Cerita Satu : Seleksi Olimpiade

5 0 0
                                    

2011

Aku berlari. Berkejaran dengan waktu bel berbunyi. Sebentar lagi menjelang pukul tujuh. Pagar segera akan ditutup. Kalau sampai terlambat, daun kering di halaman sekolah sudah siap menunggu kami.

Hari ini senin, tumpukan daun kering sudah pasti lebih banyak. Apalagi tadi malam hujan.

Bolehkah aku bilang I hate monday untuk hari ini saja?

Sekolahku menerapkan hukuman membersihkan halaman atau ruang guru bagi siswa yang terlambat. Ini adalah sekolah negeri. Tidak ada petugas kebersihan khusus di sini, semua tanggung jawab bersama khususnya murid-murid.

Letak sekolah kami yang jauh di pinggir kota, lengkap dengan pepohonan yang rimbun. Sekolah hutan, begitu kadang orang meledek. Saking tidak adanya akses langsun angkot yang masuk. Letaknya sekitar 200 meter masuk ke dalam. Berimpitan dengan rumah warga. Tidak akan heran jika menjelang jam 11 aroma masakan akan menyeruakan dari segala penjuru. Cukup mengganggu konstentrasi.

Dari depan ada pohon mangga, kedondong, ketapang, bambu juga beberapa pohon beringin yang siap menyambut kami. Kalau soal pasukan oksigen kami tidak perlu risau.

Sejuk iya, tapi butuh tenaga ekstra untuk membersihkan guguran daun. Sekolah tidak segan untuk memberdayakan muridnya yang melanggar. Sekolah rindang, siswa belajar dengan nyaman. Begitulah moto sekolah yang selalu didengungkan hampir tiap hari oleh guru piket saat apel pagi. Mengingatkan kami untuk terus menjaga kebersihan.

"Lah, Sarilla, si siswi teladan terlambat juga? Angin apa ini kah? "

Aku memasang ekspresi tidak suka. Terus berlari. Sepuluh langkah lagi. Aku tidak boleh terlambat. Gerbang masih terbuka. Tidak lebar namun masih menyisakan cela kecil. Cukup buatku untuk nyelip. Aku tidak akan merusak rekorku yang bersih dari pelanggaran dua semester berturut-turut. Tidak boleh ada pepatah karena nila setitik rusak susu sebelanga. Tidak boleh! Mengabaikan Anto yang ikut berlari di sampingku.

"Weii Rilla, tunggu pi. Pelan saja. Kayak dikejar setan saja"

Selangkah lagi. Ting. Dan belpun berbunyi. Dengan sigap, Pak Ranto, guru jaga hari ini, menarik pagar. Menutupnya. Menyisakan aku, Anto dan beberapa siswa lain dengan nafas ngos-ngosan. Ada juga yang baru turun dari ojek.

"Baris yang rapi, buat dua banjar" kata Pak Ranto sambil menaikan mistar kayunya. Tidak lupa meniup peluit. Kami bergegas mengikuti perintahnya. Tidak mau kena amuk.

Pak Ranto adalah guru geografi juga wakasek kesiswaan. Terkenal sebagai guru killerr diantara siswa. Musuh anak-anak badung. Kalau kedapatan melanggar berat, khususnya merokok dan membolos maka siap-siaplah berurusan dengan pak Ranto.

Kata Anto, langsung ditandai. Semacam masuk daftar hitam yang akan terus dimata-matai sepanjang masih sekolah di SMAN 13. Hidupmu tidak akan tenang kalau sudah masuk daftar incaran pak Ranto.

Aura wajahnya memang seram, ditambah kumis tipis. Juga muka pucat-kelewat putih. Tapi untuk beberapa anak termaksud aku, melihat pak Ranto lebih ke tegas dan berwibawa. Aku tidak takut. Bukan karena tidak pernah melanggar tapi lebih ke arah segan.

"Ish, bisa diem gak tangannya" aku menampik tangan Anto yang menarik ujung rambutku. Ingin membisikan sesuatu. Kami berada di barisan paling belakang. Sengaja. Datang terlambat bukan hal yang membanggakan. Ini kenapa Anto malah ikut-ikutan mundur ke belakang.

"Sa belum kerjakan PR fisikaku, pinjam punyamu na?" Anto berbisik.

Aku menaikan bibir, menarik tubuhku mundur. "Sejak kapan, gu--eh saya suka minjemin PR"

"La la.. sudah-sudah mi kamu pakai logat Jakarta mu itu, Kendari hae ini. Jangan sa-"

"Hmm, itu yang di belakang kenapa sibuk cerita. Sudah terlambat masih bisa bergosip pagi? Mau gantikan saya kasih pengarahan di depan"

K.E.M.B.A.L.IKde žijí příběhy. Začni objevovat