3. Yang Selalu Ada

19 3 2
                                    

Setelah melakukan konser dadakan yang membuat kelas ricuh karena kebisingan, Ershal dan teman-teman band abal-abalnya akhirnya didepak dari dalam kelas oleh kelompok perempuan. Mereka dianggap penganggu walau sebagian tidak masalah dengan kesintingan yang Ershal dan kawan-kawannya lakukan. Itu sudah biasa. Ketua kelas mereka memang dikenal sinting. Iya, di kelasnya Ershal menjabat sebagai ketua kelas. Entah apa yang membuatnya sampai bisa terpilih sebagai ketua kelas seperti sekarang. Tetapi, agaknya mulai banyak orang yang menyesali keputusannya memilih Ershal.

Ershal, sih, tidak masalah. Malah bagus jika ada yang mau menggantikannya. Toh sejak awal dia tidak berniat menjadi ketua kelas. Teman-temannya saja yang aneh karena memilihnya menjadi ketua kelas. Dan Pak Furhan lebih aneh karena menyetujui kelas itu dipimpin oleh siswa seperti Ershal. Padahal dia tahu betul bagaimana track record Ershal sewaktu kelas sepuluh.

Ah, sudahlah. Suka-suka mereka saja.
Sekarang ini kelas dikuasai oleh siswi perempuan. Siswa laki-laki terusir semua, tanpa terkecuali. Bahkan yang tidak melakukan apa pun ikut terusir. Pintu ditutup rapat dari dalam. Dan tahu apa yang mereka lakukan sekarang? Nonton drakor bareng.
Ershal berdecak tak habis pikir. Sebegitunya mereka tak mau diganggu hingga mengusir yang laki-laki?

Mengabaikan kericuhan kelas, Ershal membawa kkinya menuju gedung IPA. Ia beserta kedua temannya duduk di tangga yang tak jauh dari lapang olahraga. Seingatnya hari ini kelas Lunar ada jadwal olahraga. Dan sebagaimana kebiasaan aneh laki-laki itu, ia kerap kali nongkrong di depan lapangan olahraga hanya untuk mengganggu Lunar. Tapi tenang saja, Ershal melakukan itu hanya ketika tidak ada guru di kelasnya. Jika ada, mana berani dia keluar kelas. Yang ada hanya akan membuatnya berurusan dengan Bu Ayunisa.

Rasanya Ershal sudah lama duduk di tangga. Dia juga telah berkali-kali menyusuri lapangan dengan tatapan. Namun, orang yang sedang dicarinya sama sekali tak terlihat.

“Ini emang gue yang nggak ngeliat Lunar atau dia yang nggak ada?”

“Kayaknya emang nggak ada.” Daven membalas. Mata laki-laki itu sama sekali tak berpindah dari ponsel di tangannya. Ia sedang bermain games.

“Gue juga nggak ngeliat.” Raya ikut mengamini. Laki-laki itu tengah mengulum permen.

Kepala Ershal meneleng. “Nggak masuk?”

“Nggak tau—Ah, anjing.” Daven mengumpat ketika ia kalah.

“Kayaknya iya deh, gue udah beberapa hari nggak liat dia soalnya.” Giliran Raya yang membalas. Ia melirik Daven sekilas.

Kini mata Ershal menyipit penuh tuduhan. "Kok lo tau? Lo merhatiin Lunar?"

"Ampuuun," ujar Raya menyadari nada suara Ershal yang berubah. Permen yang ia kulum tersimpan di pipi kiri, membentuk tonjolan di sana. "Gue cuma nggak lihat, oke? Bukannya bener-bener merhatiin. Jadi santai aja, nggak bakal gue embat tuh si Lunar."

Ershal sama sekali tidak percaya, dia masih menatap Raya curiga.

Raya berdecak. "Sumpah, Anjing! Gue nggak akan nikung."

"Sumpah anjing?"

Raya memutar mata. "Sumpah koma anjing," jelasnya yang membuat Ershal dan Daven ngakak. "Sampah."

Setelah tawanya reda, Ershal mengangguk-angguk seperti hiasan di mobil. "Iya kali, ya, si Lunar nggak masuk. Gue juga nggak lihat dia dari kemarin," ujarnya lalu berdiri. "Yaudahlah, balik ke kelas aja kalo gitu. Ngapain di sini kalo yayang guenya nggak ada? "

*

Dua hari tak melihat Lunar di sekolah, membikin Eldra sontak dijalari rasa cemas. Lunar mungkin bukan tipikal siswi rajin yang selalu memasuki kelas. Akan selalu ada hari di mana Lunar men-skip kelas. Entah karena dia malas atau memang tidak ingin memasuki kelas. Biasanya, jika Lunar ingin membolos kelas, dia akan memberitahu Eldra atau tak jarang mengajaknya. Berhubung sekarang ini hubungan mereka tidak dalam kondisi yang baik, hal itu tentu mustahil terjadi. Lunar tidak akan menghubunginya. Meski begitu, Eldra tak pernah kehilangan jejak Lunar.

Another Hello | √Where stories live. Discover now