Bab 2 - Hari Pertama

1.6K 190 31
                                    


Lari. Satu kata itu terus bergema di kepalanya. Napas terengah. Kedua kaki kecil yang kepayahan membawa si pemilik menjauh dari yang tidak dia inginkan. Kegelapan di sekilingnya tak dia hiraukan. Sungguh, dia ingin keluar.

"Tolong!"

Padahal dia berniat berteriak, namun hanya bisikan lirih yang keluar dari mulutnya. Taufan tidak tahu harus bagaimana. Dia terus berlari dari kegelapan itu. Dia harus berlari. Kalau berhenti bayangan buruk akan menariknya dan mungkin tidak mengijinkan dia kembali.

"Gempa!" Taufan memanggil kembarannya itu. Biasanya bahkan panggilan lirih saat bersembunyi di balik lemari pakaian bisa membuat saudaranya itu hadir. Gempa pasti selalu menyahut ketika Taufan memanggil. Tapi dimana Gempa sekarang? Tidak ada di mana pun. 

Tempat itu masih panjang. Masih gelap tanpa jeda. Di belakang Taufan sekarang mulai bermunculan tangan-tangan hitam yang berniat meraihnya. Namanya dipanggil dengan suara yang sangat tidak dia ingin dengar. Sebuah tawa menggelegar, bunyi pecahan kaca. Napas Taufan terengah, hampir kehabisan pasokan oksigen.

"Siapa... Siapapun... Tolong!"

Taufan merasa tubuhnya tersentak. Dia melihat Gempa sekarang. Tepat di depannya. Anak itu sudah bangun dan menggenggam tangan Taufan erat. Raut muka khawatir terpasang. Napas Taufan masih ngos-ngosan tapi senyum tipis dia tunjukkan pada Gempa.

"...Mimpi buruk?" tanya Gempa. Taufan mengangguk. Dia dibantu Gempa bangun dan duduk di kasur itu.

"Jam berapa sekarang?" tanya Taufan.

"Setengah delapan," jawaban Gempa mengejutkan Taufan.

"Ap-apa?! Ki-kita harus segera keluar..."

"Kita tidak di rumah itu lagi sekarang," Gempa menahan Taufan agar tidak melompat dari tempat tidur yang mereka gunakan sekarang. Taufan menatap Gempa lama. Ah, iya, benar juga. Mereka sudah keluar dari rumah itu.

Selimut tebal dan hangat. Kasur busa yang empuk. Kamar ber-AC bahkan ada penghangat juga. Taufan melihat semua perabot di kamar itu. Rasanya seperti masih di dalam mimpi. Tapi kali ini mimpi yang sangat baik. Bisa membuat terlena jika berlama di sana.

Hembusan napas berat keluar dari mulut kecil Taufan. "Kita keluar dulu yuk," ajak Taufan. Gempa mengangguk. Kasur itu tingginya 80 cm, entah kenapa membuat keduanya harus bahu-membahu untuk sekedar turun.

"Aku turun duluan, pegangin ya," kata Taufan. Gempa mengangguk. Dia memegang tangan Taufan saat akan turun. Taufan sendiri terlihat awas pada karpet di bawahnya. 

"Ughh... jangan lepas lho. Kakiku mau, eh- eh--???"

Belum sempat kakinya menyentuh tanah, badannya terangkat ke atas dan tidak ada hitungan detik sudah berdiri di atas lantai berkarpet itu. Ada tangan besar yang terselip di antara lengannya. Ketika mendongak, wajah yang kemarin membuatnya sulit bernapas karena terlalu terlihat garang berada di depannya. Taufan terkejut tentu saja.

Halilintar, yang tadinya masuk ke kamar untuk melihat kedua adiknya sudah bangun atau belum, kini mengangkat Gempa tanpa menunggu anak itu sadar dari keterkejutan karena dia tiba-tiba muncul. Sekarang dua anak itu sudah turun dari tempat tidur dan berdiri di depannya.

"Hm..." tatapan Halilintar yang intens terasa menusuk pada Taufan dan Gempa. Alhasil keduanya menunduk dalam-dalam melihat karpet.

'Sepertinya kasur ini perlu diganti. Aku akan beritahu ke Solar nanti. Dan juga... Apa yang sebaiknya kuucapkan pada dua anak ini?' Halilintar bermain dengan pikirannya. Sembari terus menatap keduanya dengan jeli.

everything will be okayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang