7

12.5K 1.5K 82
                                    

"Kenapa membohongi Papa?"

Mendapati tanya dari papanya, Elora merasa tidak enak.

"Kamu tidak takut jika benaran terjadi? Ucapan itu doa."

"Maaf," kata Elora tulus. Ia ingin meminta maaf dan menunggu waktu yang tepat, tapi apalah daya dokter yang memberitahu jika dia tidak mengandung. Seandainya saja ia bisa mengendalikan hatinya, mungkin ia tidak akan berakhir di rumah sakit. "Tuhan juga tahu, alasan aku berbohong."

"Apapun itu tetap salah."

"El masih sakit, Pa," tegur Ria.

Fahri berdeham. "Kamu tidak tahu, bagaimana perasaan Papa kemarin, ditambah kamu yang tidak sadarkan diri."

"Pa!" Ria kembali menegur. "Syukur saja kenapa kalau El baik-baik saja."

Fahri menarik nafas dalam. "Keluarga kita enggak ada satupun yang jadi artis. Bakat akting dari mana kamu?"

"Tuhan lebih tahu," sahut Elora lagi. Suaranya masih lemah.

Fahri memperingati putrinya. "Apapun masalahmu, cari jalan keluar yang benar. Kalau tidak sanggup, berembuk. Kamu masih punya orang tua."

Elora meminta maaf lagi, sebelum papanya pergi.

"Kamu jatuh cinta?"

Elora terkejut mendengar pertanyaan mamanya.

"Kenapa tidak bilang sama Mama?"

"Mama salah paham."

Ria tidak tersenyum saat menggoda putrinya. "Salah paham gimana, jelas-jelas Mama baca chat kamu sama Tika."

Elora jadi salah tingkah.

"Friendzone, El?"

Elora memilih diam.

"Kenapa tidak kasih tahu Elang?"

"Jangan sebut nama dia lagi, Ma." Elora ingin melupakan nama itu.

"Elang sudah----"

"Ma. Please!" Elora menutup telinganya. Apapun tentang laki-laki itu Elora tidak ingin tahu lagi.

"Aku mau kuliah. Mau gapai cita-citaku. Mau jadi anak yang dibanggakan. Mau dapat pekerjaan hebat. Mau bahagiain papa dan Mama." Elora tidak sadar jika air matanya mulai menitik. Yang ia tahu, dadanya sakit setiap membayangkan langkah ke depannya tak lagi dibersamai laki-laki itu.

"Aku butuh support Mama dan papa. Aku juga bisa bahagia dengan caraku asalkan Mama dampingi."

Ria tidak sanggup melihat luka hati putrinya yang begitu nyata. "Sedikitpun tidak mau mendengar tentangnya?"

"Boleh kalau Mama mau melihatku tinggal selamanya di rumah sakit."

Pelukan anak dan ibu itu begitu syahdu. Mungkin benar, mulai sekarang Ria harus selalu mendampingi Elora karena putrinya tidak mau lagi berhubungan dengan Elang. Baik Fahri dan Ria mempercayai Elang, dan mereka melihat di tangan Elang, putrinya pernah bahagia dan sedang belajar dewasa saat ini.

Elora tahu, mungkin akan butuh waktu yang lama untuk menyembuhkan luka hatinya juga move on dari sosok Elang.

Ketika sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit, yang pertama dilakukan Elora adalah membersihkan kamarnya dari kenangan kebersamaannya bersama Elang. Elora benar-benar membersihkan tanpa menyisakan satupun sisa dari lelaki itu.

"Apa itu?"

"Kasihkan kalau dia ke sini." Elora meletakkan dua kotak besar di depan mamanya.

Ria menarik kontak mendekat ke arahnya, lantas ia membuka kotak tersebut. Foto, buku, bandana dan masih banyak yang lainnya.

"Mama sumbangkan boleh?"

"Balikin saja. Enggak enak kalau dipakai orang tanpa sepengetahuannya." Elora memang kecewa, tapi gadis itu masih menjaga perasaan Elang. Tak peduli jika yang dijaga Elang saat ini bukan perasaannya.

Menutup kembali kotak tersebut, Ria akan mengembalikan saat Elang datang nanti. Di atas meja, Elora melihat tumpukan undangan, dadanya kembali sesak saat melihat gambar Elang tersenyum bahagia bersama Dinda.

Elang pernah membuat dirinya nyaman, akibat yang harus dirasakan Elora saat ini karena terlalu menikmati kenyamanan tersebut.

Mereka sudah menikah, dan Elora harus melupakannya. Iya, Elora harus melupakan demi kebaikan dirinya.

"Sudah makan Lang?"

Elora menoleh saat mamanya menyebut nama lelaki itu.

"Sudah." Elang hanya melirik sekilas pada Elora. "Ketinggalan map penting, aku ke kamar sebentar." kepada Ria Elang pamit ke kamarnya.

Berapa lama ia tidak melihat Elang? Elora merasakan jika Elang sedikit berubah. Baik dari mimik maupun sikap. Begitukah jika seorang laki-laki telah menjadi suami?

"Kenapa?"

Elora menggeleng. "Aku siap-siap dulu, Ma." Elora harus semangat agar pendidikannya cepat selesai. Jika Elang saja bisa semangat, kenapa dirinya harus terpuruk?

Saat menaiki tangga menuju kamarnya, air mata kembali menitik. Baru satu minggu, wajarkan wanita itu masih meratap? Elora masih sangat muda saat ini.

Jangan lupakan, ini cinta pertamanya. Mencintai dalam diam selama ini, dan terpaksa harus merelakan saat Elang sudah menemukan wanita idamannya.

Elora terkejut melihat Elang duduk di sisi ranjang saat ia masuk.

"Kamu sudah baik-baik saja?" Elang bertanya tanpa melihat Elora. Duduk di sisi ranjang wanita itu dengan tangan saling bertautan menunggu hampir sepuluh menit di kamar Elora.

"Kamu bisa melihatnya." Elora menjawab seperti biasa.

"Kandunganmu tidak gugur tiba-tiba kan?"

Kali ini, Elora tidak menjawab.

"Aku yakin tidak salah masuk kamar." Elang belum juga menatap wajah Elora. "Tapi, saat sudah berada di sini, aku merasa jika ini bukan kamat Elora."

Bingkai besar yang melukiskan kebersamaan mereka saat berlibur tak lagi menggantung di dinding kamar itu. Pose manis saat Elora merayakan ulang tahun laki-laki itu juga tidak ada lagi di atas meja rias wanita itu. Jangan lupakan gantungan bulan dan bintang di atas ranjang wanita itu hadiah pertama dari Elang, entah di mana letak benda itu saat ini, Elang tidak akan bertanya.

"Kamu akan pergi, hati-hati." Elang bangun. "Milan jauh, semoga hatimu lekas sembuh." kini sepasang mata lelaki itu menatap tepat di manik Elora.

Mendengar ucapan Elang, Elora tertegun. Elang tidak tahu kan tentang perasaannya?

"Baik-baik di sana."

Elora tidak ingin menilai detail wajah suami Dinda.

"Temukan orang-orang baik, yang tidak akan melukai hatimu baik disengaja ataupun tidak." Elang berjalan mendekat.

Elora telah membuat batasan, dan Elang berharap bisa menghargai batasan yang telah dibuat oleh gadis itu.

"Kamu sudah besar, aku kurang memperhatikan." kini tak ada lagi jarak di antara keduanya.

"Sekedar untuk kamu tahu, apapun yang pernah kita lewatkan tak akan pernah kulupakan."

Elora tidak tahu maksud dari ucapan Elang. Karena jarak keduanya cukup dekat, logika Elora mengais kesadarannya.

"Aku tidak akan meminta." Elang tidak tahu untuk apa ia melakukannya, sedang hatinya sudah memilih wanita lain. Sebagai tanda milik atau perpisahan, tidak ada yang tahu.

"Selamat ulang tahun, El," kata Elang beberapa saat setelah melepaskan pagutan bibirnya. "Jaga diri baik-baik. Aku menyayangimu."

Elang keluar dari kamar setelah memberikan ucapan ulang tahun kepada Elora satu bulan lebih awal karena Elang tidak tahu apakah masih sempat melakukannya nanti?

Elang menciumnya, setelah itu pergi. Elora menangis, karena Elang telah merelakan dan Elora juga harus merelakan.

Langit tahu cintanya.

Tak berkisah, tapi cukup mendebar.

Cinta tak pernah salah, salah insan yang tak bisa menahan rasa.

Cinta Bertepuk Sebelah Tangan (Cerita Lengkap Di PDF)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang