56. Momen Istimewa

479 75 8
                                    

"Tak ada alasan mencintai selain dari hati."
🍂

Juan benar-benar berhasil membuat suasana hati Raya kacau. Baru saja sepupunya itu bermanja ria dengan Satriya di telepon, Juan dengan mudahnya meruntuhkan dinding kebahagiaannya. Sampai akhirnya Raya tidak bisa tidur dan mencari angin malam di balkon. Gadis itu suka sekali mencari mati. Sudah tahu jantungnya bermasalah masih saja nekat keluar malam.

Memang udara malam membawa banyak penyakit. Dinginnya bahkan sanggup menusuk tulang belulang. Tapi, bagi pecinta malam, malam itu indah. Saat lelah melihat cerahnya dunia, dia disuguhkan dengan anggunnya langit malam yang bertabur bintang dan sunyi yang menenangkan.

Biarlah mereka berbicara apa pun tentang malam, bagi Raya malam tetaplah malam. Hanya ada kegelapan, kedinginan dan kesepian. Gadis itu merasakan detak jantungnya berpacu semakin cepat dan tubuhnya menggigil ringan. Napasnya juga semakin terhambat.

Tak mau merasakan sakit semakin parah lagi Raya harus segera masuk ke dalam. Tapi, ketika Raya beranjak dari tempat itu dia melihat di bawah ada Dimas yang sedang duduk termenung.

Ingin mengabaikannya saja, tapi tiba-tiba Raya teringat janjinya pada dirinya sendiri untuk mengubah semua sikap buruknya. Dia tidak mau lagi berpura-pura untuk tidak peduli. Dia harus menunjukkannya. Bukan sebagai pencitraan, tapi untuk menebar kasih sayangnya. Akhirnya Raya memberanikan diri menghampiri papanya itu.

Langkahnya perlahan menuruni tangga dan ragu-ragu menyapa papanya. "Papa belum tidur?" tanya Raya.

Dimas pun bergegas menghapus air matanya dan menyembunyikan gelang yang dia pegang. Tapi, sayangnya terlambat. Raya sudah melihatnya. "Eh, Raya? Kamu juga belum tidur?" tanya Dimas kembali.

"Tadi mau tidur, tapi lihat Papa masih di luar jadi nggak ngantuk lagi," jawab Raya dengan menahan rasa dingin di tubuhnya.

"Papa cuma cari angin malam kok." Raya tahu Dimas sedang menyembunyikan kesedihannya. Raya tidak biasa melihat papanya sesedih itu sebelumnya. "Itu gelang siapa, Pa?" Raya ingin mencari tahu penyebab kesedihan Dimas.

Dimas pun dibuat gelagapan. Akhirnya dia pikir percuma menyembunyikannya lagi dari Raya. Dia bukan anak remaja yang suka bermain rahasia-rahasia. "Ini sebenarnya gelang untuk kamu. Tapi, Papa lihat kamu sudah pakai jam tangan dari Samudra. Gelang ini nggak ada apa-apanya."

Dan Raya pun tahu penyebab papanya sedih. Dia pikir kasih sayang padanya akan berlaih untuk Samudra seutuhnya. Raya langsung merebut gelang itu dari Dimas dan memakainya. "Gelang buat Raya kan, Pa? Berarti boleh dong Raya pakai?" tanya Raya seraya memandangi gelang yang melingkar di pergelangan tangannya itu.

Dimas terharu dengan Raya. Dia tidak sadar kalau anak gadis sudah tumbuh semakin dewasa. Dia bahkan tahu cara melegakan hati Dimas. "Kamu suka gelangnya?" tanya Dimas dengan berkaca-kaca.

Raya juga berkaca-kaca melihat mata Dimas. Dia hanya mengangguk dengan antusias menyetujui ucapan papanya itu. Dia tidak pernah menilai pemberian seseorang dari harganya. Dimas langsung memeluk Raya dengan isakan kecil. "Papa takut kamu meninggalkan Papa, Raya. Papa takut kamu diambil Samudra."

Raya semakin meneteskan air matanya mendengar suara Dimas. Ternyata sesayang itu Dimas padanya meskipun dia tahu Raya bukan anak kandungnya. "Raya nggak akan ninggalin Papa. Sampai kapanpun Raya tetap anak Papa dan Papa tetap jadi cinta pertama Raya."

Mendengar itu tangisan Dimas berubah menjadi tangisan haru. Dia sangat bahagia mendengar ucapan Raya. Pria itu pun melepas pelukannya dan mengusap air mata di pipi Raya. "Anak Papa jangan nangis lagi. Kalau nangis cantiknya hilang."

Raya tertawa dengan air mata yang masih menetes. "Papa juga harus janji jangan tinggalin Raya dan Mama." Ucapan Raya membuat Dimas mengangguk antusias untuk meyakinkan Raya. Ayah dan anak itu mengikat janji di bawah gelapnya langit malam.

SAGARA (End)Where stories live. Discover now