22. Rapat

61 17 11
                                    

Sengaja diperbarui pas udah buka (dan selesai Ramadan) biar agan-agan semua bisa melampiaskan emosi di sini.

****

Semua orang tak bernafsu makan. Makanan masih tertimbun banyak. Leana benar-benar berharap semuanya bisa bertahan dan tidak ada yang mati karena kelaparan.

"Pagi, siang ... ini jam berapa sih sebenarnya?" tanya seseorang.

"Jam dua belas, kalau menurut HP," sahut yang lain.

"Tapi suasana di luar ... enggak berubah?"

Memang. Langit mendung sejak semalam. Cahaya di luar tampak aneh. Gelap karena tertutup awan, tetapi di sela-selanya tampak sinar putih yang menyilaukan.

"Aku pusing," keluh Anya tiba-tiba.

"Kenapa? Sakit?" cecar Leana langsung.

Anya menggeleng. "Energi ...."

"Energi?"

"Tempat kayak begini bikin energiku cepat habis. Pasti dari tadi mukaku pucat." Anya tersenyum kecil. "Jangan cemaskan soal itu, Len. Aku harus membantumu dan kita akan keluar sama-sama."

"Apa perputaran waktu enggak normal di sini? Jadi, kita ketahan di satu waktu ... satu detik yang sama dari semalam ...?" tanya Leana takut-takut.

"Tapi jam di HP berganti, meski tanggalnya enggak," ujar Anya. "Eh ... tadi berubah kok. Sekarang jadi jam 11 malam?"

Leana yakin, ia melihat Anya gemetar hebat. Wajahnya yang pucat menampakkan keletihan yang luar biasa. Ia jadi merasa kasihan. "Nya, enggak adakah yang bisa kulakukan buat membantumu? Kamu udah sukarela bantuin aku ...."

Sukarela? Benarkah?

"Itu ... selama kamu enggak bikin gara-gara, itu udah cukup membantu ...." Anya menjawab lirih.

"Kamu bilang aku enggak bikin gara-gara, padahal aku yang jadi penyebab semuanya?" Suara Leana bergetar. "Setop nyalahin diri, Nya. Aku tahu tempat ini lebih dari yang lain."

Anya menghela napas, tak berniat membantah. "Aku trauma."

"Sama?"

"Pengalaman waktu SD."

Apakah Anya akan cerita? Leana langsung memosisikan dirinya sebagai pendengar yang baik.

"Tapi ini beda sama sekali," gumam Anya. "Meski begitu, tetap aku yang salah, aku juga yang jadi korban. Gara-garanya? Anak-anak sok pemberani yang suka nantangin."

Leana mengangguk-angguk, berusaha menampilkan ekspresi penuh pemahaman.

"Salah satu hobi anak SD, ngomongin cerita serem yang ada di sekolah," lanjut Anya. "Dari rumor yang umum, sampai spesifik cuma di sekolah tertentu. Kayak di salah satu sekolahku dulu .... Karena ada berita penampakan salah satu guru yang udah meninggal, sekolah heboh. Anak-anak itu pada rencana uji nyali."

"Lalu?"

"Lalu? Ini yang aku benci. Katanya, kalau enggak nemu apa-apa, mereka mau bikin 'ritual pemanggilan arwah'. Mereka mulai ngomongin jelangkung dan semacamnya." Anya tampak gusar.

Leana ingat sedikit masa SD-nya. Apalagi waktu film-film horor sedang viral. Ia pun mengerti soal hobi anak SD yang dikatakan Anya tadi, karena ia juga mengalami. Bedanya, Leana tak peduli apa pun soal itu. "Apa anak-anak itu jadi main jelangkung?"

"Enggak."

"Loh, bagus dong?" Leana keheranan.

"Gara-gara aku." Tangan Anya kembali gemetar. "Ah ... aku butuh teh panas. Maaf, Len."

The WIPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang