3. Sekretaris

67 19 8
                                    

Leana membeku.

Sejak kemarin, ia panik tiap ada yang bertanya padanya. Apalagi ini Anya, anak yang biasanya tak ikut campur urusan orang. Ia kelu seketika.

Apa yang sudah aku lakukan?

"Ah, eh, maaf." Anya tergagap sendiri. "Abaikan pertanyaanku barusan."

"Eh ... kamu enggak marah sama aku, kan?" Leana merasa konyol sendiri bicara begitu. Sekelas marah padanya. Lalu, saat menemukan satu orang yang berniat membantunya, ia seperti ketakutan akan ditinggalkan.

"Enggak, kok." Anya menarik tangannya.

Leana tak merasa demikian. Tatapan Anya begitu tajam, tetapi ganjil, bukan mengarah padanya. Pada sesuatu ... di sampingnya.

Leana kembali merinding. Bukan main, Anya sepertinya memang bukan orang biasa. "Anya, kamu lihat apa ...?"

Anya mengerjap, tampak tersadar. "Enggak apa-apa. Apa aku barusan bengong?" Ia memukuli kepalanya sendiri.

Leana melirik ke bangku sebelahnya. Ia memang selalu duduk sendiri, karena posisinya paling depan dan jumlah kelas ganjil. Anya barusan duduk di sana karena satu angkatan berkumpul dalam satu kelas, sesak, dan tak ada yang mau dekat-dekat Leana.

"Ini, kalau mau lihat." Leana menyerahkan buku gambarnya pada Anya seperti petugas upacara memberikan map pidato pada pembina upacara. Begitu khidmat, tetapi takut-takut.

"Oh, kamu bolehin aku lihat." Anya urung berbalik. Ia kembali duduk di kursi yang baru saja ia pelototi. Dibukanya buku gambar Leana dan tiba-tiba saja ia menegang. Kaku, seperti kena setrum.

"Ke-kenapa?" Leana panik.

"Kamu dapat inspirasi gambar ini dari mana?" Anya menunjuk satu halaman. Ada satu gambar yang baru Leana buat tadi.

"Uh ...." Leana ragu sesaat. "Jangan kasih tahu siapa-siapa, ya?"

Leana kaget karena Anya tiba-tiba memelototinya. Suaranya dingin. "Jadi? Dari mana?"

"A-ah, itu ...." Leana merasa ditekan. Apakah Anya mempermasalahkan gambarnya? Mengapa ia mendadak tegang begitu?

Anya menutup buku gambar Leana, lalu mengempaskan kepalanya ke meja. "Maaf. Aku barusan serem lagi, ya?"

Leana sampai berpikir, jangan-jangan Anya punya sedikit gangguan psikologis ... tidak. Itu bukan hal main-main, Leana tak mau asal menghakimi. Namun, mau tak mau, ia merasa Anya itu aneh. Tadi baik, lalu tiba-tiba galak, dan langsung minta maaf setelahnya.

"Jadi, apa ini murni dari imajinasimu?" Anya mengangkat kepalanya dan membuka buku gambar Leana di halaman tadi. "Entah kenapa, agak familier."

"Oh, kamu tahu?" Leana tiba-tiba bersemangat. "Ada di kontes webtun buatan Fuma, bagian prolog. Episode satu lagi tahap pembuatan. Uh, maksudnya, aku membantu dia ...."

"Fuma ...." Anya menggumam. "Aku enggak tahu. Aku jarang baca komik."

Leana malu sendiri. Ia menunduk, memainkan ujung kucir rambutnya. "I-itu, jangan bilang siapa-siapa, ya. Aku bantu Fuma, kolaborasi bikin komik digital. Dia yang ngajak dan punya ide, aku menurut saja. Makanya, aku ... mungkin enggak bakal fokus ujian."

"Orang tuamu enggak papa?"

Pertanyaan itu menyentil Leana. Ia tambah menunduk. "Aku enggak sanggup mau ngikutin kemauan mereka. Aku enggak pintar dan enggak suka belajar. Kalau bisa menghasilkan uang lewat hobi, kenapa enggak?"

Anya mengangguk. "Aku mengerti."

Leana menatap Anya dan buku gambarnya bergantian. "Kamu kelihatan penasaran sama ... Zleth."

The WIPWhere stories live. Discover now