia loloskan. Dia membenci dirinya sendiri karena menjadi lemah begini.

Hening sejenak dengan mata Adit yang menatapnya dalam.

"Jangan ulangi lagi, Raya. Apa kamu mengerti?"

Pusaran rasa yang selama ini tertahan naik ke atas hati. Takut, gusar, marah, kesal, dan seluruh curiga. Mencengkram kuat sehingga rasanya sakit sekali. Dia adalah wanita yang memiliki harga diri. Jadi ketika suaminya sendiri menginjak-injak apa yang selama ini dia miliki, sungguh rasanya tidak terperi. Apa rumah tangga selalu begini? Apa ini normal?

"Apa kamu mengerti, Raya?" Adit mengulangi kalimatnya lagi dengan banyak penekanan.

Kepalanya mengangguk kecil sementara hatinya meronta tidak terima. Satu-dua air mata sudah jatuh melintas di pipi. Tapi kepalanya tetap tegak, menatap Adit berani. Ya, Adit boleh mengambil harga diri ini, tapi Adit tidak akan bisa ambil keberanian dan tekadnya sendiri. Tekad untuk mengungkap rahasia Adit.

Tanpa dia duga, Adit menggeser kursi hingga dekat dengannya. Kemudian Adit menggenggam tangannya lembut.

"Aku juga minta maaf, Raya. Maafin aku karena sudah lepas kendali," satu demi satu tangannya dicium oleh Adit. Kemudian Adit memeluknya erat.

Tangisnya makin deras. Untuk menyembunyikan rasa takut, rasa tidak terima, rasa ingin membalas apa yang Adit lakukan padanya. Adit melonggarkan pelukan ketika tangisnya berangsur reda. Mata Adit menatapnya dalam. Kepala Adit miring sedikit dan mendekat padanya. Adit menciumnya lembut dan dalam.

Sementara dia sudah tidak bisa merasakan apa yang seharusnya ada. Cinta, percaya, atau rasa hormat hilang pergi. Bahkan keinginan untuk naik ke tempat tidur bersama Adit sudah menguap jauh. Dia hanya ingin mengulang waktu, dan menghindari pernikahan ini.

***

Sudah dua minggu dan sikap Adit jauh lebih baik. Dalam artian sesungguhnya. Adit pulang jam delapan, memasak makan malam untuknya, dan berusaha membawanya ke tempat tidur lebih sering. Sekalipun kali ini dia yang tidak ingin. Mereka sudah mengobrol sekalipun hanya berbicara hal-hal yang umum saja. Misal, apa saja kegiatan hari ini, apa acara untuk minggu depan, mau makan apa, dan jenis obrolan umumnya. Dia menghargai seluruh perubahan itu,

This CityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang