Berdebar

28 2 1
                                    


Cinta berdiri di depan cermin toilet sekolah. Kedua telapak tangan menyangga pada sisi westafel. Entah ada apa dengan detak jantungnya yang tidak bisa Cinta kontrol saat mata Raga menatapnya dengan begitu dalam. Juga saat kedua telinganya mendengar kalimat terakhir apa yang keluar dari mulut cowok itu sebelum ia berlalu dari hadapan Cinta karena suara bel istirahat berbunyi. Yang artinya hukumannya dari Pak Rudy telah usai. Oh Tuhan, rasanya dada Cinta akan terbakar. Perutnya pun mendadak menjadi mulas.

Belum pernah ada seorang cowok yang memandang Cinta seperti cinta melihat Raga yang memandangnya demikian. Cinta tidak dapat mengertikan arti tatapan cowok itu. Namun, yang pasti Cinta merasakan debaran jantungnya menggila.

Perlahan Cinta menggerakan tangan kirinya untuk menyentuh dadanya yang tidak bisa berhenti berdebar. Lalu sedikit menekannya guna meredakan debaran itu. Namun, bukannya berhenti, dada Cinta semakin kembang kempis. Jantungnya seakan ingin loncat keluar dari tempatnya.

"Astaga, Cinta ... gue cari-cari ternyata disini." Begitu pintu toilet terbuka dari luar, Cinta menoleh karena ternyata Inggit yang meneriakinya. Buru-burulah tangan yang tadinya berada di atas dada ia turunkan. Cinta segera memutar kran air. Membasuh kedua tangannya yang sedari tadi terasa dingin karena mendadak gugup.

"Loe kenapa telat, sih?" tanya Inggit melipat kedua tangan di dada dengan bahu yang bersandar pada dinding toilet. Cewek itu menatap Cinta penuh. Seakan bola matanya akan keluar saja.

Cinta menutup kembali kran air. Lalu mengambil tisu yang ada di sebelah westafel. Mengelap kedua telapak tangannya menggunakan itu. "Telat bangun, Git," jawab Cinta. "Ayok!" Seraya menoleh, Cinta mengajak cewek cempreng itu.

"Kemana?" Inggit mengurai kedua tangan. Menatap Cinta yang sudah membuka pintu toilet dengan bingung.

"Ke kelas. Loe mau di sini aja gitu?"

Inggit cengengesan. Menunjukan giginya yang putih itu dengan tampang setengah bego. "Gak lah. Eh jangan ke kelas. Kantin aja kuy!" Ajaknya kemudian. Merangkul bahu Cinta lalu berlalu dari dalam toilet sana.

***

Cinta melihat cowok itu sedang duduk di pojokan meja panjang kantin bersama kedua temannya. Saat itu tidak sengaja pandangan Cinta dan Raga saling bertubrukan. Jantungnya kembali merasakan debaran yang sulit Cinta artikan ketika Raga tersenyum bersama kedipan mata nakal padanya.

Buru-buru Cinta mengalihkan tatapannya dari Raga yang masih saja menatapnya sambil menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Ia tidak ingin melihat cowok itu. Atau tidak jantungkan pasti akan segera melompat keluar.

"Non, mau pesan paan?" Inggit bertanya sambil mengedarkan pandangannya pada gerobak-gerobak yang berjejeran di depan sana.

"Git, ke kelas aja, yuk!" Dan malah mengajak Inggit pergi dari sana. Sumpah demi apa pun yang Cinta miliki, Cinta tidak ingin berlama-lama bernafas satu ruangan bersama Raga. Jangan ditanyakan lagi apa alasannya. Debaran jantung Cinta lah yang memicunya untuk tidak berada di tempat ini. Walau sebenarnya, perutnya itu merasakan lapar karena Cinta yang tadi pagi hanya meminum segelas susu saja di rumahnya.

Inggit menoleh. Menatap horor pada Cinta yang berdiri di sampingnya. "lah napa? Gak laper apa lo, Ta?"

"Lagi gak nafsu aja," dustanya pada Inggit yang ditanggapi cewek itu dengan kekehan.

"Lagi gak nasfu atau gara-gara loe masih kebayang hukaman tadi sama Raga? Heuh?" Seraya menyenggol sikut Cinta, Inggit pun tidak sengaja melihat Raga yang duduk di sana dengan teman-temannya. "Cie ... loe dilihatin terus tuh sama Raga. Cemburu ah gue." Kelakar Inggit yang membuat mata Cinta refleks menoleh pada Raga. Dan lagi, kedua matanya itu menangkap mata Raga yang memang masih mengarah padanya. Kali ini Cinta tidak melihat senyuman atau kedipan nakal dari cowok itu. Namun sebuah seringai yang begitu menakutkan untuk Cinta lihat.

"Inggit ..., buru ah gue mau ke kelas aja." Cinta mengatakan hal itu sambil berlalu meninggalkan Inggit yang diam mematung dengan wajah cengo.

"Cinta ... kok loe malah kabur, sih? Gak laper apa?" kesalnya karena Cinta tidak mendengarkan teriakannya.

Harusnya saat Cinta sudah meninggalkan kantin, debaran di jantungnya sudah berhenti, kan?

Iya.

Seharusnya memang begitu. Namun, aneh. Bukannya jantung itu berhenti dari rasa berdebarnya, justru semakin kuat. Rasanya nafas Cinta sesak. Kemudian ia menyentuhkan dahinya ke atas meja. Pun dengan kedua tangan menekan dadanya sebelum Cinta merasakan bahunya disentuh oleh seseorang. Barulah dia mendongak. Sedikit tercengang dengan kedua bola mata coklatnya yang menatap tidak percaya ke arah seseorang yang berdiri menjulang di depannya. Hanya meja di depannyalah yang membatasi antara dirinya yang tengah duduk dan Raga yang berdiri menatapnya dengan tatapan yang sulit Cinta artikan.

"Geser!" Ujarnya sambil menyikut bahu Cinta dengan bahunya ketika cowok itu meminta Cinta untuk berpindah duduk ke kursi sebelahnya yang kosong.

Refleks Cinta bergeser. Wajahnya berpaling dari Raga yang justru tengah menatapnya dari samping.

"Kenapa gak makan? Malah main cabut aja?"

Cinta menoleh. Namun, dengan bibir yang terkatup rapat. Apa urusannya sama loe? Rasanya Cinta ingin mengeluarkan kalimat itu. Tapi anehnya lidah itu mendadak keluh untuk mengeluarkan apa yang ingin Cinta katakan.

Raga terkekeh geli. Bahu cowok itu sampai terguncang. Melihat ekspresi Cinta saat ini membuat dirinya gemas untuk terus menatap. "Yeh malah bengong lagi," ucapnya cowok itu kembali. "Gue tanya sama loe berasa kaya nanya sama tembok aja. Diem mulu."

Cinta semakin bisu di tempatnya. Cewek itu lalu kembali terngiang perkataan Raga di lapangan tadi.

Kalau gitu boleh dong gue deketin loe?

Ah sial.

Bagaimana bisa coba, sedang mereka saja tidak saling kenal apalagi dekat. Cinta menggelengkan kepalanya samar. Ia tidak boleh terperangkap oleh perkataan Raga. Inget, Cinta. Cowok di depan kamu ini seorang pemain wanita. Kamu gak boleh kena bualannya!

"Nama loe siapa?" Raga bertanya sambil melipat kedua tangannya di atas meja. Menatap Cinta dengan satu alis yang tertarik.

Cinta lagi-lagi hanya menoleh sebelum ia menjawab dengan nada yang super jutek. "Gini, ya, cara lo buat deketin semua cewek," kata Cinta terkekeh. "Tapi sayang, sama gue gak mempan!"

Bukannya sakit hati dengan perkataan cewek di sampingnya ini, Raga malah mengedikkan bahunya acuh seraya bibir merah tipisnya yang melengkung samar ke bawah. Lalu Raga menegakkan punggungnya sebelum ia sandarkan itu pada sandaran kursi sekolah berwarna coklat pekat.

"Fine. Gue bisa cari tahu sendiri tanpa loe kasih tahu juga," ucap Raga santai. "Dan bagi gue cuma cari tahu nama itu gak sulit."

Seraya mendengus kesal, Cinta setengah memutar duduknya hingga tidak sengaja kakinya itu bersentuhan dengan kaki Raga yang terbalut celana panjang abu-abu. "Bodo, ya, gue gak per-du-li." Telak Cinta kemudian beringsut. Cewek itu hendak keluar dari dalam kelasnya. Namun, sebelum dirinya melangkahkan kaki, tangannya sudah Raga tahan.

Cinta menoleh dengan tatapan horor.

"Gue Raga. Raga Anata," katanya sambil menjabat tangan Cinta yang tadi ia tahan itu. Seolah mereka memang sedang berkenalan.

To be continue

Seizy :

Mau ucapin makasih boleh?

Boleh dong ya.

Makasih buat kamu yang udah nyasar ke sini dan kasih vote nya. Semoga suka dengan cerita sederhana yang aku buat ini, ya. ILY

Cinta Untuk RagaWhere stories live. Discover now