50 Tersiksa (2)

1.4K 166 27
                                    

Warning dan Disclamer: PART INI MENGANDUNG ADEGAN KEKERASAN

Bismillah,

Naira tahu kakinya gemetar ketika dia memasuki rumahnya. Tapi dia tidak bisa mengelak. Dia harus datang, karena Ayahnya yang menyuruhnya. Ketika lelaki yang dihormatinya itu menelepon, nada suaranya tidak seperti biasa. Sangat tegas dan kaku, tidak lembut seperti biasanya.

Naira sudah bisa menebak apa yang terjadi. Jovanka melakukan ancamannya.

Asisten rumah tangga mengantarnya ke ruang keluarga. Bagas dan Ayahnya sudah menunggunya. Kakak perempuannya, Laksmi juga duduk di salah satu sofa single seater. Semuanya menatap Naira dengan tatapan tidak bersahabat.

"Apa kabar, Yah?" tanya Naira basa basi.

Nurcholis tidak menjawab, hanya menatapnya dalam. Naira bergerak kikuk. Perempuan bergaun cokelat itu melirik Bagas, lelaki itu pun membuang muka.

Laksmi mendekat, mengajak Naira duduk. "Mana Yoga?" tanyanya.

"Mungkin sedang di ... kantor." Naira gelagapan. Sudah lebih seminggu dia tidak bertemu Yoga. Setelah pulang dari rumah sakit, dia pulang ke rumah yang kosong dan berantakan. Dia pun tidak berminat mencari tahu di mana Yoga. Kehadiran lelaki itu sudah tidak berarti untuk Naira.

"Kamu nggak tau di mana suami kamu?" desak Laksmi.

Naira menggigit bibirnya. Berpikir keras mencari jawaban. "Tadi pagi ... aku ketemu bentar, Mbak. Trus dia berangkat kerja."

"Kamu lagi main drama apa, sih, Nai? Kamu bisa bohongin orang lain, tapi nggak bisa bohongin aku!" sergah Bagas.

"Aku nggak bohong, Mas," bantah Naira lemah.

Bagas tersenyum kecut, menatap Naira dengan kecewa. "Sudah lama aku tau kalo Yoga brengsek. Kamu aja yang goblok, Nai. Kamu tukar suami kaya Alfi sama bajingan brengsek!"

"Cukup!" Suara lantang Nurcholis menghentikan Naira yang siap berkelit.

"Kita tunggu Yoga datang," kata Nurcholis dengan tegas.

Naira menatap Ayahnya dengan tanya. Bagaimana mungkin Yoga akan datang? Sedangkan Naira sama sekali tidak menghubunginya. Dia sudah berencana akan menggugat cerai suaminya. Baru beberapa bulan berumah tangga, Naira merasa hidupnya dengan Yoga tidak semakin membaik.

Kalimat panjang Ravin terngiang. Seburuk apa pun sebuah hubungan masih bisa diperbaiki jika ada niat dan usaha. Tapi jika tidak, maka lepaskan. Naira memilih yang terakhir.

Dia tahu resiko bercerai untuk kedua kalinya. Menanggung malu yang lebih besar, yang lebih parah adalah gosip yang akan mencoreng nama baik ayah dan keluarganya. Naira sebenarnya bertahan karena tidak ingin mengecewakan ayahnya.

Tapi dia sudah tidak sanggup lagi. Ternyata menjadi korban kekerasan membuat kepribadiannya yang rapuh semakin hancur. Menyimpan semuanya sendiri malah memperburuk keadaan. Dia frustasi dan ketakutan. Untuk menceritakan penderitaannya pada Bagas atau Ayahnya, dia terlalu malu.

Jika mereka tahu apa yang dialaminya, semua orang akan semakin menyudutkannya. Menyalahkan Naira karena memilih Yoga dan menyia-nyiakan Alfi. Naira tidak siap menghadapi semua tudingan itu.

"Selamat siang." Yoga muncul, terlihat rapi dengan jas berwarna cokelat muda dan celana chino berwarna senada. Wajahnya cerah, dan rambutnya terlihat baru dipangkas.

Lelaki itu mendekati Nurcholis dan mencium tangan mertuanya takzim. Lalu melirik Naira yang langsung menunduk ketakutan.

"Duduk," perintah Nurcholis.

Yoga sepertinya heran dengan nada bicara ayah mertuanya. Dengan cepat dia memilih kursi di dekat Naira.

"Ada acara apa ini, Yah? Kok semuanya pada kumpul?" tanya Yoga dengan sumringah.

Bukan UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang