Tapi Dia Laki-Laki

26 5 2
                                    



"Elo gay?"

Sebelah alis laki-laki itu berjengit. "Last time I've checked, I was straight. Sraight se-straigt-straightnya."

"Lo pasti mengidap penyakit tertentu."

Kali ini mata itu melebar, "Errr... aku sehat sih. Ada sedikit asma. Tapi sangat jarang kambuh. Nggak pernah kambuh selama tiga tahun terakhir."

"Bukan penyakit semacam itu. Tapi misalnya... apakah lo mendengar suara-suara?"

"Ha? Tentu saja aku mendengar suara..."

"Yang nggak didengar orang lain."

"Oh."

"Nggak?"

"Nggak." Laki-laki itu menggeleng pelan. Tampan, Didi mencatat dalam hati.

"Lo punya kecenderungan untuk menyakiti binatang?"

"Why would I do that? Aku pengin punya anjing kalau apartemenku mengizinkan. Goldren retriever menyenangkan sekali, kan?"

Didi kehilangan kata.

"Lo psikopat?"

"Astaga, apa aku butuh surat sehat dari psiakiater? Aku bisa cari kalau itu memang dibutuhkan."

"Lo berubah jadi serigala di malam purnama?"

"Listen, Mbak, eh Bu... aku belum pernah mendengar pertanyaan sekonyol ini waktu wawancara kerja."

"Lo punya fetish terhadap kaus kaki?"

"What?"

"Lo anggota kelompok radikal?"

"NO!"

"Pemuja setan?"

Laki-laki mengembuskan napas.

Didi mengetukkan jari ke meja. "Akui saja. Setiap kita punya sisi gelap. Dan kami nggak keberatan. Selama lo kerja profesional, kami nggak peduli apakah di malam hari lo tidur memeluk boneka tiup."

Laki-laki itu terdiam sesaat, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan dan berbisik pelan, "Oke, aku memang ikut sekte yang agak aneh."

Ini dia, Didi bersorak dalam hati.

"Sekte Pemuja Bir Bintang."

Sial! Didi merutuk. Bahkan birnya sama dengan bir gue. "Tunggu sebentar. Duduk di sini. Jangan ke mana-mana."

***

"Dia benar-benar normal," Didi berkata panik. Prameswari yang sedang menunduk di depan di kabinet mendongak.

"Kamu dengar kan wawancaranya?" Didi mendesak.

"Nggak," sahut Memes. Didi biasa memanggil Prameswari dengan nama itu dan sekarang semua ikut-ikutan. "Aku sibuk sekali dari pagi. Dan wawancara kalian emang nggak terdengar jelas dari ruangan ini."

"Kita nggak bisa menerimanya, Mes."

Memes mengangguk, meneruskan mengaduk file.

"Dia sangat normal," kata Didi.

"Bukan karena itu, tapi karena dia laki-laki," sahut Memes, mencabut segenggam berkas. "Kita hanya menerima karyawan perempuan. Itu aturan yang kamu buat dan tercantum dalam lowongan."

"Oya?" Didi mondar-mandir, "Kenapa gue bilang begitu? Ah, pasti gara-gara kemakan kampanye para feminis yang koar-koar tentang nggak adilnya dunia kerja buat perempuan. Mereka dapat gaji yang lebih rendah walau..."

"Karena kamu benci laki-laki."

"Oh," Didi terduduk. Jemarinya memijit kening, "Tapi kita butuh IT."

"Yang lain gimana? Bukannya ada dua kandidat yang udah kamu wawancara dan kamu bilang sangat qualified?"

"Uh, yang satu minta gaji setara IT Microsoft, yang satu lagi keliatan masih hangover dari pestanya semalam. Padahal wawancaranya Rabu pagi."

"Yang ini mau dengan gaji yang kita tawarkan?"

Didi mengangguk, "Dia bosen kerja di korporat besar. Dia cari kantor yang dekat dari apartemennya. Yang kasih dia libur Sabtu-Minggu. Yang membolehkan dia pakai kaus dan jins dan mengizinkan kerja dari rumah sekali-kali. Gaji medium nggak masalah katanya. Dia punya penghasilan lain."

"Bandar judi online?"

"Trader saham dan uang kripto. See, normal banget, kan?"

"Ya udah, terima aja," Memes mengempaskan tumpukan berkas ke meja, "Harus banget ya aku ngurusin pendaftaran hak cipta? Aku ini seniman, Di. Masa kudu ngurus ginian juga. Sewa pengacara IPR dong!"

"Tapi dia normal."

"He, nggak ada aturan di perusahaan ini yang melarang manusia normal kerja dengan kita. Cuma kebetulan saja karyawan yang kita rekrut punya hidup yang agak... berbeda dari orang kebanyakan. Aku nggak bilang abnormal, loh. Omong-omong, ada nggak anggaran buat sewa pengacara? Bisa mendadak jadi onggokan kentang kalau aku kudu ngurusin berkas membosankan kayak gini."

"Dia laki-laki," Didi berbisik pelan.

"Aku nggak keberatan kerja dengan laki-laki. Kamu yang keberatan."

"Oya? Ingatkan kenapa."

"Karena kamu bilang, ini aku kutip verbatim, 'Cowok cuma punya satu keahlian: bikin masalah'."

"Ah! Lo benar, Mes. Lo selalu benar. Gue udah pernah bilang belum, how lucky I am to have you!" Didi mengulur tangan, menjangkau bahu Memes, meremasnya perlahan. "Oke, gue akan bilang kalau dia nggak diterima. Kalau dia nanya kenapa, gue akan jawab jujur, karena dia punya kon***." Didi beranjak, melangkah keluar ruangan.

"Cepet cari kandidat lain. Aku butuh update semua programku. Sebenarnya, aku butuh komputer baru. Suruh si IT, siapa pun yang kamu pekerjakan, untuk melakukannya. Kalau nggak, produksi kita berhenti."

"Oke!" Didi berseru sambil menutup pintu. 

AbnormalWhere stories live. Discover now