Boundaries

635 158 9
                                    

-Gista -

Sejak pukul sepuluh pagi dia sudah berada di Akena. Memutuskan untuk fokus memilih cangkir dan peralatan makan lainnya hingga selesai, setelah itu dia akan fokus pada tugas kuliah yang tertunda. Kabar sudah dia kirim ke Pras sejak pagi tadi. Hingga tidak ada alasan bagi Pras untuk marah padanya.

Bang Rendra memberikannya ruangan tempat seluruh peralatan makan yang akan dia pilih berada. Jadi di sanalah dia, berdiri di tengah-tengah benda yang nantinya akan punya jiwa. Ini menyenangkan, menenangkan, hingga dia lupa waktu. Tidak terasa sudah pukul dua dan perutnya mulai berbunyi. Sebelum dia meninggalkan ruangan, matanya menatap puas pada seluruh peralatan makan yang sudah berhasil dia pilih. Tidak ada warna atau bentuk yang sama, tapi semua benda itu akan menyatu sempurna dengan kedai kopi milik Pras.

"Sudah, Neng?" tanya Bang Rendra ketika berpapasan dengannya di luar ruangan.

"Belum selesai, Bang. Tapi udah setengahnya."

"Maksud saya, udah lapar belum?" kekeh Bang Rendra. "Pras udah sampai dari tadi tapi ada di ruangan sebelah. Kita berdua nggak mau gangguin bidadari yang lagi bertapa di dalam gua penuh benda keramat."

Dia tertawa kecil karena imajinasi Bang Rendra. Laki-laki paruh baya itu diam sejenak sambil mengulum senyum menatapnya.

"Gista," ujar Bang Rendra.

"Iya?"

"Kamu itu beda, unik. Manis dan cantik jangan ditanya, tapi kamu jauh lebih menarik dari siapapun ceweknya Pras."

Saliva dia loloskan, tidak tahu harus bereaksi seperti apa. "Saya bukan ceweknya Pras, Bang. Saya karyawannya Pras."

Bang Rendra tersenyum lagi. Kali ini satu tangan Bang Rendra menyentuh bahunya, kepala laki-laki itu juga sedikit menunduk. "Saya kasih tahu rahasia. Saya nggak pernah lihat Pras punya macam-macam ekspresi atau banyak bicara seperti sekarang ini. Saya kenal Pras udah lama, udah tahu sepak terjangnya. Cuma sama kamu Pras kelihatan apa adanya, nyaman. Dan biasanya semua berawal dari nyaman. Pengalaman saya begitu."

Tanpa dia mau dadanya mulai berdetak berantakan lagi. Kalimat Bang Rendra seperti benih yang ditanam pada dadanya. Benih yang selama ini dia genggam saja, tidak mau dia apa-apakan, bahkan rencananya dia mau buang saja.

Tarik garisnya, Gista. Batasannya.

"Saya akan hati-hati, Bang. Saya butuh pekerjaan dan Pras menawarkan. Nggak ada rencana lebih dari itu," bisiknya sambil tersenyum kecil.

Bang Rendra terkekeh lagi sambil balas berbisik. "Saya nggak takut kamu yang kejebak, tapi Pras yang kejebak."

"Kalian ngobrolin apa?" sudah ada suara berat Pras di belakang tubuh Bang Rendra.

"Rahasia dong. Saya sama Gista kan udah jadi bestie," Bang Rendra masih tertawa sambil berjalan menjauh dari mereka.

Mereka berdiri berhadapan dengan dia yang berusaha mati-matian menahan debaran jantung sialan ini.

"Makan dulu," ujar Pras sambil membalik tubuh menuju ruangan yang lain.

Ruangan itu terdiri dari empat meja kerja tempat karyawan gudang biasanya mengerjakan laporan mereka. Saat ini para karyawan tidak ada di tempat karena sedang melakukan stock opname mingguan. Tas slempang Pras ada di salah satu meja, juga dua bungkus nasi padang lengkap dengan alat makannya.

Tanpa sengaja dia bersendawa. "Maaf," ujarnya cepat.

Pras sudah duduk di salah satu meja dan mulai membuka bungkus nasi padang. "Lain kali jangan telat makan. Inget, kalau sakit denda per hari seratus ribu."

This CityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang