24 - Sarapan di Bumi

340 61 7
                                    

Aku baru tahu, definisi tidak mau mengalah itu ternyata cocok disematkan pada kita berdua.
Ayahmu yang bilang.

-Aletta Arviantha

***

"Lo ngapain masih ngikutin gue?" tanya Gema dengan nada tinggi. Matanya menatap Aletta yang berdiri di depannya.

Setelah cukup lama menghabiskan waktu di taman, Gema akhirnya memutuskan untuk pulang. Sebenarnya ia ingin membeli siomay terlebih dahulu, tapi karena ada Aletta akhirnya niat itu ia urungkan. Nafsu makannya bisa langsung hilang jika ada Aletta di hadapan.

Namun, bukannya langsung pulang, Aletta justru mengikutinya sampai ke rumah. Gema tidak mengerti apa yang sebenarnya Aletta inginkan.

"Aku mau nganterin kamu sampe rumah. Barangkali nanti kamu nyasar dan gak tau jalan pulang."

Demi Tuhan! Gema sungguh bosan dengan yang namanya kesabaran. Di depan Aletta, hal semacam itu tidak bisa dipergunakan. Gadis itu selalu kembali datang walaupun sudah berulang kali ditendang. Mengesalkan, bukan?

"Lo gila?!" tukas Gema lelah
.
Aletta menggeleng. "Bukan gila, aku itu baik hati."

Balas Gema yang menggeleng. "Gue gak butuh kebaikan lo itu, gak guna!" Ia benar-benar tidak peduli mau Aletta baik hati, punya pendirian sekokoh baja, mentalnya seliar macan tutul, atau mulutnya selicin pakaian yang baru digosok.

Intinya tetap hanya satu, Aletta itu sangat mengganggu.

"Gak usah bercanda, Aletta. Gue cape, mau masuk ke dalem. Mendingan sekarang lo pulang."

Sebisa mungkin Gema menjaga agar cara bicaranya mampu membuat Aletta tergerak. Ia sudah mencoba untuk menjadi teman Aletta, dan seharusnya itu saja sudah cukup. Aletta tidak boleh melakukan hal berlebihan yang akan membuatnya naik darah. Kalau melanggar, bukankah tidak salah kalau ia marah?

Meluruhkan harga diri untuk berteman dengan orang yang ia benci, rasanya bukan hal yang buruk. Gema yakin ia sudah melakukan hal yang seharusnya. Tidak lagi menolak kehadiran Aletta. Tapi kalau Aletta-nya saja masih seperti ini, Bumi bisa kehilangan kedamaian, astaga.

"Oke, aku pulang dulu ya, Gema. Sampai ketemu besok."

Gema menghela napas saat Aletta memutar tubuh dan melambaikan tangan untuknya. Gadis itu mulai berjalan menjauh, tepat ketika ia ingin mengajak Gigi masuk, sebuah teriakan membuatnya membelalak.

"Aletta!"

Ibunya berdiri di depan gerbang dengan wajah semringah. Memegang selang yang masih menyala di tangannya. Mengalirkan air kemana-mana. Merasa dirinya dipanggil, Aletta memutar tubuh dan kembali berjalan ke arah Gema.

"Iya, Tante?" tanta gadis itu bingung.

"Kok langsung pulang?" tanya ibunya.

Gema mendorong gerbang dengan cepat. Memelototi ibunya. "Mama, ngapain manggil dia segala? Udah gitu ini liat! Banjir semua, Ma." Ujarnya mendapat gonggongan keras dari Gigi. Mungkin persetujuan.

Ibunya kelabakan dan langsung membawa selang itu ke arah rerumputan. Berlari untuk mematikan aliran airnya.

"Tadi mama lagi nyiram tanaman, lupa matiin," kata ibunya setelah kembali.

Gema geleng-geleng kepala. "Terus ngapain manggil dia segala?" tanya Gema lagi.

"Gema!" tegur ibunya. "Diakan punya nama.
Panggilnya Aletta dong."

"Hm," sahut Gema malas.

"Kalian abis jogging?" Pertanyaan itu kini ditujukan untuk Aletta. Gadis itu mengangguk tanpa ragu. Meskipun sebenarnya, yang ia lakukan setelah sampai di taman hanyalah melihat Gema bermain dengan anjingnya.

Gema & Kurcaci Dari Pluto (COMPLETE)Where stories live. Discover now