bag 13. Bersama Satya

138 24 0
                                    

Pernah gak sih punya teman jahil? Pernah gak jadi korban kejahilannya? Pernah gak di jahilinnya gak nanggung nanggung?

3 pertanyaan itu dialami oleh Mas Satya sendiri. Aku pikir orang yang terkenal garang dan tajam seperti Mas Satya tidak akan di jahili oleh anggotanya sendiri. Ternyata dia mendapatkan hal itu dari salah satu anggotanya yang paling badung.

Aku ingat sekali hari itu, waktu itu pagi pagi sekali Mas Satya datang ke rumahku meminta aku untuk menemaninya. Aku juga sangat ingat wajahnya sewaktu itu. Wajahnya benar benar tidak bisa di deskripsikan. Ada raut wajah kaget, kesal dan bingung ketika di jahilin oleh anggotanya yang sering dia semprot karena ketidakbecusannya dalam bekerja.

Aku juga ingat hari itu, berkat temannya yang kurang ajar itu aku jadi marah padanya. Dan yang paling aku ingat adalah ketika dia mencoba berbaikan denganku.

Benar benar manis.

*****

"Mas Satya."

Orang yang baru saja kusebut namanya berdiri di ambang pintu lalu memasuki rumahku dengan santai. Padahal aku belum menyuruhnya untuk masuk. Dari dulu dia memang suka suka, untungnya sekarang kami sudah berteman. Jadi aku tidak perlu mengusirnya seperti dulu dengan penuh nada kebencian.

Begitu Mas Satya memasuki rumah, aku langsung menutup pintu dan menyusulnya yang sudah berjalan menuju ruang TV. Menemui papa yang sedang menonton putri Sofia series legendnya, entah sudah series keberapa yang dia tonton. Yang aku tahu, aku sudah tertinggal banyak episode Sofia akibat latihan tinju.

"Pagi pak," kata Mas Satya lalu salim pada Papa. Setelah itu, mereka berdua sama sama menonton putri Sofia dengan serius. Aku hanya melongo, ketika melihat dua orang laki laki yang menyukai film tersebut.

Satu pertanyaan yang terlintas di benakku. Apa semua laki laki di dunia ini pernah menonton Sofia The First? Apa kartun ini menjadi salah satu kartun kesukaan kaum adam?

"Eh ada Satya ternyata." Celetukan mama yang baru saja keluar dari kamarnya membuatku tersadar dari lamunanku. Aku menoleh ke mama yang sedang berjalan menuju dapur. "Makan dulu Satya?" tawarnya.

Mas Satya langsung mengalihkan perhatiannya dari TV ke mama. "Gak usah mah, nanti malam aja kalo tawarin Satya makan. Soalnya Satya lagi diet mah," jawabnya. Tunggu, sejak kapan dia memanggil mama dan papa secara akrab seperti itu? Kenapa juga kedua orang tuaku ini nampak santai santai saja mendapat panggilan seperti itu?

"Yaudah deh. Nanti malam kamu kesini aja. Mama nanti masak gurame goreng," ucap mama lagi. Lalu berjalan menuju ruang TV untuk meletakkan cemilan.

"Oke siap mah."

"Ih Mas Satya ngapain disini sih," potongku cepat. Mengganggu pembicaraan akrab antara mama dan Mas Satya. Perhatian lelaki berbadan tegap itu kini beralih padaku.

Alisnya yang semula naik satu kini langsung mengerut hampir menyatu. Lalu dia menganggukkan kepalanya, ingat tujuan sebenarnya kesini. "Oh saya mau ajak kamu nonton film horror," ujarnya sambil berbisik agar papa dan mama tidak mendengar.

Aku menggelengkan kepalaku. Film bergenre menyeramkan itu tidak pernah masuk ke dalam listku. "Aku mau belajar matematika dari kemarin gak paham paham," kataku menolak permintaannya.

"Saya ajarin deh, gini gini saya jago matematika. Tapi balasannya temenin nonton film horror, saya bawa kasetnya," ucapnya memaksa masih dengan berbisik. Aku berfikir sebentar hingga akhirnya aku menganggukkan kepalaku.

Daripada berfikir terlalu keras hanya untuk menyelesaikan satu soal matematika. Lebih baik menyerahkan pelajaran itu pada orang yang katanya pintar matematika. Tidak ada salahnya bukan menerima bantuan pada ahlinya. Walaupun aku tidak yakin orang seperti Mas Satya pintar matematika. Soalnya wajahnya benar benar terlihat seperti berandal, bukan orang pintar.

Dibalik Bina [#1.BSS] [Terbit E-book]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang