11 | Nina, namanya, N-i-n-a!

9 2 0
                                    

Fatmawulandr
Pontianak, 21 Agustus 2021
Right All Reserved
-----------------------------------------------------

Aku punya pertanyaan, jika seorang laki-laki memberi sebotol minuman ke seorang perempuan, apa otomatis jadi tanda laki-laki itu tertarik dengan perempuan tersebut?

Tidak, kan? Iya, tidak dan aku sudah berkali-kali meyakinkan ini ke diriku. Namun, sampai kakiku tinggal beberapa langkah menuju salah satu sisi lapangan, tempat seorang gadis tengah duduk bernaung pohon ketapang, aku masih saja ragu.

Aku pun berhenti sebentar, menimbang lagi. Kalau nanti ini diartikan lain bagaimana? Kalau nanti gadis itu jadi baper? Kalau nanti--

"Enggar? Ngapain di situ?"

Baiklah, sudah tertangkap basah. Tinggal nyebur sekalian.

"Enggak, Za," Kubawa kakiku benar-benar mendekat ke tempat tersebut. Lalu duduk di sampingnya--tentu dengan jarak, tolong diingat. Sebelum menyodorkan botol yang kupegang, kugaruk dulu kepalaku yang tentu juga tidak gatal. "Tadi aku dari kantin. Beli minum. Cuma pas enggak sengaja lihat kamu, kayaknya kamu lebih perlu. Nih, buat kamu."

Ekspresi yang sempat kubayangkan adalah Aiza akan terkejut, lalu malu-malu atau terharu atau sejenis itu, seperti reaksi perempuan kebanyakan--eh, iya, kan, biasa perempuan akan bereaksi begini? Namun, yang terjadi, dia malah tertawa dengan tawa khasnya yang mengandung tabuhan genderang. Dilihat dari dekat, ternyata matanya sampai menghilang. Gigi putih kecil-kecil berderet di balik tawa--

Oke, stop, Enggar! Astagfirullah ....

"Alhamdulillah, makasih, ya, Gar. Emang lagi haus. Tapi tumblerku ketinggalan di kelas. Mau ke kantin lagi mager. Capek habis ambil nilai fisika."

Aku mengganguk. Balas tersenyum canggung. Eh, kok, jadi canggung, sih.

"Lagi buat percobaan gitu, ya, Za?" Kualihkan topik, menunjuk beberapa botol mineral kosong, lakban, cutter, potongan ban dalam, kotak besar, dan beberapa benda lain di dekatnya.

"Iya, tadi buat roket," Dia kembali tertawa, geli. Menunjuk pergelangan baju kotak-kotak marunnya. "Nih, sampai basah begini. Gara-gara yang pertama gagal, airnya jadi tumpah ke mana-mana. Oh, ya, kamu, kok, enggak masuk kelas, Gar?"

Aku ikut tertawa, "Kelasku enggak ada guru, Za. Cuma dikasih tugas. Karena udah selesai, ya, udah keluar."

"Wah, Enggar hebat, dong," ucapnya terlihat sungguh-sungguh. Maksudnya dia tidak tampak sedang bergurau, meskipun dia tertawa saat bilang ini. "Tapi, Gar, emang boleh, ya, keluar-keluar gitu walau enggak lagi ada guru?"

Dapat pernyataan sekaligus pertanyaan begini membuatku tertawa garing sambil garuk-garuk kepala. Hebat? Hebat apanya. Kan, aku pernah bilang, aku ini bukan murid yang taat-taat betul dengan aturan. Dua tahun ke belakang, aku juga lebih banyak main dari pada belajar. Jadi, kalau nanti mau lurus saat ujian, justru banyak yang harus kukejar.

"Yang lain juga udah pada kelar, kok, Za. Cuma gara-gara itu kelas jadi ricuh. Males banget dengerinnya. Jadi mending keluar. Terus biar enggak mencolok banget, makanya, nih, aku gabung sama kamu."

Ck, ck, Enggar, pandai sekali cari alasan! Padahal jelas-jelas warna seragam kami berbeda. Dan lagi, jauh sebelum ini, tepatnya setelah melihat Nina duduk bersama si kutu kupret, aku memang sudah berencana mau bicara dengan Aiza.

Namun, baru hari ini momen itu tercipta, bertepatan saat aku mau ke kantin dan melihatnya di sini. Lampu ide pun seketika hidup dengan terang-benderang di kepalaku.

Menemukan KehilanganWhere stories live. Discover now