"Naira dwi Pramesti, dia adiku Ar".Kami berhenti, memandang mbak Husna yang tiba-tiba berucap seperti itu.
Ariana yang terpisah 4 tangga dari kamipun memutar tubuhnya menghadap kami dengan tatapan tak paham.
Tak jauh beda denganku."Maksudmu Na ?.
"Rara yang kamu maksud adalah Naira, adikku."
Dia terkejut akupun sama, aku tau bahwa kak naira pernah mendaki gunung dan mengalami trauma, tapi aku sama sekali tak pernah tau bagaimana cerita sebenarnya.
"Bagaimana kamu bisa seyakin itu Na, "
"Karena aku mengenal siapa sosok Krisna , aku yang melarang mereka berhubungan karena Krisna kasar dan pencemburu, tapi sayang akupun kecolongan sampai mereka pun nekat pergi ke gunung itu tanpa ada satupun yang tau termasuk aku.
Dan kenyataan terburuknya adalah krisna harus kehilangan nyawanya. "
Aku terdiam tidak tepatnya kami terdiam . Lalu mbak husna kembali melangkah mendahului kami. Dan berkata
"Ayo Ar aku lapaaarrr"
dengan senyum ceria seperti biasanya, kami berjalan mengikutinya Ariana masih terlihat kebingungan terlihat jelas di wajah ayunya.
Kami sampai di pondok dan mulai makan siang , mbak Husna dan mas Rudi sudah bersikap seperti biasanya.
Sedangkan Ari masih sama lebih banyak diam, dia yang sudah dasar nya tak banyak bicara menjadi semakin bisu.Usai makan dia berdiri di pembatas pondok dengan asap mengepul dari hidung dan mulutnya. Aku mendekatinya berdiri di sampingnya.
"Kamu baik-baik aja kan "
Dia menoleh dan mengangguk, Lalu tersenyum .
"Gimana kabar kakakmu Ge.?"
"Kak Naira sepertinya baik ,"
Dia mengangkat satu alisnya tanda tak puas dengan jawaban ku.
"Sepertinya?"
Aku mengangguk dan menatap hamparan hijau kebun kopi di depan kami.
"Dia selalu menyendiri dan jarang berbicara. Akupun tak dekat dengannya, dia hanya sedikit banyak bicara dengan mbak Husna".
Dia diam menatapku dari samping tanpa berucap apapun.
"Dia sudah menikah?"
Aku menggeleng.
"Mbak Na bilang , Kak Naira masih mencari orang yang dia butuhkan. Saat kami katakan mas Krisna sudah Tiada dia hanya diam dan berkata "aku tau" ,
Hemss entahlah kak Ari ,kamipun sulit berbaur dengannya, terutama aku dan bunda yang notabenenya orang asing"
Dia menghisap rokoknya sekali lagi lalu mematikan baranya.
"Kemarilah Ge, aku butuh pelukan".
Aku menatapnya tak paham dengan apa yang baru saja ku dengar. Lalu dia maju selangkah dan menarikku dalam pelukannya. Tubuhku tegang , ku kepalkan jari-jari ku . Detak jantungku sudah ricuh tak karuan dan aku berharap dia tak tahu itu.
Kurasakan kepalanya jatuh di pundak kiriku, nafas lembutnya menyentuh leherku, tubuhku menghangat dan perlahan ku balas pelukannya.
"Kamu deg-degan Ge, "
"Enggak, biasa saja " elak ku.
"Itu pernyataan bukan pertanyaan".
Wajahku memanas mendengar kalimatnya, dan ku sembunyikan wajahku di dadanya, ku gigit bibir bawahku menahan malu.