37 Paket

1.1K 148 16
                                    

Bismillah,

[Fa, nanti pulangnya saya jemput ya. Terus kita jemput Fatih bareng.]

Ifa tersenyum walaupun tahu Alfi tidak bisa melihatnya. Calon suaminya menelepon siang itu, seperti biasa. Mereka tidak bertemu sejak Alfi pulang dari Surabaya. Artinya sudah lebih dari tiga hari yang lalu.

Alfi tahu dia mestinya meluangkan waktu, tapi sebagai dokter ada beberapa pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkannya. Untungnya Ifa memahami, dan tidak menuntut Alfi untuk rutin bertemu.

[Fa, kok diem aja sih?] tanya Alfi.

Ifa memang melamun selama beberapa detik. Dia sibuk membayangkan bagaimana perasaannya ketika bertemu Alfi nanti sore. [Eh, iya, Mas. nanti saya baru selesai jam 4. Saya sudah bilang daycare kalo jemput Fatih sekitar setengah 5. Mas Alfi nggak sibuk emangnya?]

[Hari ini saya usahakan bisa pulang sore, kita lama nggak ketemu. Saya ... kangen,] kata Alfi.

Ifa lagi-lagi tersenyum. Dia pun merasakan hal yang sama, tapi tidak berani meminta Alfi untuk menemuinya secara rutin. Ifa tahu betapa sibuk calon suaminya.

Sedangkan di ujung sana Alfi menunggu Ifa membalas ungkapan kangennya dengan cemas. Calon istrinya ini sangat berbeda dengan Naira yang agresif. Ifa lebih pandai menyembunyikan perasaan. Perempuan itu juga tidak banyak menuntut seperti Naira. Bahkan Ifa kadang mengirimi Alfi pesan lebih dulu, jika Alfi lama tidak berkabar. Dia tidak menuntut Alfi untuk selalu mengirim pesan.

[Kamu kangen nggak sih?] tuntut Alfi. Dia sudah tidak sabar mendengar Ifa membalas ucapannya.

[Kangen,]

[Kirain nggak kangen,] ucap Alfi. Wajahnya sekarang sudah kembali cerah.

[Kangen, Mas, tapi ... saya nggak mau ganggu Mas Alfi,] kata Ifa.

[Ganggu gimana?] tanya Alfi bingung.

[Kalo saya sering bilang kangen, nanti Mas Alfi nggak konsen kerja. Kan jadi ganggu.]

[Saya suka digangguin kok,] balas Alfi. Dia mendengar Ifa tertawa lirih.

Alfi mengulum senyum. Seru juga pacaran dengan calon istrinya ini. Mereka memang tidak sering bertemu, tapi komunikasi lewat telepon dan wa yang kadang canggung plus malu-malu membuat Alfi sangat menikmati fase ini. Dia jadi mengenal Ifa lebih dekat, dan semakin yakin kalau calon istrinya ini sangat jauh berbeda dengan Naira.

[Ya udah, saya beresin kerjaan dulu ya. Biar nanti bisa pulang sore dan jemput kamu,] kata Alfi. Beberapa detik kemudian percakapan itu selesai. Meninggalkan dua orang yang sama-sama tersenyum-senyum sendiri sambil menggenggam ponsel di dua ujung berbeda.

"Fa, ada paket nih." Melly, sesama rekan guru memasuki ruangan dan meletakkan sebuah kotak yang dibungkus kertas cokelat di meja Ifa.

"Makasih, Mel," ucap Ifa. Matanya menelisik paket itu. Dia merasa tidak membeli barang secara online. Walaupun membeli, Ifa biasanya memberikan alamat rumah. Kurir yang biasa mengirim sudah hapal dengan alamatnya, jadi dia tidak perlu khawatir barang yang dipesannya tidak sampai.

"Kok nggak dibuka sih, Fa? Kamu beli apa nih btw? Tunik apa bukunya Fatih? aku liat dong," cerocos Melly.

Ifa menatap Melly gelagapan. Dia belum membuka paket itu karena bingung. Jangan-jangan paket ini salah alamat, pikir Ifa.

"Kayanya aku nggak beli apa-apa, Mel. Tapi kok ada paket ya?" kata Ifa. Tangannya membolak balik paket, mencari nama pengirim.

"Kamu lupa kali, Fa. Coba aja dibuka dulu. Aku biasanya juga gitu, suka lupa kalo udah pesen ini-itu. pas dibuka baru deh inget."

Bukan UntukmuOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz