Stay

745 171 18
                                    

Mereka lagi kangen-kangenan, setelah prahara. Enjoy!

***

"Kata Raya kamu sakit?" Herjuna bertanya pada Nadin.

Mereka berdua masih berada di kamar hotel setelah Nadin dan Raya membenahi urusan fitting gaun pengantin. Tamu-tamu dari butik juga sudah pulang dan dia sudah selesai memesan kamar di lantai yang sama dengan Nadin.

"Aku nggak apa-apa," jawab Nadin yang sedang duduk di sofa memeluk bantal besar.

Dia sendiri sedang membuat dua cangkir kopi. "Mau makan siang apa?" setelah selesai dia meletakkan cangkir-cangkir kopi di meja depan sofa, kemudian duduk di sebelah Nadin. "Kamu pucat, makan ya."

Senyum Nadin mengembang. "Kamu beneran mau sama aku? Serius?"

Kopi Juna hirup lalu teguk dua kali. "Mau serius," cangkir dia letakkan kembali.

Tubuhnya bersandar di sofa menghadap Nadin, menatap wanita cantik yang dia rindu berminggu-minggu. "Kenapa kemarin menghilang? Training kantor tapi nggak pulang. Terus pakai resign, nggak bilang sama aku, setelah kasih aku amplop coklat itu."

"Amplopnya udah dibuka?" tanya Nadin.

Satu tangan dia tekuk untuk menopang kepala sambil menatap Nadin. "Udah."

"Terus?"

"Ternyata nggak kenapa-kenapa," dia memberi jeda. "Malah lega rasanya. Ngeliat Al bahagia begitu," kepala dia gelengkan sambil terkekeh. "Aku bodoh banget. Kamu benar."

Mata Nadin berputar. "Ya pasti dong. Nadin gitu lho."

Dia tersenyum lagi. Saat seperti ini mereka seperti kembali bersikap seperti dua sahabat. Mengobrol dan berdiskusi tentang apa saja. Rasanya lepas, nyaman, sekalipun kali ini diiringi banyak keinginan untuk menyentuh Nadin.

"Kenapa liat-liat?" senyum Nadin sambil menatapnya.

"Janji sama aku."

"Apa?"

"Jangan menghilang lagi kayak kemarin, selalu angkat telpon aku, dan ngomong aja kalau ada yang kamu kesal soal aku. Jangan diam tapi terus kabur, resign dan malah mau nikah sama cowok lain begitu."

"Hey, aku wanita dengan harga diri tinggi. Mana bisa aku bilang 'Herjuna, aku suka kamu'...hisss, nggak sudi."

Juna tertawa melihat ekspresi Nadin. "Okey, fair enough. Aku aja yang ngomong kalau gitu, 'Nadin, aku suka kamu. Karena kamu cewek menyebalkan yang suka gangguin aku dan kabur abis itu',"

Tawa kecil Nadin pecah juga. Dia membungkuk untuk mengambil kaki Nadin yang menggantung kemudian dia memangku kedua kaki itu. Kulit Nadin dingin.

"Kamu dingin, Nad." Dengan sigap dia mengambil bantal di pelukan Nadin dan meminta Nadin bersender pada sisi samping sofa dengan bantal tadi. Sementara dia sudah duduk di lantai dekat dengan wajah Nadin. "Aku buatin teh aja, ya?"

Bahunya ditahan oleh Nadin. Mata wanitanya itu menatapnya dalam. Ada banyak sepi dan rindu tertahan, sekalipun Nadin tersenyum tipis sekali. Dia membiarkan jari-jari panjang Nadin menyusuri wajahnya.

"Apa kamu beneran akan nikah kalau aku nggak bisa menemukan kamu tepat waktu?" bisiknya. Satu tangannya sudah merengkuh Nadin yang berbaring menyamping di sofa.

"Mungkin," jawab Nadin dengan ekspresi sedih. Jari-jemari Nadin masih terus bergerak menyusuri wajahnya.

Entah kenapa jawaban Nadin membuat dadanya terasa sakit. Saliva dia loloskan. "Kamu suka cowok itu?"

"Menurut kamu gimana?" Nadin berhenti.

Dia tidak mau mulai berprasangka. "Maafin aku. I'm such an idiot."

This CityWhere stories live. Discover now