BAB IV

7 3 1
                                    

Kejadian itu sudah berlalu, tapi terkadang dalam bayanganku seperti film layar lebar yang selalu di putar ulang. Aku sedih, merasa terpuruk bagai jatuh dalam jurang dalam.
Semua wanita tentu bangga ketika kehormatan yang di miliki benar- benar diberikan kepada seorang lelaki yang pada akhirnya disebut suami. Tapi, apa kini yang kumiliki?
Sesuatu yang kujaga, yang kuimpikan akan ku berikan pada seorang yang ku sebut suami kelak ternyata tak bisa ku jaga.

Setelah makan malam di apartemen Arya malam itu, entah siapa yang memulai, aku seolah tak bisa menolak, kami melakukannya, melakukan yang seharusnya tidak di lakukan. Saat kesadaran kembali tentu kenyataan tak bisa ikut di putar kembali.
Penyesalan selalu datang terlambat, itu memang benar.

Aku pulang ke kerumah jam 2 pagi dengan berjalan kaki tanpa memberitahu Arya yang masih terlelap. Hampir satu jam, ku lalui jalan ke kerumahku dengan air mata yang tak berhenti mengalir. Aku mengutuk diri sendiri yang sudah seperti perempuan panggilan yang baru saja melayani pelanggan. Sepanjang jalan aku berdoa untuk tidak bertemu dengan siapapun terutama orang - orang yang membuatku terlihat seperti benar- benar seorang wanita panggilan.

Arya berulangkali meminta maaf setelah hari itu dan aku memaafkannya. Setelah dipikir- pikir ini bukan sepenuhnya salah Arya, aku juga bersalah karena tak berusaha menolak, tak berusaha menghindar.
Beberapa minggu setelah kejadian itu, semua masih berjalan seperti biasa. Aku dan Arya masih bersama tapi tidak lagi "melakukannya". Hingga suatu hari, permintaan Arya justru menciptakan jarak diantara kami.

"Ana...menurutmu apa perlu wanita juga bekerja?" Tanya Arya saat itu.

"Emang kenapa?, aneh deh pertanyaanmu..."

"Ya...menurutku kalau suaminya si wanita sudah punya pekerjaan yang mapan dan bisa mencukupi kebutuhannya....ngapain dia kerja, kan dari pada capek mendingan dia di rumah, nungguin suami pulang urusin pekerjaan di rumah...itu kan juga kerja.."

Aku mencoba mencerna apa yang di katakan Arya, dan konsentrasi ku sedikit terganggu.

"Lalu...ngapain dia sekolah sampe selesain kuliah kalo ujung- ujungnya gak kerja?"

"Ya..ga usah kuliah aja sekalian!"

"Sebenarnya apa sih yang mau kamu omongin?"

"Aku mau kamu berhenti kuliah Ana, menikahlah denganku.."

Aku terkejut mendengar permintaan Arya, antara senang tapi juga ragu bersamaan.

"Kamu serius?...ini kamu lagi ngelamar aku atau gimana sih!"

"Aku melamar kamu dengan sebuah penawaran, kamu berhenti kuliah dan nikah sama aku atau kamu tetap kuliah tapi kita putus! "

Jawaban Arya, membuatku kehilangan kata- kata. Aku tak pernah membayangkan berada pada situasi lamaran seperti ini.
Apakah setiap lamaran, ada sesi tawar menawar. Ini bukan lamaran, Arya tidak mengasihi ku, dia tidak berusaha menjadikanku satu - satunya tetapi membuka peluang untuk mencari yang lain, yang bisa mengikuti kemauannya.

Aku bisa saja mengikuti keinginannya, tapi mengingat perjuanganku hidup sendiri sejak remaja, ini rasanya gak adil untuk diriku sendiri. Aku memiliki cita- cita yang ingin ku buat jadi kenyataan, membuat kedua orang tua ku bangga walau mereka sudah punya keluarga sendiri, aku juga ingin membalas jasa sahabatku Riri, membahagiakan Buk Sofi yang sudah ku anggap orang tuaku selama ini, Dan.....sebenarnya masih banyak yang ingin ku raih selain menjadi seorang istri.
Lalu sekarang, ketika ku yakin untuk melabuhkan hati dan hidupku pada seorang bernama Arya ternyata semua tidaklah sesederhana pikirku.

WHAT'S LOVE?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang